Daerah

Ratusan Warga Gelar Aksi di Kantor ATR/BPN PPU, Tuntut Keadilan dan Kejelasan Lahan di Tengah Proyek IKN

Muhammad Razil Fauzan — Kaltim Today 28 Mei 2024 15:50
Ratusan Warga Gelar Aksi di Kantor ATR/BPN PPU, Tuntut Keadilan dan Kejelasan Lahan di Tengah Proyek IKN
Suasana aksi demonstrasi oleh warga empat desa lingkar Ibu Kota Nusantara (IKN), Selasa (28/5/2024). (Fauzan/Kaltimtoday)

Kaltimtoday.co. Penajam - Ratusan massa yang tergabung dalam "Solidaritas Masyarakat Kabupaten PPU" membanjiri halaman Kantor ATR/BPN Penajam Paser Utara (PPU), Selasa (28/5/2024). Massa tersebut terdiri dari warga empat desa lingkar Ibu Kota Nusantara (IKN), yakni Pemaluan, Rico, Maridan, dan Telemow. Aksi massa ini bertujuan menuntut kejelasan dan keadilan atas hak tanah mereka yang terdampak oleh proyek IKN.

Tuntutan utama dari aksi ini adalah pencabutan status Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan warga, perubahan status lahan dari hak pakai menjadi hak milik, penghapusan Bank Tanah dari PPU, transparansi dalam administrasi dan pencatatan pertanahan, serta penetapan biaya administrasi yang jelas dalam mengurus legalitas lahan dan berbagai tuntutan lainnya.

Aksi ini merupakan lanjutan dari demonstrasi yang dilakukan pada Rabu (22/5/2024) lalu. Dengan massa yang lebih besar, warga mendesak pihak ATR/BPN PPU untuk segera merespons tuntutan mereka.

Saat ditemui di tengah aksi, Koordinator Gerakan Solidaritas Masyarakat Kabupaten PPU, Ibrahim, menyoroti kinerja Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) yang dianggap tidak efektif dan tidak berpihak pada masyarakat. 

"Sama yang kita tuntut (sebelumnya) pada hari ini tetapi ini lebih melebar lagi ke OIKN, karena OIKN ini tidak ada fungsinya di PPU. Pertama dia berkantor di Balikpapan, seharusnya dia berkantor di PPU, khususnya di Kecamatan Sepaku. Kenapa dia berkantor di Balikpapan kalau ingin membangun Kabupaten atau negara ini. Nah itu yang kita sesalkan," tegas Ibrahim.

Ia juga menyoroti ketidakjelasan Undang-Undang IKN yang dianggap fleksibel dan mudah dimanipulasi sesuai kepentingan pihak tertentu. 

"Kemudian UU IKN itu belum jelas, masih seperti karet bisa tarik ulur sana sini sesuai kepentingan dan kemauannya. Nah, inilah yang kita sayangkan dari OIKN. Kalau bisa, Kepala OIKN Pak Bambang dan koloninya itu diganti karena enggak ada gunanya dan enggak ada kerjanya. Mereka itu hanya datang untuk masyarakat ini merasakan kesengsaraan dan bagaimana masyarakat ini ditindas sesuai dengan kemauannya dia," jelasnya.

Ibrahim menyampaikan kekhawatirannya atas dampak negatif pembangunan IKN terhadap lingkungan dan kesejahteraan warga. Ia menuturkan bagaimana sawit yang menjadi sumber penghidupan warga rusak akibat proyek ini. 

"Kami mau mengadu kemana ketika saudara-saudara kami memiliki sawit yang diharpakan untuk makan itu tenggelam, gara-gara OIKN. Polusi, debu, jalanan yang licin di IKN itu tidak pernah dilihat oleh OIKN. Ketika Jokowi datang baru diperbaiki, tetapi pak Jokowi juga tidak pernah menginjakkan kakinya di jalan rusak itu. Maka pak Jokowi tidak mengetahui apa yang terjadi di IKN sebenarnya," sahutnya.

Lebih lanjut, Ibrahim mempertanyakan otoritas OIKN yang harus disembah ketika warga ingin membuat hak milik di tanah mereka. 

Selain itu, massa aksi menuntut agar ATR/BPN memberikan kejelasan mengenai hak-hak mereka, khususnya di kawasan IKN. Mereka juga meminta agar konsesi-konsesi lahan yang ada dijelaskan secara rinci. 

