Opini
Etnis Rohingya: Fenomena Tubuh Tanpa Perlindungan Hukum
Oleh: Hafiz Naufal Anshoor (Mahasiswa Magister Sastra, Universitas Gadjah Mada)
Kisah pilu etnis Rohingya masih berlanjut hingga detik ini, terlebih pada beberapa kasus yang sudah beredar di Indonesia. Berdasarkan sejarahnya, titik masuk kelompok Rohingya ke dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia melalui Nanggroe Aceh Darussalam dengan beramai-ramai menjadikan Indonesia sebagai tempat tinggal sementara, setelah tindakan genosida yang dilakukan oleh kelompok penguasa Myanmar sejak 2017 silam. Sebelum menjelajahi lebih lanjut tentang fenomena masuknya kelompok etnis Rohingya di Indonesia, ada baiknya kita perlu menyelami asal-usul tindakan eksodus (meninggalkan tempat asal atau kampung halaman secara besar-besaran) yang dilakukan oleh kelompok Rohingya.
Dilansir melalui laman LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) yang ditulis oleh Fathul Jawad, seorang mahasiswa dari Universitas Al-Azhar Indonesia, menyatakan bahwasannya pemerintah Myanmar melakukan tindakan penghancuran massal etnis Rohingya dengan alasan serangan balasan, karena pada Oktober 2016 milisi Rohingya melakukan penyerangan terhadap pos polisi.
Perkiraan jumlah korban etnis Rohingya akibat serangan tersebut adalah mencapai 6.700 orang dan termasuk warga sipil biasa menjadi target para militer pemerintah Myanmar (30/11/2022). Yang perlu menjadi titik fokus di sini adalah diskursus penyerangan balasan. Dengan menggaungkan wacana seperti itu, akan sangat tidak etis ketika harus ditukar dengan ribuan nyawa orang tidak bersalah, seperti anak-anak, ibu, dan lansia atas perlakuan beberapa oknum tertentu, di sini dikatakan oleh penulis sebagai milisi Rohingya.
Tentu, wacana tentang pembalasan atas penyerangan yang dilakukan Rohingya adalah suatu narasi besar (grand narration) yang dilontarkan kepada ruang publik oleh kuasa negara Myanmar sebagai pemegang kedaulatan tertinggi melalui apparatus repressive state yang terdiri dari pemerintah, instansi militer, dan kepolisian.
Melalui Jean-François Lyotard terkait narasi besar bahwasannya, tidak ada lagi legitimasi tentang narasi besar (grand narration) yang biasanya melakukan totalisasi atas suatu pengetahuan, wacana, atau fenomena yang terjadi pada era strukturalisme. Sehingga, ketika dikontekskan dengan era sekarang ini, maka segala bentuk diskursus tidak dapat kita lihat hanya dari satu sisi saja. Dengan kata lain, diskursus selalu memiliki makna lainnya dan tidak berfokus pada makna tunggal (singular meaning). Di sini, kita perlu menggarisbawahi apa yang menjadi titik tumpu dari tujuan penjelasan singkat mengenai hal ini adalah untuk lebih berpikir kritis terhadap segala wacana yang hadir di berbagai media supaya kita sebagai masyarakat Indonesia tidak mudah menelan mentah-mentah informasi yang diterima untuk menghindari berita hoax.
Kembali pada kasus Rohingya, hubungan antara narasi besar dan wacana pembelaan pemerintah Myanmar atas wacana balasan penyerangan, tentu jelas sebagai salah satu bentuk untuk kita lebih kritis terhadap pernyataan tersebut. Belum tentu itu benar dan menjadi makna tunggal. Terdapat berbagai interpretasi yang dapat kita telaah lebih mendalam pada pernyataan yang dikemukakan oleh pemerintah Myanmar tersebut. Salah satunya adalah melalui pandangan seorang filsuf politik dari Italia bernama Giorgio Agamben, fenomena reduksivitas manusia atau subjek di suatu negara dapat dijabarkan secara komprehensif.
Agamben berangkat pada kasus paradoksal kekuasaan tertinggi (sovereignty) terlebih dahulu, yang ia menyatakan sang penguasa (sovereign) berada pada di luar dan di dalam tatanan yuridis. Maksudnya adalah sang penguasa yaitu kedaulatan Negara dapat memposisikan dan menentukan segala bentuk tindakan yang akan dilakukan pada tatanan sosial seperti pada etnis Rohingya yang dijadikan kambing hitam atas tindakan penyerangan terlebih dahulu. Tindakan ini tentu didasari pada keadaan kedaruratan (state of exception) karena pemerintah Myanmar menganggap etnis Rohingya mengancam kedaulatannya. Sehingga, perlu diadakan tindakan penghancuran massal. Terlepas dari itu, indikator lainnya yang menjadikan etnis Rohingya harus dibuang dan dikucilkan secara besar-besaran oleh mayoritas kelompok di negara Myanmar seperti konflik agama antara mayoritas dan minoritas.
