Opini
Meninjau Masa Depan Kebebasan Pers Dalam RUU Penyiaran
Oleh: Sabrina Deviana, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
RUU Penyiaran yang sedang dibahas saat ini menimbulkan banyak perdebatan di kalangan masyarakat, media, dan para ahli hukum.
Isu utama yang menjadi sorotan adalah sejauh mana regulasi ini akan mengatur penyiaran di Indonesia, dan apakah aturan tersebut justru akan mengekang kebebasan pers. Kebebasan pers merupakan salah satu pilar fundamental demokrasi yang berfungsi sebagai pengawas, penyampai informasi, dan pendukung partisipasi publik.
Di Indonesia, kebebasan pers telah berkembang sejak reformasi 1998, namun ancaman terhadap kebebasan ini masih terus muncul, terutama melalui regulasi baru seperti RUU Penyiaran. Salah satu poin yang menuai kontroversi adalah rencana pemberian wewenang lebih besar kepada pemerintah dalam mengawasi dan mengendalikan konten siaran. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kebijakan ini bisa digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah atau pihak-pihak berkuasa.
Padahal selama ini banyak pengungkapan kasus yang berawal dari investigasi jurnalistik, karena tidak semua masyarakat berani bicara dan melaporkan temuannya ke publik. Dalam era digital ini, regulasi memang diperlukan untuk memastikan ekosistem media yang sehat dan bertanggung jawab. Namun, regulasi tersebut harus dirancang sedemikian rupa agar tidak menjadi alat politik untuk mengekang kebebasan pers.
Transparansi dalam proses legislasi, serta keterlibatan aktif dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk jurnalis dan organisasi masyarakat sipil, sangat penting untuk memastikan bahwa undang-undang yang dihasilkan adil dan seimbang. Jika RUU Penyiaran disahkan tanpa perubahan signifikan yang menjamin perlindungan terhadap kebebasan pers, maka kita berisiko mundur ke masa di mana informasi dikendalikan dan dibatasi.
Ancaman Terhadap Kemerdekaan Media
Kebebasan pers bakal terancam dan mengalami pelemahan yang tentu akan menjadi masalah serius berkaitan dengan penguatan kualitas demokrasi di Indonesia. Ada beberapa pasal yang paling berpotensi melemahkan kebebasan pers.
Pasal 50B ayat 2 huruf C Rancangan UU Penyiaran menyatakan dengan tegas larangan untuk penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Larangan ini memiliki potensi menutup keleluasaan pers dalam proses mendapatkan data pendukung pemberitaannya dan tentu saja juga menghalangi publik untuk mendapatkan informasi yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan.
Lalu pada pasal 50B ayat 2 huruf C Rancangan UU Penyiaran yang menyatakan larangan melakukan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme terorisme. Pasal ini akan menjadi pasal karet yang bisa mengancam pelaku pers. Sebab penafsiran mengenai istilah-istilah itu sangat subyektif dan ambigu.
Dengan pasal ini, kebebasan pers akan jelas terancam. Contohnya, sebuah pemberitaan yang bersifat kritis bisa dianggap sebagai bentuk pencemaran nama baik, fitnah, atau berita bohong karena mempersoalkan posisi para pemegang kekuasaan. Sehingga pelaku pers akan mudah dipenjarakan dengan penggunaan pasal karet ini.
Seperti kasus Haris dan Fatia yang juga ditemani oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) resmi mendaftarkan uji materi pasal-pasal karet tentang berita bohong dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1946, Pasal 27 Ayat (3) Jo. Pasal 45 Ayat (3) UU ITE, dan Pasal 310 Ayat (1) KUHP yang digunakan untuk menjeratnya. Sebagai aktivis dan pembela hak asasi manusia, mereka dirugikan karena rentan dikriminalisasi menggunakan pasal-pasal karet ini.
Pada pasal 8A ayat 1 huruf q yang mengatur kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus bidang penyiaran, pasal ini bertentangan dengan UU Penyiaran utamanya pada pasal 15 ayat 2 huruf c yang mengamanatkan kepada Dewan Pers untuk memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Pengaturan ganda terhadap dua lembaga dalam menyelesaikan kasus pemberitaan tentu saja akan menjadi masalah. Ini akan membuat publik menjadi kebingungan saat merasa dirugikan oleh pemberitaan dan juga memunculkan ketidakpastian penanganan kasus itu sendiri.
