Daerah

Gusur Lahan Warga di IKN, KPA Nasional dan Akademisi Kompak Sebut Bank Tanah Langgar Konstitusi dan Prinsip Hukum Agraria

Muhammad Razil Fauzan — Kaltim Today 26 Januari 2024 18:38
Gusur Lahan Warga di IKN, KPA Nasional dan Akademisi Kompak Sebut Bank Tanah Langgar Konstitusi dan Prinsip Hukum Agraria
Kepala Departemen Advokasi Kebijakan dan Pengembangan Jaringan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Nasional, Roni Septian Maulana. (Istimewa)

Kaltimtoday.co, Penajam - Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Nasional memberikan tanggapan terhadap kasus yang melibatkan pemilik lahan di Kelurahan Riko, yang terdampak pembangunan infrastruktur Bandara VVIP Ibu Kota Nusantara (IKN) dan jalan tol penunjangnya. 

Diketahui, Titania, salah satu warga pemilik lahan yang terkena dampak mengungkapkan kekecewaannya terhadap pembebasan tanah yang dilakukan tanpa izin dan pemberitahuan yang jelas.

"Kurang lebih satu hektare tanah saya tiba-tiba tanpa sepengetahuan dan izin lurah dan tanpa datang ke saya minta izin tiba-tiba langsung digusur, jadi sekitar 50 pohon itu habis," ujar Titania.

Menurut Titania, Bank Tanah yang terlibat dalam proses tersebut justru menyarankan agar tanahnya diikhlaskan, tanpa memperhatikan hak dan legalitas tanah yang dimilikinya.

Kepala Badan Bank Tanah, Moh Syafran Zamzani, membela tindakan Bank Tanah dengan mengklaim bahwa pembukaan portal pada lahan Titania dilakukan untuk mendukung proses reforma agraria dan peningkatan nilai tanah.

Selengkapnya: (https://kaltimtoday.co/warga-ppu-tuntut-kejelasan-lahan-digusur-sepihak-untuk-bandara-vvip-ikn)

Roni Septian Maulana selaku Kepala Departemen Advokasi Kebijakan dan Pengembangan Jaringan KPA Nasional, menyoroti prosedur yang dijalankan Bank Tanah dalam kasus ini.

"Dari kasus yang dialami Ibu Titania, prosedural yang dimaksud Bank Tanah keliru atau ada permasalahan di dalamnya. Mengapa? Karena jika prosedurnya sudah benar, mengapa Titania mengalami pelanggaran? Bank Tanah beroperasi atas nama mafia tanah, bukan atas nama kepentingan umum yang digembar-gemborkan," jelas Roni. 

Roni juga menegaskan bahwa Bank Tanah, sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja, tidak memiliki dasar aturan hukum yang jelas, dan memiliki tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dengan Bank Tanah itu sendiri.

"Dalam UU Cipta Kerja, tidak ada skema Bank Tanah. Ini menunjukkan betapa kacaunya sistem administrasi pertanahan kita. Kalaupun Bank Tanah melakukan tugasnya ATR/BPN, sebaiknya dipertimbangkan untuk dibubarkan saja salah satu dari keduanya, karena keberadaan keduanya hanya memperumit administrasi pertanahan kita ke depan," tambahnya.

Sementara itu, terkait langkah Bank Tanah terkait Reforma Agraria lewat Gerakan Tanah dan Reforma Agraria (GTRA), Roni mengungkapkan bahwa langkah tersebut tidak memenuhi Undang-Undang Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang dikenal UUPA 1960.

"Tentu saja tidak, karena apa yang dilakukan oleh Bank Tanah melalui GTRA bertentangan dengan UUPA 1960. Reforma Agraria seharusnya merombak ketimpangan dan menyelesaikan konflik, bukan hanya proses pengadaan tanah untuk kepentingan bisnis," tegas Roni.

Hal ini menyoroti kompleksitas dan tantangan dalam reforma agraria di Indonesia, yang masih dihadapi oleh banyak pemilik lahan yang terdampak pembangunan infrastruktur besar. 

Pernyataan Roni Septian Maulana juga menyoroti ketidaksesuaian langkah Bank Tanah terkait Reforma Agraria dengan UUPA 1960, yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas tanah. 

Melalui GTRA, Bank Tanah diduga melakukan pengadaan tanah untuk kepentingan bisnis tanpa mempertimbangkan hak-hak pemilik asli tanah dan tanpa prosedur yang jelas sesuai dengan hukum yang berlaku.

Selain itu, pernyataan Bank Tanah kepada Titania untuk "Ikhlaskan Saja" juga menggambarkan sikap yang merendahkan dan tidak memperhatikan hak-hak pemilik tanah. Hal ini menunjukkan bahwa Bank Tanah lebih memprioritaskan kepentingan bisnis daripada hak-hak rakyat yang terdampak.

“Ucapan Bank Tanah itu melukai hak atas tanah dari Titania. Meminta keikhlasan kepada masyarakat agar tanahnya bisa digusur untuk kepentingan bisnis tidak layak disampaikan oleh siapapun," tutur Roni.

Roni juga menyoroti bahwa dalam Peraturan Presiden Nomor 62/2023 mengenai percepatan pelaksanaan reforma agraria, GTRA seharusnya bukanlah mencari-cari tanah untuk Bank Tanah, melainkan menerima pendaftaran tanah dari masyarakat untuk dijadikan objek reforma agraria. Namun, praktik yang terjadi menunjukkan adanya pemaksaan dan manipulasi atas tanah-tanah yang seharusnya menjadi hak milik masyarakat.