"Kami mengadakan aksi di kantor ATR/BPN supaya memberikan kejelasan tentang hak-hak kami yang khusunya ada di kawasan IKN. Kami juga meminta kepada pemerintah, khususnya ATR/BPN agar (lahan) konsesi-konsesi itu dijelasin karena kata mereka tadi bahwa HGU tidak ada lagi di Sepaku, tetapi nyatanya ada konsesi IHM, nah ini enggak adil. Kalau dikatakan tidak ada HGU di dalamnya, kenapa ada konsesi," tuntutnya.

Ibrahim menekankan bahwa perjuangan mereka bukanlah penolakan terhadap pembangunan IKN, tetapi menuntut keadilan dan kejelasan hukum terhadap masyarakat di lingkar IKN. 

"Kami merasa dijajah, bukan kami menolak pembangunan IKN, tetapi tolong UU IKN itu diperjelas jangan seperti karet. Ketika dibutuhkan, mereka mengambil, tolonglah kami wahai pemerintah agar kami diperhatikan hak-haknya," sahutnya. 

Jika tuntutan mereka tidak direspons, Ibrahim menyatakan bahwa mereka siap melakukan aksi yang lebih besar dan bahkan menduduki IKN. 

"Kami akan tutup di IKN, kami akan aksi di IKN dan akan turun di sana untuk menuntut kejelasan hak-hak kami, kalau kami tidak mendapatkan kejelasan di kantor ATR/BPN hari ini," kecamnya.

"Inshallah akan ada gerakan masa yang lebih besar daripada ini. Ini hanya perwakilan yang datang di setiap kelurahan dan nanti ketika mereka tidak mengakomodir apa yang kita harapkan dan inginkan hari ini, maka IKN akan kita duduki. Apapun yang terjadi, silakan pemerintah mau menggunakan kekeraaan apapun itu intinya kami berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kami," tambahnya.

Penolakan terhadap status hak pakai yang ditawarkan pemerintah juga ditegaskan oleh Ibrahim. 

"Ini yang kita tunggu jawaban dia karena mereka (ATR/BPN) tadi mengatakan bahwa hak pakai bisa ditingkatkan, tetapi dengan dnominal pembayaran yang ada. Tetapi kami masih belum percaya ketika belum ada notulen yang diberikan ke kita kalau itu hak pakai. Kenapa hak pakai kita pertanyakan karena yang namanya hak pakai itu dasarnya tidak kuat, yang kita harapakan itu hak milik," ujarnya.

Dalam tuntutan yang semakin meluas dan aksi yang semakin besar, warga PPU menunjukkan tekad mereka untuk memperjuangkan hak-hak mereka di tengah pembangunan IKN yang kontroversial ini.

Respons ATR/BPN PPU terhadap Tuntutan Warga IKN

Kepala Kantor ATR/BPN PPU, Ade Chandra, menanggapi tuntutan ratusan massa dari "Solidaritas Masyarakat Kabupaten PPU" yang berkumpul di halaman kantor ATR/BPN. Warga meminta kejelasan terkait status tanah mereka yang terdampak oleh pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

Kepala Kantor ATR/BPN PPU, Ade Chandra. (Fauzan/Kaltimtoday)

Ade Chandra mengakui bahwa, proyek IKN telah membangkitkan kesadaran masyarakat PPU tentang pentingnya memiliki sertifikat tanah. 

"Pada prinsipnya tuntutan masyarakat ini hanya sebagian kecil tetapi seluruh masyarakat PPU itu dengan adanya IKN itu baru melek bahwa saya harus punya sertifikat, kalau dulu agak susah," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa sebelum adanya proyek IKN, sosialisasi mengenai pentingnya sertifikasi tanah sangat sulit dilakukan. 

"Jujur saja, waktu saya pertama kali di sini tahun 2020, saya tahu bagaimana susahnya kami mensosialisasikan untuk meningkatkan SKT atau surat penguasaan atas tanah untuk menjadi sertifikat lahan itu susah sekali. Nah, dengan adanya IKN sudah dibangun, baru masyarakat melek," tambahnya.

Sejak tahun 2023, ATR/BPN PPU telah secara aktif melakukan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di wilayah PPU, termasuk di area IKN. Ade Chandra menjelaskan bahwa program ini bertujuan untuk mensertifikatkan seluruh bidang tanah di PPU. 

"Nantinya, yang masuk wilayah PPU yah otomatis akan kami sertifikatkan semua. Tetapi sertifikat yang ada saat ini bentuknya PTSL untuk pendaftaran pertama kali," jelasnya.

