Suara Generasi Muda

Belajar dari Fenomena Banjir di Kaltim: Saatnya Mulai Peka pada Kabar Hulu-Hilir DAS Mahakam 

Kaltim Today
13 Mei 2025 08:12
Belajar dari Fenomena Banjir di Kaltim: Saatnya Mulai Peka pada Kabar Hulu-Hilir DAS Mahakam 

Oleh: Adjie Valeria Christiasih (Diaspora Kaltim & Mahasiswa Magister PSL–IPB)

Satu bulan yang lalu (April 2025), saya berkunjung ke suatu tempat di Kabupaten Mahakam Ulu, tepatnya di Long Pahangai. Dimana warganya yang sangat mengandalkan sungai sebagai arena untuk memenuhi kebutuhan domestik seperti air bersih hingga mencari ikan untuk makanan keseharian. Selain itu, sungai sebagai penghubung antar kampung yang biasanya menggunakan perahu motor (ces), long boat maupun speed boat.  

Secara durasi, kehadiran saya di Long Pahangai hanyalah dua minggu akan tetapi saya disuguhkan fenomena banjir di pusat kecamatan yakni kampung Long Pahangai Satu. Kemudian, warga yang paling terdampak adalah mereka yang memiliki rumah di bantaran sungai Mahakam sehingga perahu-perahu yang dimiliki, biasa terparkir di tiap dermaga pun ketika air sungai sedang pasang hingga meluap. 

Kondisi meluapnya air sungai Mahakam di kampung Long Pahangai Satu saat itu, dibersamai dengan sebelumnya terjadi hujan berhari-hari hingga puncak luapan air yakni pada kondisi alam yang menunjukkan bulan purnama. Hal inilah yang membuat dugaan kian menguat karena setiap bulan purnama maka potensi permukaan air laut akan naik. Sehingga dampaknya juga pada kenaikan debit air sungai hingga ke aliran paling hulu sekalipun. Meskipun DAS (Daerah Aliran Sungai) Mahakam dari Long Pahangai berjarak cukup jauh (ratusan kilometer) dari muara bagian ilir laut Kalimantan Timur. Sederhananya, air sungai meluap adalah hasil air yang datang dari atas seperti air hujan dan bawah kenaikan air permukaan laut. 

Pada sisi inilah opini ini ingin mengajak pengamatan kita bersama secara spasial (ruang) DAS ulu, tengah dan ilir Mahakam secara horizontal dan sejauh apapun itu sudah dipastikan akan terhubung dan terdampak. Begitu pula secara vertikal seperti ke arah langit dan bumi didukung situasi cuaca siang dan malam serta area resapan air ke tanah. 

Padahal, di Kecamatan Long Pahangai masih memiliki banyak area resapan air seperti hutan rimba sehingga menjadi perhatian lembaga lingkungan seperti Rainforest Action Network (RAN), Perkumpulan Nurani Perempuan (PNP) dan Wahana Lingkungan Hidup Kaltim (WALHI KALTIM) yang memperjuangkan keberadaan hutan hujan alamiah di Mahakam Ulu agar tetap lestari dan diakui sebagai Hutan Adat seperti perjuangan masyarakat adat Dayak Bahau Kampung Long Isun. Meski demikian, banjir akibat luapan air sungai Mahakam yang masuk pada rumah warga di bantaran Sungai Mahakam tak terhindarkan, mengapa? Karena PR kita bersama adalah bagaimana mitigasi resiko bencana alam ketika memilih hunian serta lanskap kampung di area DAS. 

Kemudian jika bicara mitigasi bencana paling sederhana pun, kita bisa amati dari bangunan terlama di kampung tersebut seperti rumah warisan leluhur (amin adat) sebagai saksi bisu tentang seberapa tinggi air meluap dan hidup berdampingan dengan koridor air alamiah. 

Ketika saya cek di saat bulan purnama bulan April 2025, ternyata benar bahwa sisi lantai bangunan amin adat yang telah berusia puluhan sampai ratusan tahun di Kampung Long Pahangai Satu tidak terkena banjir akibat luapan air Sungai Mahakam. Memang posisi bangunan amin adat tentu berbeda dengan rumah warga di bantaran sungai, dimana bentang alamnya rumah pribadi warga terdampak banjir lebih rendah beberapa meter. Banjir yang terjadi di Long Pahangai kira-kira kedalaman se-betis orang dewasa maupun lebih. 

