Daerah
Setelah 25 Tahun Menunggu, Umat Buddha Bontang Akhirnya Rayakan Waisak Perdana di Vihara

Kaltimtoday.co, Bontang - Puluhan orang, laki-laki dan perempuan, duduk bersila dengan beralaskan bantal tipis abu-abu. Dengan penuh khidmat dan serentak mereka membacakan Paritta, yang dalam agama Buddha khususnya aliran Theravada, merupakan kumpulan syair atau khotbah yang dianggap sebagai perlindungan, pemujaan, dan pemberkatan. Suara mereka menggema seisi ruangan. Di luar, sayup-sayup masih terdengar rintik hujan yang sejak pagi mengguyur Bontang.
Senin, 12 Mai 2025, menjadi hari yang membahagiakan dan begitu spesial bagi puluhan buddhis di Bontang. Bukan karena membludaknya umat yang hadir dalam perayaan Waisak kali ini. Bukan karena banyaknya rangkaian kegiatan menyambut Waisak. Bukan juga karena berbagai kemegahan dalam memperingati tiga peristiwa agung dalam kehidupan Buddha Gautama.
Namun, karena ini kali perdana mereka bisa merayakan Hari Raya Waisak di kotanya sendiri, di rumah ibadahnya sendiri, vihara. Setelah lebih 25 tahun berjuang, sebuah vihara yang kemudian diberi nama Nanasamvara yang berarti ''pengendalian diri melalui pandangan terangan,'' akhirnya berdiri megah di Kompleks Bumi Nusantara Permai, Jalan Arif Rahman Hakim, Bontang.
Ketua Yayasan Nanamsamvara Bontang, Sonny Lesmana, tak kuasa membendung suka citanya ketika Vihara Nanamsavara ini akhirnya bisa menggelar rangkaian kegiatan perayaan Hari Raya Waisak 2569 BE. Ini tak mengherankan, sebab Sonny yang sejak awal berjuang dan menginisiasi pendirian vihara ini. Banyak hal sudah dilalui; penolakan kanan-kiri, tetes keringat, air mata, dan kekecewaan.
''Suka cita, sangat, sangat, sangat. Ini (memiliki rumah ibadah) adalah mimpi yang sudah sangat lama dan ini, meski dengan segala kekurangannya, kita melangkah ke depan yang lebih baik,'' katanya usai mengikuti rangkaian kegiatan Waisak di Vihara Nanasamvara.
Dalam perayaan Waisak perdana, memang belum banyak kegiatan yang dilakukan di Vihara Nanamsamvara. Mulanya, kata Sonny, pihaknya ingin menggelar bakti sosial, seperti dilakukan vihara lain, namun terkendala waktu yang mepet. Puja Bakti pun, yang merupakan upacara, ritual atau sembahyang yang dilakukan sebagai ungkapan keyakinan terhadap Tiratana, belum dipandu Bhikkhu. Tapi masih pemimpin Puja Bakti, yakni Rendi H. Kuncoro, yang juga Ketua Pendirian Vihara Nanasamvara.
"Kami bersyukur, bisa beribadah di rumah ibadah tempat kami. Kalau Waisak biasanya selalu keluar kota. Sekarang, walaupun sederhana, tapi tetap bersyukur dan bahagia," sebut pria yang pernah jadi bagian FKUB Bontang ini.
Sonny bilang, Vihara Nanasamvara ini tak akan menjadi tempat eksklusif hanya untuk umat Buddha. Namun, ia akan terbuka bagi siapapun, tanpa terkecuali. Ia memimpikan tempat ini kelak sebagai tempat bertemu seluruh warga, menjadi salah satu simbol keberagaman warga Bontang, dan menjadi kebanggan warga kota.

Vihara dan lingkungan sekitarnya, kata dia, masih dalam proses pengembangan. Sekitar vihara, akan dibangun pagoda setinggi 47 meter, atau sekitar 8 lantai. Kemudian patung Buddha tidur sekitar 8 meter, mirip dengan yang ada di Thailand. Juga, tugu Ashoka yang tingginya mencapai puluhan meter. Ia berada tepat di bundaran sebelum memasuki vihara.
Di sekitar vihara, juga ditanami berbagai tanaman buah-buahan yang dalam beberapa tahun mendatang, diproyeksikan jadi kawasan agrowisata dan kawasan wisata religi.
''Ini (vihara) bukan untuk seremonial saja. Tapi juga untuk taman wisata religi dan agro. Harapannya ini bukan cuma terkenal di Bontang, tapi internasional.''
Dia menambahkan, "Ini kami persembahkan untuk Bontang. Kalau untuk saya (keuntungan pribadi), nol. Kami cuma mau berbuat, meninggalkan sesuatu untuk Bontang."
Sementara itu, Pemimpin Puja Bakti di Vihara Nanasamvara, Rendy H. Kuncoro mengatakan, di perayaan perdananya, ada 4 rangkaian kegiatan di vihara. Pertama, puja bakti Waisak atau upacara, ritual atau sembahyang yang dilakukan sebagai ungkapan keyakinan terhadap Tiratana. Setelahnya ditutup dengan praksiana atau mengelilingi vihara tiga kali searah jarum jam. Makna kegiatan ini ialah untuk merenungkan nilai-nilai luhur dari Buddha Gautama.
Agenda selanjutnya, fangsen atau melepaskan makhluk hidup. Ini merupakan simbolisme untuk memberikan kebebasan kehidupan bagi makhluk hidup, juga wujud harapan memperpanjang usia serta memberi kesehatan bagi umat yang menjalankan Fangsen, sebagaimana makhluk hidup yang berbahagia karena dilepas ke alam liar. Ritual terakhir, ialah memandikan rupang Buddha. Ritual ini memiliki makna simbolis sebagai penyucian diri, baik lahir maupun batin.

"Dua agenda lain, ramah tamah dan penanaman pohon di sekitar vihara," bebernya.
Adapun, dalam Hari Raya Waisak 2025 mengusung tema "Kebijaksanaan Dasar Keluhuran Bangsa." Tema ini diangkat, kata dia, kebijaksanaan merupakan dasar pembinaan karakter manusia yang berkualitas tinggi untuk mencapai cita-cita dan tujuan luhur baik pribadi maupun berbangsa, agar dapat menciptakan perdamaian dunia.
Sementara, merefleksikan tema ini terhadap kehidupan umat Buddha di Bontang, ia berharap generasi muda Kota Bontang tidak sekadar menjadi "Generasi Emas", namun menjadi generasi yang cerdas dan bijaksana dalam mengambil keputusan dalam segala aspek kehidupan.
"Tentunya ini bukan hanya untuk kepentingan sendiri dan golongan," tandasnya.
[RWT]
Related Posts
- Gelar Sosper Kepemudaan, Shemmy Tekankan Pentingnya Peran Pemuda dalam Pembangunan Daerah
- Dorong Transformasi Pendidikan di Era Digital, Pemkot Bontang Salurkan Ratusan Laptop ke Guru
- Sinergi dengan Bontang Mental Health Program, Nasyiatul Aisyiyah Muhammadiyah Galakkan Edukasi Kesehatan Mental untuk Perempuan Muda
- Gagal Penuhi Standar Administratif dan Akademik, Unijaya Dipastikan Bakal Ditutup
- Reses di Lok Tuan, Sitti Yara Dicurhati Soal Sulitnya Akses Magang hingga Distribusi Jargas Tak Merata