Proses PTSL dilakukan secara terintegrasi, meliputi pengukuran, pemetaan, dan penertiban peta, sebelum akhirnya meningkatkan status tanah menjadi sertifikat bagi yang menginginkannya.

"Kami berharap seluruh masyarakat PPU itu bersertifikat seluruh bidang tanahnya sesuai dengan yang diarahkan oleh Kementerian bahwa Indonesia lengkap," ungkapnya.

Ade Chandra juga menegaskan bahwa, di kawasan IKN tidak ada penerbitan Hak Guna Usaha (HGU). 

"Jadi saya tegaskan kembali, di kawasan IKN tidak ada HGU, kalaupun ada perusahaan sawit, dia legalitasnya pun belum sampai HGU karena pada saat IKN sudah ditetapkan melalui UU yah semua untuk masalah pertanahan kita hold dulu untuk sementara waktu," tegasnya.

Namun, ia mengakui bahwa ada konsesi kawasan hutan yang berada di luar kewenangan ATR/BPN karena mereka hanya mengurusi Areal Penggunaan Lain (APL). 

"Nah, yang beredar di masyarakat itu adalah konsesi kawasan hutan, nah konsesi kawasan hutan ini di luar dari kewenangan ATR/BPN karena kami hanya mengurusi Areal Penggunaan Lain (APL) saja yang kawasan non hutan," jelas Ade Chandra.

Mengenai masyarakat yang sudah lama memanfaatkan lahan di APL tetapi terbebani oleh konsesi hutan tanaman industri, Ade Chandra menyatakan bahwa hal ini membutuhkan koordinasi dengan Kementerian Kehutanan. 

"Kami harus berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan karena lokasi yang dikuasai atau telah dimanfaatkan oleh masyarakat sejak dahulu kala menurut pengakuan masyarakat di situ ya memang di dalam APL, hanya di atasnya dibebani oleh konsesi hutan tanaman industri," paparnya.

Ade Chandra menekankan pentingnya sosialisasi kepada masyarakat mengenai proses pendaftaran tanah dan jenis-jenis hak atas tanah. Sosialisasi dilakukan secara berjenjang mulai dari kepala desa, lurah, dan camat, hingga masyarakat umum di setiap kecamatan. 

"Pada prinsipnya untuk sosialisasi ke masyarakat itu yang paling awal sekali adalah sosialisasi kepada pemerintahan, termasuk kepala desa, lurah dan camat. Itu sudah kita lakukan secara maraton kaitannya dengan PTSL," jelasnya.

Ia menambahkan bahwa sosialisasi ini dilakukan berulang kali untuk memastikan masyarakat memahami proses dan jenis hak atas tanah, termasuk Hak Milik, HGB, dan Hak Pakai. 

"Intinya kita menyampaikan bahwa pemberian hak atas tanah itu tidak ujuk-ujuk langsung menjadi hak milik, tetapi tanah itu harus dimanfaatkan oleh masyarakat dulu atau pemilik bidang tanah itu harus dimanfaatkan dulu," ujarnya.

Dia juga menjelaskan bahwa, hak pakai bisa ditingkatkan menjadi hak milik sepanjang tanah tersebut dimanfaatkan sesuai dengan tata ruang. 

"Dengan tuntutan masyarakat apakah bisa ditingkatkan, ya bisa sepanjang itu sudah dimanfaatkan sesuai dengan tata ruang," jelasnya.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa tanah yang tidak dimanfaatkan berpotensi menjadi konflik dan dimanfaatkan oleh mafia tanah. 

"Kalau tidak dimanfaatkan muncullah mafia tanah itu, makanya harus digarap tanahnya," tegasnya.

Ade Chandra juga mengklarifikasi kesalahpahaman bahwa hak pakai tidak bisa dijadikan jaminan di perbankan. Menurutnya, pihak perbankan menerima hak pakai sebagai jaminan, dan hal ini sudah disosialisasikan kepada masyarakat. 

"Ternyata pada saat kami bertemu dengan pihak perbankan, pada prinsipnya mereka menerima hak pakai itu sebagai jaminan, jadi kan enggak ada pembedaan," ujarnya.

Dalam menghadapi tuntutan dan aspirasi masyarakat, Ade Chandra menegaskan upaya ATR/BPN PPU untuk terus memberikan kejelasan dan pelayanan terbaik bagi masyarakat terkait hak atas tanah mereka, terutama di tengah proyek pembangunan IKN yang sedang berlangsung.

[RWT]

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp 



Berita Lainnya