Lantas jika adanya keterlanjuran demikian, apakah kita perlu menyalahkan rumah-rumah warga ada di bantaran sungai Mahakam area kampung Long Pahangai Satu? Apakah mereka butuh relokasi agar tidak terkena banjir luapan air Sungai Mahakam, khususnya di saat tingginya curah hujan bersama kalender bulan sedang menunjukkan bulan purnama? 

Tentu tidak sesederhana itu, karena akses logistik sembako melalui transportasi yang mengandalkan sungai lah yang membuat mereka mendirikan rumah di bantaran sungai dan hidup bertahun-tahun. Sehingga, posisi opini ini adalah pengamat dan tetap menaruh rasa respect sepenuhnya kepada warga yang hidup di bantaran Sungai Mahakam bagian Ulu untuk tetap bertahan. Toh, degradasi ruang akibat keberadaan tempat tinggal mereka di satu kampung itu tidak sebanyak yang dikira dan yakinlah mereka lebih paham risiko bencana maupun kerugian-kerugian kecil yang mesti dihadapi dengan alasan historis lainnya maupun aktivitas perdagangan di kampung pedalaman itu. 

Selain itu hal yang perlu ditekankan adalah keberadaan hutan alamiah di area sekitar Ulu DAS Mahakam dengan perkiraan luas ratusan ribu hektar hutan yang mengelilingi pemukiman kampung-kampung pedalaman mesti dilestarikan hingga akhir zaman dan diakui sebagai hutan adat oleh negara.

Selanjutnya pada konteks DAS Mahakam bagian ilir seperti Kota Samarinda, situasi air sungai ketika pasang maupun surut mesti menjadi pengamatan yang serius. Termasuk menduga kiriman air dari daerah yang minim resapan air mengingat pada dasarnya air mengalir ke daerah yang lebih rendah dan mudah. Jika sebulan yang lalu ada kabar meluapnya air sungai Mahakam di bagian Ulu seperti Long Pahangai. Maka, jadikan kabar itu pertanda bahwa debit air sungai itu akan mengalir hingga Samarinda meski secara waktu tidak bisa ditebak pasti.  

Selain situasi alam dan ekosistem sungai. Realitas sungai Mahakam bagian tengah dan hilir justru lebih sering digunakan sebagai akses milir-mudik tongkang demi mendistribusikan materi kayu-kayu hutan serta batu bara ke luar daerah. Sehingga ketika terjadi luapan air sungai Mahakam seperti baru terjadi pada bulan Mei 2025 ini mesti menjadi perhatian yang serius tanpa mengabaikan tiap aktivitas di area sungai Mahakam. 

Sederhananya, meski luapan air sungai mahakam didukung tingginya curah hujan berhari-hari berujung banjir yang meluas akan tetapi berita yang muncul menunjukkan dampak bagi sosial-ekonomi masyarakat dari banjir itu sendiri. Padahal, tak henti-hentinya pemerintah Kota Samarinda berupaya membuat proyek untuk menangani banjir di kota. Seperti pelancaran drainase dan gorong-gorong sebagai koridor air hujan ketika curah hujan tinggi dan intensitas waktu yang lama hingga relokasi rumah warga yang dulunya tinggal di bantaran sungai Karang Mumus yang terjadi dalam +/- 7 tahun belakangan. Dengan tetap terjadinya banjir apakah proyek itu kita sebut sia-sia? Silahkan disimpulkan masing-masing. 

Adapun hal-hal yang mesti diperhatikan pada konteks urban seperti kota Samarinda dan sekitarnya adalah pada situasi terjadinya pengalihfungsian lahan. Misalnya yang dulunya ada area hijau alamiah seperti hutan maupun sawah dan kebun warga yang sedemikian luas. Kini sudah menjadi lokasi pertambangan hingga bisnis properti perumahan yang kian menjamur di Kota Samarinda. 

Oleh sebab, setiap pengalihfungsian lahan tanpa memperhatikan koridor air untuk mengalir serta meresap ke tahan inilah yang masih menjadi biang dari kejadian banjir itu sendiri. Termasuk pemulihan lingkungan pasca tambang di Kota Samarinda dan wilayah sekelilingnya yang begitu lamban diproses ketimbang operasionalnya. 

