Daerah

Tekanan Tambang dan Perkebunan, Hutan Lindung di Kukar Tak Luput dari Ancaman

Supri Yadha — Kaltim Today 17 Juli 2025 19:43
Tekanan Tambang dan Perkebunan, Hutan Lindung di Kukar Tak Luput dari Ancaman
Ilustrasi. (Pexels)

Kaltimtoday.co, Tenggarong - Kutai Kartanegara (Kukar), salah satu kabupaten di Kalimantan Timur, memiliki kawasan hutan yang sangat luas, yakni mencapai 61 persen dari total wilayah sekitar 2,7 juta hektare. Namun, kawasan hijau ini terus mengalami tekanan alih fungsi, utamanya akibat aktivitas tambang, perkebunan, dan pemukiman.

Kondisi ini disampaikan oleh Kepala Seksi Sumberdaya Hutan (SDH),La Taati. Menurutnya, perambahan kawasan hutan merupakan isu strategis yang tidak hanya terjadi di Kukar, namun juga hampir di seluruh wilayah Indonesia.

“Apalagi Kukar kaya akan hutan, batu bara, dan mineral. Seringkali, bahkan saat masih dalam rencana, masyarakat sudah lebih dulu masuk membuka lahan,” ujarnya.

Berdasarkan data penutupan lahan tahun 2024, setidaknya 68 ribu hektare kawasan di Kukar telah digunakan untuk tambang, 253 ribu hektare untuk perkebunan, dan 21 ribu hektare untuk pemukiman. Meski tidak seluruhnya berada dalam kawasan hutan, besarnya luasan ini mengindikasikan tekanan yang signifikan terhadap tutupan hutan.

Menjadi lebih memprihatinkan, karena ternyata sejumlah kawasan hutan yang seharusnya dilindungi juga tidak lepas dari ancaman alih fungsi lahan. Dari total kawasan hutan Kukar, sekitar 240 ribu hektare merupakan hutan lindung, dan 136 ribu hektare merupakan kawasan suaka alam dan pelestarian alam.

Meski tidak bisa merincikan secara detail persentase laju tekanan terhadap kawasan hutan, ia menuturkan bahwa alih fungsi kawasan hutan baik secara legal maupun ilegal berdampak cukup signifikan terhadap perubahan rona hutan di Kukar.

Tekanan terhadap tutupan hutan juga diakui oleh Kepala Seksi Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan, Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Belayan, Fitriady Helfian. Di mana kawasan hutan di sepanjang aliran Sungai Belayan yang melingkupi Kecamatan Kota Bangun, Muara Wis, Muara Kaman, Kenohan, Kembang Janggut, dan Tabang mengalami penyusutan yang cukup signifikan.

Pada periode Oktober 2024 lalu, kawasan hutan di bawah pengelolaan KPHP Sub DAS Belayan memiliki luasan sebesar 1.012.337 Hektare (Ha). Namun pada tahun ini angka tersebut mengalami penyusutan hingga tersisa sekitar 990 ribu Ha.

Meski terjadi penyusutan, ia menuturkan bahwa hal tersebut masih terbilang lumrah. Mengingat sebagian kawasan hutan di bawah pengelolaan KPHP Sub DAS Belayan berstatus Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK).

“Perubahan peruntukan kawasan hutan dimungkinkan dalam rangka review tata ruang wilayah provinsi. Bisa semua fungsi kawasaan hutan dan ada perubahan secara parsial untuk pembangunan food estate atau proyek strategis nasional. Termasuk juga untuk masyarakat pada HPK non Produktif,” serunya.

La Taati menjelaskan salah satu persoalan besar dalam alih fungsi kawasan hutan adalah keterlanjuran, yaitu penguasaan dan pemanfaatan lahan hutan yang telah berlangsung lama oleh masyarakat maupun korporasi. Untuk masyarakat, Undang-undang Cipta Kerja membagi tiga perlakuan berbeda terhadap keterlanjuran yang dilakukan oleh masyarakat.

Pertama, masyarakat akan diberikan toleransi dan kawasan yang menjadi bagian dari keterlanjuran akan dibebaskan dari kawasan hutan dengan catatan telah dikuasai selama lebih dari 20 tahun sebelum aturan tersebut ditetapkan pada 2020 dengan ketentuan tidak lebih dari 5 hektare per orang.

Kedua, perlakuan bagi keterlanjuran yang dilakukan dengan waktu yang belum lebih dari 20 tahun dari tahun 2020 akan dikenakan sanksi administrasi dan juga denda. Sementara untuk keterlanjuran yang baru terjadi di atas tahun 2020 akan langsung dijatuhi sanksi pidana.

“Sementara untuk korporasi, keterlanjuran diatur melalui pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja, dengan konsekuensi denda administratif bagi yang tidak berizin,” sebut La Taati.

Ia juga menegaskan bahwa segala jenis keterlanjuran penggunaan kawasan hutan yang dilakukan oleh masyarakat tidak boleh lebih dari 5 Ha. Jika kawasan yang dikelola masyarakat secara perorangan melebihi batas tersebut maka secara otomatis akan dianggap korporasi.

Untuk melakukan penanganan terhadap masalah ini, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang penertiban kawasan hutan. Aturan ini dihadirkan dengan tujuan untuk menertibkan penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, termasuk kegiatan perkebunan ilegal.

Perpres ini membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan yang diketuai oleh Menteri Pertahanan dan akan menerapkan sanksi administratif, penguasaan kembali kawasan hutan, dan pemulihan aset di kawasan hutan yang bermasalah. 

Di Kalimantan Timur (Kaltim), La Taati mengatakan bahwa saat ini Satgas tersebut sedang fokus menyelesaikan keterlanjuran oleh korporasi dan akan disusul dengan penertiban keterlanjuran yang dilakukan masyarakat.

“Tapi pasti semua akan ditertibkan, baik korporasi maupun masyarakat. Tapi detailnya saya kurang paham karena kan penanganannya ads di satgas,” tutupnya.

[RWT]



Berita Lainnya