Opini
Fenomena Kutu Loncat dalam Politik: Dampak Mendominasinya Pragmatisme Parpol di Indonesia
Oleh: Revo Linggar (Mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta)
Apabila mengikuti berita atau informasi politik beberapa bulan terakhir, kita dapat melihat banyaknya politisi yang berpindah dari satu partai ke partai lain secara signifikan menjelang pemilu 2024.
Fenomena ini merupakan fenomena yang lumrah di dalam iklim politik Indonesia, namun tidak dengan iklim politik di negara lain. Sebagai contoh di Amerika Serikat, akan sangat memalukan dan tidak etis apabila anggota Partai Republik berpindah menjadi kader Partai Demokrat, walaupun hal itu mungkin saja terjadi, namun hal itu berarti terdapat perubahan ideologi yang signifikan di dalam diri individu tersebut dalam memandang suatu isu politik.
Sedangkan di Indonesia, dalam beberapa bulan ini terdapat banyak politisi yang berpindah-pindah partai layaknya transfer dalam sepak bola, seperti Sandiaga Uno dari Gerindra ke PPP, Rian Ernest dari PSI ke Golkar, atau Deddy Mulyadi dari Golkar ke Gerindra. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan publik, apakah perpindahan partai ini murni karena perubahan ideologi atau adanya keuntungan elektoral, baik bagi politisi ataupun partai politik untuk mendapatkan pundi-pundi suara dalam pemilu 2024.
Apabila mengkaji buku “Indonesia Political Thinking” karya Herbert Feith mengenai ideologi atau aliran partai politik di Indonesia, sebenarnya Indonesia memiliki 4 aliran besar yaitu komunisme, nasionalisme (Jawa-Hindu), islamisme dan sosial demokrat, namun masa-masa kuatnya ideologi politik segera berakhir ketika memasuki masa orde baru dan diperkenalkannya kebijakan fusi partai politik yang secara tidak langsung menghilangkan ideologi dari kontestasi politik di Indonesia.
Apabila kita mengkaji spesifikasi partai politik pada masa sekarang di Indonesia pasca reformasi dengan menggunakan tipologi yang dibuat Richard Gunther, partai politik di Indonesia pasca reformasi mayoritas merupakan partai electoralist (Diamond & Gunther, 2001) dengan sub-tipologi seperti Programatic electoralist parties seperti PDIP dan PKS, Personalistic Electoralist Parties seperti Hanura dan Gerindra serta elite parties seperti PPP dan PKB (Mujani, Liddle, Ambardhi, 2018).
Salah satu ciri khas dari partai elektoral adalah partai tersebut menjadi partai yang cenderung melunak secara ideologis dan berusaha untuk mendapat suara sebanyak-banyaknya saat pemilu. Hal ini terjadi karena fenomena global pasca perang dingin seperti yang dikatakan Francis Fukuyama, bahwa ideologi sudah mati sehingga partai partai politik yang ada lahir karena basis kepentingan elektoral. Tipologi partai politik elektoral yang cenderung sangat pragmatis mendekati pemilihan tentu akan mempengaruhi mekanisme dari rekrutmen politik yang ada. Rekrutmen politik yang ada di Indonesia sangat mementingkan keuntungan elektoral dibandingkan dengan kualitas kader dan kesesuaian ideologi kader dengan ideologi partai,
Kita dapat melihat juga beberapa bulan terakhir banyak informasi yang beredar mengenai banyaknya public figure yang secara tiba-tiba menjadi calon legislatif pada pemilu 2024 nanti, yang membuktikan bahwa partai politik tidak memiliki mekanisme perekrutan politik yang baik, dan apabila dikaji sudut pandang elektoral dengan menimbang penggunaan sistem proporsional terbuka dalam pemilu tentu akan menguntungkan bagi kedua belah pihak, baik partai maupun politisi tersebut yang memiliki popularitas dan modal materil.
Fenomena rekrutmen politik yang pragmatis, menimbulkan fenomena kutu loncat yang menjadi fenomena politik baru di Indonesia. Ini merupakan imbas dari klasifikasi partai politik di Indonesia yang elektoral, pragmatis sehingga membuat partai politik menjalankan fungsi rekrutmen politik secara pragmatis.
Fenomena kutu loncat dalam perpolitikan di Indonesia turut membuktikan bahwa rekrutmen politik belum dijalankan secara transparan, terbuka, dan independen. Problem yang dihasilkan dari fenomena kutu loncat ini adalah bagaimana seorang individu yang memiliki popularitas dan modal materil yang lebih tinggi dapat menduduki posisi-posisi strategis secara instan daripada kader yang sudah lama meniti karir politik dari bawah.
Hal ini menimbulkan sentimen buruk dari masyarakat bahwa partai politik tidak menerapkan konsep meritokrasi dalam struktur partai tersebut dan menjadi bukti bagi masyarakat, bahwa politisi dan partai politik hanya mementingkan kepentingan elektoral dan kepentingan pribadi (Aji & Indrawan, 2020).(*)
Referensi
Aji, M. P., & Indrawan, J. (2020). Hambatan dan tantangan partai politik: Persiapan menuju pemilihan umum 2024. El-Wasathiya: Jurnal Studi Agama, 8(2), 214-229.
Diamond, L., & Gunther, R. (Eds.). (2001). Political parties and democracy. JHU Press.
Mujani, S., Liddle, R. W., & Ambardi, K. (2018). Voting behavior in Indonesia since democratization: Critical democrats. Cambridge University Press.
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- Baleg Setuju Putusan MK Soal Syarat Baru Pilkada Hanya untuk Parpol Nonparlemen
- Pilkada Serentak 2024: Ajang Refleksi dan Evaluasi Pesta Demokrasi Indonesia
- Bantuan Keuangan Rp 8,1 Miliar Belum Dorong Optimalisasi Kaderisasi Parpol di Kaltim
- Temuan Bawaslu Kaltim Saat Tahapan Coklit, 33 Pantarlih Terafiliasi Partai Politik
- Kutukan Presiden Minoritas: Keterpaksaan Merangkul Partai yang Kalah dalam Pemilu