Samarinda

Balapan Liar Terjadi Lagi, Akademisi: Kalau Terus Dibiarkan, Remaja akan Terbiasa Anarkis

Kaltim Today
15 April 2021 17:33
Balapan Liar Terjadi Lagi, Akademisi: Kalau Terus Dibiarkan, Remaja akan Terbiasa Anarkis
Balapan liar oleh sejumlah remaja yang diamankan kepolisian pada Rabu (14/4/2021) malam di Samarinda.

Kaltimtoday.co, Samarinda - Rabu (14/4/2021) malam lalu, Polresta Samarinda menertibkan aksi balap liar yang dilakukan remaja di Jalan Bung Tomo Samarinda Seberang dan Jalan Dr Soetomo Samarinda Ulu. 23 remaja laki-laki diamankan bersama 17 unit sepeda motor.

Balap liar tak terjadi sekali dua kali. Momen sahur biasanya dimanfaatkan para remaja untuk melancarkan aksi balap liarnya. Dalam hal ini, masyarakat merasa terganggu dan akhirnya melapor ke pihak berwajib. Sri Murlianti, akademisi dari Prodi Pembangunan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Mulawarman (Unmul) menyampaikan tanggapannya terkait aksi tersebut.

Menurut Sri, aksi tersebut merupakan hal biasa yang bisa dilihat sebagai pencarian jati diri, mencari cara untuk eksis, dan ingin merasa diakui. Walaupun, cara dan waktunya tidak tepat. Sehingga tidak sepenuhnya tepat jika hal itu dianggap sebagai kenakalan remaja.

Bicara soal waktu sahur yang dimanfaatkan untuk balapan liar, Sri menilai remaja mungkin menganggap itulah jam yang sepi. Apalagi, pada umumnya para remaja tak ada kegiatan lain setelah sahur. Khusus untuk remaja, perlu dipahami bahwa usia-usia sekolah adalah masa-masa penuh energi. Masa pencarian jati diri, berkumpul bersama rekan-rekan sebaya itu hal yang dianggap menyenangkan.

"Tapi kemudian kalau pilihannya adalah balapan liar dan telah berlangsung berulang kali, berarti ada yang salah dengan sistem sosial yang ada," ungkap Sri saat dihubungi melalui WhatsApp pada Kamis (15/4/2021).

Kemungkinan gabungan dari sistem kontrol sosial ada yang tidak jalan. Mulai dari tingkat keluarga, lingkungan terdekat, dan aparat keamanan dengan sistem yang sama sekali tak memberi efek jera. Sehingga aksi serupa kerap ditemukan.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Kaltim Today (@kaltimtoday.co)

"Kenapa pelakunya remaja, ya karena mereka mempunyai semua energi untuk itu. Ingin menunjukkan eksistensi diri. Jika keluarga dan lingkungan gagal menyediakan media yang tepat untuk kebutuhan para remaja ini, maka mereka akan membangun ajang-ajangnya sendiri," lanjutnya.

Balap liar hanya salah satu contoh. Remaja laki-laki menggemarinya karena balapan identik dengan nilai-nilai kekuatan, kejantanan, keberanian, ketangguhan, dan keperkasaan. Menurut Sri, dalam masyarakat yang masih sangat patriarkis, nilai-nilai tersebut selalu dikonotasikan dan melekat pada laki-laki.

Sri menegaskan, penindakan selanjutnya jangan hanya terpaku dengan razia atau tilang kemudian dilepas. Remaja masih bisa melakukan hal yang sama. Menurutnya, fenomena tersebut harus ditangani menyeluruh, baik psikologis dan sosiologis.

"Secara psikologis mereka harus dibantu dengan konseling atau pendampingan agar remaja ini melakukan refleksi diri. Mulai apa yang ingin mereka cari, kerugian yang akan mereka dapatkan, dan risikonya terhadap orang lain," tambah Sri.

Peran keluarga dan orang terdekat harus sangat intens agar membuat remaja menyadari bahwa kegiatan itu tak tepat. Namun disampaikan dengan tidak membuat remaja merasa terhakimi pula. Jika keluarga tak sanggup, pertolongan profesional bisa menjadi opsi. Selain itu, menciptakan ajang-ajang kegiatan yang menarik dan positif bagi remaja agar keinginannya tersalurkan.

"Di atas semua itu, sistem kontrol sosial yang kuat mulai keluarga, lingkungan terdekat, dan aparat keamanan diperlukan untuk mencegah ini berulang," beber Sri.

Jika terus-terusan dilakukan selama bulan Ramadan, dampak terburuknya justru menciptakan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan membahayakan pengguna jalan. Termasuk besarnya risiko kecelakaan.

"Jika dibiarkan terus-menerus, ya para remaja ini akan sangat terbiasa berbuat anarkis, membahayakan orang lain dianggap hal yang biasa, menyepelekan norma-norma sosial yang mapan, tidak menghargai hak-hak orang lain," pungkasnya.

[YMD | RWT]



Berita Lainnya