Opini
Pengaruh Iuran BPJS Saat Kebijakan Kelas Rawat Inap Standar Diberlakukan
Oleh: dr. Uji Hardana (Magister Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan Universitas Hang Tuah, saat ini berpraktik Mandiri)
Kelas Rawat Inap Standar ( KRIS ) adalah kebijakan yang tercantum dalam Peraturan Presiden No 59/2024 yang dikeluarkan pada tanggal 8 Mei 2024, masih hangat menjadi perbincangan di semua kalangan masyarakat dan memang belum semua masyarakat indonesia mendapatkan kejelasan dari sistem tersebut.
Pada pasal 46 A Peraturan Presiden No. 59/2024 di ayat 1 menjelaskan tentang kriteria Kelas Rawat Inap Standar ini, yang terdiri dari :
a. Komponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi.
b. Ventilasi udara
c. Pencahayaan Ruangan
d. Kelengkapan tempat tidur
e. Nakas per tempat tidur
f. Temperatur ruangan
g. Ruang rawat inap dibagi berdasarkan jenis kelamin, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau non infeksi
h. Kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur
i. Tirai / partisi antar tempat tidur
j. Kamar mandi dalam ruangan rawat inap
k. Kamar mandi memenuhi standar aksesibilitas
l. Outlet oksigen
tetapi secara jelas di ayat 3 yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk kriteria dan penetapan kelas rawat inap standar diatur dengan Peraturan Menteri, itu berarti masyarakat masih harus menunggu Peraturan Menteri sebagai turunan dari PerPres tersebut.
Pemerintah melalui kementerian kesehatan ( Kemenkes ) baru – baru ini berencana akan menghapus kelas perawatan dalam sistem BPJS Kesehatan dan akan diganti menjadi Kelas Rawat Inap Standar ( KRIS ).
Adanya standarisasi kamar akan memiliki konsekuensi baik bagi peserta BPJS maupun manajemen keuangan rumah sakit.
Selama ini Rumah Sakit bergantung pada sistem INA CBGs yakni pembayaran yang dilakukan oleh BPJS kesehatan kepada Rumah Sakit dengan sistem paket yang dibayarkan per episode pelayanan kesehatan, yang artinya suatu rangkaian perawatan pasien sampai selesai. Permasalahannya tarif INA CBGs ini belum naik sejak tahun 2016.
Sementara tarif iuran BPJS kesehatan telah resmi dinaikkan sejak tanggal 1 juli 2020. Ada pun besaran tarif iuran kelas 1 ditetapkan 150 ribu per bulannya, sedangkan untuk kelas II ditetapkan sebesar Rp. 100 ribu per bulan dan Iuran kelas III Rp. 42 ribu perbulan. Namun masyarakat tetap membayar sebesar Rp. 25.500 perbulan karena adanya subsidi pemerintah Rp. 16.000 per bulan.
Dari hal tersebut, dengan berlakunya kebijakan KRIS ini akan berpotensi menimbulkan hilangnya kepesertaan terutama di kalangan kelas menengah dan kelas atas.
Masalah ini terjadi karena turunnya standarisasi bagi masyarakat kelas atas yg sengaja mengambil iuran kelas I dan memungkinkan tidak melanjutkan program BPJS nya karena menganggap manfaat BPJS flat.
Masyarakat kelas menengah atas akan sulit bertahan dengan sistem standarisasi KRIS BPJS.
Alasan mereka mengikuti BPJS karena ingin mendapat manfaat lebih. Karena tidak perlu antri berlama – lama untuk mendapatkan kamar yang lebih bagus daripada kelas II dan III. Pemerintah harus memikirkan tambahan fasilitas agar kelas menengah atas mau bertahan menggunakan BPJS.
Jika pemerintah tidak memikirkan dan memberikan solusi tersebut, kemungkinan besar pengguna BPJS kelas menengah atas akan beralih ke asuransi kesehatan swasta?. Tapi hal tersebut memang tidak mungkin terjadi karena BPJS merupakan program wajib yang harus diikuti semua masyarakat dan sudah diatur dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU BPJS. Kemungkinan yang akan terjadi pada masyarakat kelas menengah keatas ialah menurunkan besaran iuran BPJSnya. Mereka mungkin akan menurunkan iuran ke kelas II dan III karena tidak ada perbedaan fasilitas dan layanan.
Jadi bagaimana solusi pemerintah jika terjadi problematika seperti hal tersebut diatas? Pemerintah harus memikirkan besaran gaji dari peserta BPJS, dan baru-baru ini pemerintah merencanakan pemotongan gaji sebesar 3% untuk Tapera. Tapera adalah Tabungan Perumahan Rakyat, dana tabungan ini sebenarnya sudah digagas pemerintah sejak tahun 2016. Kebijakan ini tertuang dalam PP nomor 21 tahun 2024 tentang perubahan atas PP nomor 25 tahun 2020 tentang penyelenggaraan Tapera yang ditetapkan Presiden pada tanggal 20 Mei 2024.
Jika keadaan seperti ini terjadi maka besaran gaji yang diterima para pekerja akan semakin kecil karena banyaknya potongan yang seharusnya menjadi tanggungan Pemerintah sesuai dengan UUD 1945.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp
Related Posts
- DJPb dan Pemprov Kaltim Serahkan DIPA dan Buku Alokasi TKD Digital ke Kepala Daerah dan Pimpinan Unit Satuan Kerja
- Tragedi Muara Kate di Paser Belum Usai, Natalius Pigai Justru Soroti Minimnya Peran Media
- IESR Dorong Indonesia dan Tiongkok Perkuat Kerja Sama Hijau untuk Percepatan Transisi Energi
- Perusahaan Didorong Salurkan CSR untuk Mendukung Transisi Energi Berkeadilan di Kaltim
- Yayasan Mitra Hijau Dorong Partisipasi Perempuan dalam Transformasi Ekonomi dan Transisi Energi Berkeadilan di Kaltim