Bukan rahasia umum lagi proses penambangan adalah dengan cara membongkar hutan dan mengeruk tanahnya hingga berujung menjadi lubang tambang di area Makroman, Sanga-Sanga dan Tenggarong Seberang. Tetapi pada dasarnya kontur alam tidak hanya pada batasan administratif kota Samarinda saja karena Samarinda dikelilingi area pedesaan Kabupaten Kutai Kartanegara yang masih terjadi pengalihfungsian lahan dari hutan menjadi area operasional tambang batu bara yang belum terpulihkan hingga saat ini.  

Contoh fenomena lingkungan yang masih hangat terjadi pula yakni kejadian longsor pada proyek terowongan Selili Kota Samarinda pada 12 Mei 2025 adalah dampak serius yang mesti disorot pula. Tentu sebagai bukti nyata pula bahwa kepekaan kita pada kondisi alam Kalimantan mesti dipertajam dari sekarang hingga seterusnya. 

Sebab, semegah apapun proyek yang dibanggakan oleh pemerintah, tanpa mitigasi risiko bencana yang bersandar pada fenomena alam serta pemahaman pengetahuan masyarakat adat mengelola lingkungannya berdasar pada kalender bulan malam hari. Maka, setiap proyek akan rentan menelan biaya yang lebih besar dari yang dianggarkan. 

Itupun baru dari sisi proyek terowongan Selili, lantas bagaimana dengan area pemukiman warga yang secara meter di atas permukaan laut (MDPL) lebih rendah dari bukit selili? Kerugian yang dirasakan seperti alat-alat rumah tangga, kendaraan dan material apapun yang ada di rumah ini jika ditotal keseluruhan warga terdampak maka bisa diduga tanpa hitungan kalkulator ekonomi pun rentan menunjukkan angka membengkak daripada angka kerugian proyek terowongan Selili.  

Mungkin di antara kita ada bertanya, “memangnya proyek pertambangan, perkebunan skala besar maupun pembangunan gak ada AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) nya, kok ya bisa terjadi banjir hampir setiap tahunnya?”. 

Maka hal yang mesti kita ketahui, siapa yang membuat AMDAL? Apakah pembuat AMDAL adalah orang yang hari-harinya tinggal di Kalimantan Timur? Hal ini bukan ingin menjurus pada politik identitas, melainkan masyarakat Kalimantan Timur baik yang aktif tinggal di Kaltim maupun jejak leluhur adalah sebenar-benarnya saksi terjadinya fenomena alam saat ini dan bertahun-tahun silam. 

Sehingga, opini ini dibuat untuk mengajak pihak yang mengkaji AMDAL apapun untuk melakukan riset lebih serius dan mendalam tentang memitigasi risiko bencana di seputaran Kalimantan Timur. Bahkan ketika mengkaji AMDAL pun tidak hanya teknis standar operasional saja, namun perlu memposisikan diri sebagai warga yang hari-harinya hidup di Kaltim agar mampu memitigasi risiko bencana alamnya. 

Sebagai penutup, opini ini ingin mengajak setiap warga kaltim melakukan pengamatan alam dan mengabarkan tiap fenomena yang terjadi pada DAS Mahakam di seluruh sisi. Sehingga jika ada kabar terjadi banjir di Mahakam Ulu, maka warga yang tinggal di Kutai Barat, Kutai Kartanegara hingga Samarinda mesti berjaga-jaga. Mengingat kompleksitas pemicu banjir hingga penanganannya, maka sinergitas riset mendalam tiap pemerintah tingkat 2 mesti dilaksanakan secara terhubung. 

Atas nama menjaga alam, kita tidak bisa egois tiap daerah dalam menangani ini. Termasuk memikirkan berkali-kali pengalihfungsian lahan di area Ulu yang hutannya masih terjaga agar tidak terjadi pengalihfungsian lahan menjadi proyek eksploitatif seperti pertambangan. 

Selain itu, momentum ini juga adalah bagian dari teguran serius dari alam untuk Pemerintah tingkat 2 yang memantau area DAS Mahakam Tengah dan Ilir untuk mulai digencarkan pemulihan lingkungan agar luapan sungai dapat terkendali sesuai koridornya.(*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp 



Berita Lainnya