Lebih lanjut, keadaan kedaruratan suatu keadaan yang disitu terdapat berbagai zona atau ruang-ruang tanpa hukum (lawlessness). Maka, ketika etnis Rohingya dimasukkan kedalam zona tersebut, secara otomatis orang-orang yang berada didalamnya tidak mendapatkan hak-hak atau perlindungan secara nyata dari pemerintah itu sendiri. Hal inilah menjadi salah satu alasan fenomena eksodus etnis Rohingya dan menuju negara-negara yang terdekat dari wilayah Myanmar. Tujuan diantaranya adalah tentu menjadi manusia seutuhnya kembali dengan memiliki hak atau jaminan perlindungan hukum yang nyata pada tatanan sosial. Salah satu negara yang dikunjungi adalah tentu saja Indonesia.
Seperti yang kita ketahui, etnis Rohingya adalah kelompok yang memeluk agama Islam dan karena hal itulah ia menjadi minoritas di negaranya sendiri. Lalu, ia meminta pertolongan pada saudara sesama Muslim di Indonesia khususnya, dengan memberikan mereka tempat tinggal sementara. Melalui jalur laut, mereka berdatangan dengan jumlah yang semakin hari semakin banyak dan kebanyakan tempat yang dituju pertama adalah kepulauan Aceh. Namun, pada detik ini, terjadi penolakan secara serempak yang dilakukan oleh masyarakat lokal atas kedatangan etnis Rohingya. Ini tentu bukan karena menolak atas nama agama, melainkan etnis Rohingya sendiri tidak mematuhi aturan setempat.
Dilansir dari Laman VOA Indonesia, melalui wawancara terhadap salah satu masyarakat lokal di Aceh yang bernama Wak Dolah, ia mengatakan bahwasannya mereka sudah diberikan berupa konsumsi secara gratis, namun mereka tetap saja mengatakan makanan yang diberikan tidak cukup, bahkan dibuang secara cuma-cuma. Lebih lanjut, Wak Dolah mengatakan etnis Rohingya sudah berada di wilayah Sabang selama 10 hari dan melakukan tindakan yang sangat tidak sopan dan tidak memiliki adab yaitu buang air besar disembarang tempat (16/12/2023).
Menanggapi pernyataan terakhir tersebut, sebenarnya apa yang menyebabkan mereka melakukan buang air besar disembarang tempat? Tentu jawaban yang secara rasional adalah tidak ada tempat yang layak disediakan oleh pemerintah atau warga setempat untuk mereka melakukan buang air besar. Namun, perlu kita lebih mengkritisi dengan melihat jawaban kemungkinan lainnya. Secara tidak langsung, etnis Rohingya menjadikan diri mereka sendiri sebagai manusia atau subjek tanpa memiliki hak atau perlindungan hukum yang nyata akibat tindakan tidak terpuji tersebut. Alasannya jelas tidak mematuhi aturan hukum yang berlaku dan bisa dikatakan mereka memasuki wilayah yang belum tentu semua orang dapat menerima keberadaan mereka secara sukarela.
Pada kasus terbaru ini, terdapat beberapa oknum yang ditangkap atas dasar penyelundupan etnis Rohingya dari Bangladesh hingga Indonesia. Melalui laman Kompas, Polresta Banda Aceh mengidentifikasi dua orang yang masih status terduga penyelundupan yaitu bernama Muhammad Amin dan Muhammad Rasul. Kemudian, ditemukan tambahan oknum yang menjadi kaki tangan dari dua orang ini dalam kasus penyelundupan tersebut. Hingga saat ini, kasus penyelundupan tersebut masih dalam tahap penyelidikan lebih lanjut (16/12/2023).
Dengan demikian, ini menjadikan salah satu alasan betapa mudah dan merebaknya etnis Rohingya masuk ke dalam kekuasaan wilayah Indonesia melalui jalur laut dan berhenti di pulau-pulau Aceh akibat adanya human trafficking (perdagangan manusia). Hal ini juga menjadikan bukti kuat lainnya bahwa semakin tersiksanya masyarakat Rohingya harus merelakan subjektivitasnya direduksi secara terus-menerus hingga menjadikan kehidupannya nihil sebagai manusia yang tidak memiliki perlindungan dan hak apapun pada tatanan sosial dari berbagai negara hingga sampai saat ini.
Dari fenomena ini, terlihat sangat jelas bagaimana nasib etnis Rohingya yang sama sekali tidak memiliki hak dan perlindungan apapun dalam tatanan sosial. Dari tempat asalnya sendiri hingga harus mengungsi di beberapa negara lainnya, mereka tidak diterima dengan tangan terbuka akibat dari salah satunya adalah perbuatan mereka sendiri yang terkadang menjadikan tuan rumah enggan menerima kedatangan mereka. Etnis Rohingya menjadi subjek atau kelompok dengan meminjam istilah yang disebut Agamben sebagai homo sacer (manusia yang tidak memiliki hak dan perlindungan di dalam tatanan sosial) pada diri mereka. Lantas, sampai kapankah misi eksodus etnis Rohingya ini akan berlanjut?(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- Meninjau Masa Depan Kebebasan Pers Dalam RUU Penyiaran
- Pengasuh Aniaya Anak: Urgensi Pemeriksaan Psikologis dan Bekal Pengetahuan Hukum Sebagai Upaya Preventif
- Apa Adab dan Hukum Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan? Begini Penjelasannya
- Kenali Bentuk-Bentuk Serangan Fajar dan Hukumnya dalam Islam
- Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum di Berau Meningkat di Tahun 2023