Nasional

RUU Masyarakat Adat Kembali Disorot: Pengakuan Hak Dinilai Kunci Ekonomi Inklusif

Kaltim Today
10 Oktober 2025 16:46
RUU Masyarakat Adat Kembali Disorot: Pengakuan Hak Dinilai Kunci Ekonomi Inklusif
Para narasumber dari kalangan akademisi, legislator, dan perwakilan masyarakat adat berbicara dalam diskusi publik yang digelar Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat di Jakarta, Selasa (8/10/2025).

JAKARTA, Kaltimtoday.co - Sejumlah akademisi, ekonom, legislator, dan tokoh masyarakat adat mendesak percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA) yang telah tertunda lebih dari satu dekade di DPR RI. Desakan ini disampaikan dalam diskusi publik bertajuk “Ekonomi Kerakyatan dan Pengakuan Masyarakat Adat” yang digelar Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Selasa (8/10/2025), di Jakarta.

Diskusi ini menyoroti urgensi perlindungan hak masyarakat adat dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan ekonomi kerakyatan.

Menurut Abdon Nababan, perwakilan koalisi, masyarakat adat selama ini mengembangkan sistem ekonomi berbasis nilai budaya dan keberlanjutan lingkungan, yang sering kali bertentangan dengan pendekatan ekonomi ekstraktif yang dominan.

“Kami ingin masyarakat adat menjadi subjek pembangunan. Mereka tidak menolak investasi, asal tidak merusak tanah adat dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan,” ujar Abdon.

Potensi ekonomi lokal berbasis adat

Perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Annas Raden Syarif, menyebut masyarakat adat memegang peran strategis dalam menjaga kebhinekaan dan menopang ekonomi daerah.

Data pemetaan AMAN menunjukkan lebih dari 1.000 komunitas adat menguasai wilayah seluas 33,6 juta hektare. Potensi ekonomi satu wilayah adat saja disebut bisa mencapai Rp1 miliar.

“Pengakuan hak atas tanah adat dengan peta yang jelas akan mendorong tumbuhnya ekonomi lokal,” katanya.

Sekretaris Fraksi PKS DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, menyatakan dukungannya atas pengesahan RUU MA, seraya menekankan pentingnya definisi masyarakat adat yang jelas agar tidak tumpang tindih dengan klaim administratif.

Sementara itu, Direktur Ekonomi dari CELIOS, Nailul Huda, menilai sistem ekonomi yang dijalankan masyarakat adat jauh lebih inklusif dan berorientasi komunitas.

“Dalam sistem adat, tenaga manusia bukan sekadar ‘labour’ tetapi bagian dari komunitas. Itu adalah nilai ekonomi baru yang harus dihitung,” jelas Huda.

Ia mengingatkan bahwa mempertahankan sistem ekonomi ekstraktif hanya akan memperparah ketimpangan dan kerusakan lingkungan.

Komitmen politik dan penguatan institusi adat

Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Riyono, menyatakan bahwa partainya siap mengawal RUU Masyarakat Adat, meski proses legislasi sempat terhambat karena belum dibahas bersama pemerintah.

Guru Besar Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Zuzy Anna, menambahkan bahwa kekuatan ekonomi masyarakat adat terletak pada institusi sosial mereka. Ia menyebut penguatan lembaga adat sebagai deep determinant ekonomi lokal.

“Kalau diukur dengan standar UMR, penghasilan masyarakat adat bisa lebih tinggi. Tapi mereka belum tercatat secara resmi dalam statistik ekonomi,” katanya.

Diskusi ditutup dengan seruan bersama untuk memperkuat advokasi lintas fraksi dan memperluas dukungan publik. Para peserta sepakat bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat tidak hanya penting secara hukum, tetapi juga fundamental bagi masa depan ekonomi inklusif dan pembangunan yang adil.

[TOS] 



Berita Lainnya