Bank Tanah Langgar Konstitusi, Prinsip Hukum Agraria dan HAM 

Selain itu, Pengajar Hukum Agraria dari Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Aryo Subroto, memberikan tanggapan mendalam terkait kasus kontroversial yang melibatkan Bank Tanah dalam pembangunan infrastruktur Bandara VVIP Ibu Kota Nusantara (IKN) dan jalan tol penunjangnya. 

Pengajar Hukum Agraria dari Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Aryo Subroto. (Istimewa)

Kepada kaltimtoday.co, Aryo Subroto menyoroti tindakan Bank Tanah yang disinyalir melakukan pengambilan tanah tanpa izin, menggambarkan tindakan tersebut sebagai kesewenang-wenangan yang melanggar prinsip-prinsip konstitusi.

"Kalau kami melihat kasusnya, Bank Tanah memang diberikan kewenangan untuk mengelola tanah-tanah yang ketika itu dibutuhkan oleh negara untuk digunakan. Tetapi satu hal yang saya kira juga tidak bisa kita abaikan termasuk Bank Tanah pun, dengan alasan apapun kemudian mengambil, dalam tanda kutip, merampas, kalau tanpa sepengetahuan dan seizin masuk ke pekarangan orang, ini kan niatnya enggak bagus," tegas Aryo Subroto.

Menurut Aryo, tindakan Bank Tanah tersebut tidak hanya melanggar prinsip hukum agraria, tetapi juga bertentangan dengan konstitusi yang menjamin hak individu untuk tidak diambil dengan sewenang-wenang. 

Dia menjelaskan bahwa meskipun tanah yang dikuasai masih dalam status tanah negara, namun adanya alas hak sejak tahun 2010 milik Titania seharusnya diakui sebagai cikal bakal hak atas tanah yang sebenarnya.

"Siapapun yang punya kepentingan di atas tanah yang sedang dikuasai, digarap dan dimanfaatkan oleh pihak lain, idealnya termasuk Bank Tanah termasuk negara sekalipun yah seharusnya izin dan sepengetahuan orang yang bersangkutan, palingg enggak yang punya atau menggunakan tanah saat itu," tambahnya.

Aryo Subroto juga menyoroti aspek hak asasi manusia (HAM) dalam kasus ini, menyatakan bahwa tindakan Bank Tanah menunjukkan ketidakpatuhan terhadap prinsip-prinsip HAM. Dia mengungkapkan bahwa, pendekatan yang lebih baik adalah dengan melakukan negosiasi dan mencari solusi bersama dengan pemilik lahan, daripada melakukan pengambilalihan tanah secara sepihak.

"Kalau kita mau lihat dari perspektif agraria apalagi kita kaitkan dengan kontes HAM, saya kira ini sudah agak offside yang dilakukan oleh Bank Tanah," ujar Aryo Subroto.

Dalam konteks hukum pengadaan tanah untuk kepentingan umum, Aryo Subroto menekankan pentingnya memperhatikan aspek kemanusiaan dalam proses tersebut. Dia menegaskan bahwa, UU Pengadaan Tanah Nomor 22/2012 mengatur tentang asas kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam pengambilalihan tanah untuk kepentingan umum.

"Ketika pengadaan tanah untuk kepentingan umum itu saya kira akan terikat dengan UU pengadaan tanah nomor 22/2012. Di situ (UU Pengadaan Tanah) salah satu asas yang mengatur tentang pengadaan tanah itu adalah asas kemanusiaan. Bagaimana kita memanusiakan manusia yang ada terkait dengan penguasaan tanah, kepemilikan tanah dan penggunaan tanah ini ketika diperhadapkan dengan kepentingan umum," paparnya.

Aryo Subroto juga menyoroti proses pengambilalihan tanah yang dilakukan Bank Tanah, menyatakan bahwa proses tersebut tidak mencerminkan asas-asas yang seharusnya dijunjung tinggi dalam hukum agraria.

"Intinya, pointnya tidak ada perampasan sewenang-wenang, ini kan yang dilakukan oleh Bank tanah seolah-olah ada kesewenang-wenangan di situ, ini (lahan) sudah diportal kemudian mereka masuk tanpa izin langsung melakukan penggusuran di situ," tegas Aryo Subroto.

Dia menambahkan bahwa, tindakan tersebut tidak hanya mengabaikan regulasi terkait pengadaan tanah, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip asasi manusia dan hukum agraria yang seharusnya dijunjung tinggi dalam proses pembangunan infrastruktur.

"Dalam UU nomor 22 tahun 2012 itu kan ada tahapan atau prosesnya, mulai dari perencanaan, persiapan, pelaksanaan sampai penyerahan hasil. Yang mana dalam prosesnya itu ya ada negosiasi dan sosialisasi bahwa ini akan digunakan untuk kepentingan umum," pungkas Aryo Subroto.

Sebagai penutup, Aryo Subroto menegaskan bahwa kasus ini menunjukkan adanya pengabaian terhadap amanat konstitusi serta prinsip-prinsip hukum agraria dan HAM, dan menyerukan perlunya penegakan hukum yang tegas dan adil dalam menangani kasus-kasus serupa di masa depan.

[RWT | KURAWAL]

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.



Berita Lainnya