Pengesahan Rancangan UU Penyiaran ini dengan jelas dan pasti akan menggerus watak kritis pers, menaklukkan para pelaku pers, dan lebih penting lagi akan menghapuskan peran-peran sosial pers, terutama dalam melakukan pengawasan dan kontrol terhadap kekuasaan. Bisa diduga banyak agenda politis yang sedang dijalankan dengan pelemahan kebebasan pers, terutama pada empat pasal krusial di atas.
Dampak terhadap Demokrasi: Menimbang Keseimbangan antara Kebebasan dan Kontrol Media
RUU Penyiaran memiliki potensi besar untuk mempengaruhi keseimbangan antara kebebasan dan kontrol media, yang pada gilirannya akan berdampak pada kualitas demokrasi sebuah negara. Dalam konteks demokrasi, penting untuk mempertimbangkan dengan cermat bagaimana regulasi media ini dapat mempengaruhi kebebasan pers dan demokrasi secara keseluruhan.
Kebebasan pers adalah pilar utama dalam demokrasi yang sehat. Media yang bebas dan independen memiliki peran penting dalam menjaga akuntabilitas pemerintahan, memberikan informasi yang objektif kepada masyarakat, dan memfasilitasi diskusi publik yang beragam. Tanpa kebebasan pers yang memadai, demokrasi menjadi rapuh dan rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Namun, kontrol media yang berlebihan oleh pemerintah dapat menjadi ancaman serius terhadap demokrasi. Ketika pemerintah memiliki kekuasaan mengatur konten media, ada risiko penyalahgunaan kekuasaan untuk membungkam kritik dan mengendalikan aliran informasi. Hal ini dapat menghasilkan masyarakat yang kurang terinformasi serta kurang kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Dalam menimbang RUU Penyiaran, penting untuk mencari keseimbangan yang tepat antara kebebasan dan kontrol media. Regulasi yang sesuai harus mampu melindungi masyarakat dari konten yang merugikan, sambil tetap menjaga kebebasan berekspresi dan pluralitas media. Pendekatan yang inklusif dan transparan dalam menyusun regulasi serta partisipasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk mencapai keseimbangan yang adil.
RUU Penyiaran membawa potensi ancaman terhadap kemerdekaan media dengan adanya kontrol yang berlebihan dari pemerintah. Pasal-pasal yang berpotensi memperketat kendali pemerintah terhadap media penyiaran bisa menghambat kebebasan berekspresi dan mereduksi pluralitas informasi yang vital bagi masyarakat.
Keseimbangan antara kebebasan dan kontrol media berdampak langsung pada demokrasi. Tanpa akses yang bebas dan tanpa hambatan terhadap informasi, demokrasi sulit untuk berfungsi secara optimal. Namun, kebebasan pers tanpa batas juga membawa risiko, seperti penyebaran hoaks dan konten berbahaya yang dapat mengancam stabilitas sosial. Menjaga keseimbangan antara kebebasan pers dan kontrol media menjadi kunci dalam menyusun RUU Penyiaran.
Pengawasan yang proporsional, transparan, dan berbasis hukum diperlukan untuk melindungi kebebasan pers, sambil juga menjaga kepentingan publik dan melindungi masyarakat dari konten yang merugikan. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Aksi Tolak Revisi UU Penyiaran, Gabungan Jurnalis dan Pegiat Media Sosial di Bontang Dijaga Puluhan Anggota Kepolisian
- Dianggap Mengancam Kebebasan Pers dan Kebebasan Berekspresi Warga, Jurnalis Bontang Tegas Menolak Draf RUU Penyiaran
- Pengasuh Aniaya Anak: Urgensi Pemeriksaan Psikologis dan Bekal Pengetahuan Hukum Sebagai Upaya Preventif
- Apa Adab dan Hukum Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan? Begini Penjelasannya
- Kenali Bentuk-Bentuk Serangan Fajar dan Hukumnya dalam Islam