Opini

Konservasi Bahasa Daerah: Antara Indoktrinasi dan Kreasi Publik

Kaltim Today
05 Agustus 2024 12:06
Konservasi Bahasa Daerah: Antara Indoktrinasi dan Kreasi Publik
Muhammad Sarip pada momen launching buku Historipedia Kalimantan Timur bersama penulis Nanda Puspita Sheilla (ujung) dan Deputi LHSDA OIKN Dr Myrna A Safitri, 23 Januari 2024. (Foto Humas Unmul)

Muhammad Sarip (Sejarawan Publik)

“Be-apa ikam? Be-api!”

Idiom khas Banjar Samarinda ini terlontar dalam video podcast berjudul “Wadah Bubuhan” yang diunggah di Youtube pada awal Agustus 2024.

Wadah Bubuhan adalah nama konten yang dikreasikan oleh channel Youtube Bubuhan Official. Episode perdana menampilkan tiga komika asal Samarinda plus satu komika dari Palangkaraya pada awal Agustus 2024. Siniar berdurasi 52 menit yang diproduksi di Jakarta itu memperbincangkan seputar diksi bahasa daerah dan kearifan lokal Kalimantan. Yono Bakrie, Ardit Erwandha, Rizki, dan Ebel Cobra ngobrol menggunakan bahasa Banjar ala tongkrongan Samarinda dengan kemasan yang santai dan kocak.

Setahun sebelumnya, Yono, Ardit, dan Kemal Palevi tampil bersama dalam beberapa podcast berjudul “Belajar Bahasa Banjar” atau BBB. Ketiganya merupakan komika dari Samarinda yang menjuarai kompetisi pelawak tunggal (stand up comedy) di televisi nasional (SUCI Kompas TV). Di ibu kota negara yang lama, mereka berkumpul atas nama solidaritas daerah lalu bernostalgia dengan tradisi dan budaya Samarinda.

Yono, Ardit, dan Kemal bukan dari suku Banjar murni. Kemal dari keturunan Banjar-Arab. Ardit kombinasi orang tua Banjar-Kutai. Bahkan Yono, ayah-ibunya orang Jawa. Namun, ketiga selebriti tersebut dalam keseharian pergaulan di Samarinda berkomunikasi dengan bahasa Banjar Samarinda.

Konten berbahasa Banjar tak hanya dibuat oleh komedian Samarinda di Jakarta. Banyak konten iklan komersial di ibu kota Kalimantan Timur kreasi influencer dan selebgram yang menggunakan diksi dan ungkapan Banjar. Iklan layanan pemerintah juga sering berbahasa Banjar Samarinda. Koran harian Samarinda Pos alias Sapos sejak awal penerbitannya di penghujung milenium ke-2 tiap hari rutin menampilkan cerita humor berbahasa Banjar.

Lingua franca atau bahasa pergaulan di ibu kota Kaltim memang menggunakan bahasa Banjar Samarinda. Pemerintah menetapkan adanya subdialek Banjar Samarinda sebagai pembeda dengan bahasa Banjar dari Kalimantan Selatan. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengidentifikasikan Bahasa Banjar Samarinda sebagai subdialek bahasa Melayu (petabahasa.kemdikbud.go.id).

Bahasa Banjar digunakan dalam semboyan resmi Provinsi Kaltim yang tertera pada lambang provinsi, yaitu Ruhui Rahayu. Semboyan ini bermakna rukun-damai dan tenteram-harmonis. Bahasa Banjar juga dipakai sebagai semboyan oleh Kodam VI Mulawarman, yaitu “Gawi manuntung waja sampai kaputing”. Semboyan yang terpampang besar di depan markas institusi militer daerah Kaltim di Balikpapan ini bermakna kerja tuntas seperti baja sampai ujungnya.

Bahasa sebagai Alat Komunikasi

Bahasa daerah memang akan lebih efektif pelestariannya jika dilakukan secara informal, dinamis, dan adaptif dengan masa kini. Konsep podcast berbahasa daerah berbeda jauh dengan format standar guru mengajar di sekolah. Konten komedian Samarinda yang berkarier di Jakarta tersebut lebih menarik disimak publik.

Konten berbahasa Banjar Samarinda hasil kreasi komika dan influencer orientasinya bukan nilai akademik. Eksekusinya juga tidak berbasis proyek pemerintah atau implementasi regulasi rezim. Bahasa daerah benar-benar berperan sebagai alat komunikasi yang nyaman bagi figur publik untuk lebih mendekatkan diri dengan audiensnya.

Bahasa itu, baik bahasa nasional, bahasa internasional, maupun bahasa daerah, sejatinya merupakan alat komunikasi antarindividu. Apapun jenis simbol dan bunyi verbalnya, fungsi utama bahasa adalah alat penyampai pesan. Sebagai produk budaya, bahasa itu dinamis dan tidak statis. Perubahan zaman meniscayakan perubahan bahasa. Ada diksi dan frasa yang arkais dan akhirnya punah. Muncul juga aneka kosakata baru dalam interaksi manusia yang lintas kultur dan sektoral.

Interaksi global tanpa sekat geografis juga menimbulkan gap berbahasa antargenerasi. Varian baru bahasa bermunculan di luar bahasa Indonesia dan bahasa daerah, sebagaimana cara berkomunikasi yang telah dipraktikkan oleh generasi Z dan Alfa. Pembaruan bahasa yang kian progresif dan masif—di semesta yang makin terkoneksi tanpa limit—tak mungkin bisa dihentikan.

Eksistensi bahasa ditentukan oleh mekanisme user, pengguna, dan penuturnya. Perangkat Kemdikbud bidang bahasa tidak punya power untuk mengubah praktik berbahasa aparatur pemerintah yang lebih suka dengan term asing. Sebagai contoh aktual, betapa seringnya Presiden Jokowi melakukan seremoni peletakan batu pertama atau memulai proyek infrastruktur dengan istilah “groundbreaking” yang diucapkan dan teksnya dipasang pada backdrop. Contoh lain, pemerintah dan media lebih memilih “influencer” untuk menyebut istilah figur yang berpengaruh. Media mana yang mau menulis judul berita misalnya, “Presiden Mengundang Pemengaruh ke IKN”?

Sebagai penulis sejarah, saya sendiri harus berkompromi dan beradaptasi dengan segmen pembaca generasi yang lebih muda. Jika saya bersikap rigid atau bertahan dengan gaya bahasa baku yang lama, ada kemungkinan kontennya gagal dicerna kaum muda. Saya berupaya mengimplementasikan bahasa buku yang adaptif pada dua karya terakhir.

Buku Histori Kutai: Peradaban Nusantara di Timur Kalimantan dari Zaman Mulawarman hingga Era Republik yang terbit tahun 2023 merupakan karya penelitian sejarah yang sangat serius. Pada penulisan buku ini, saya mengakomodasi saran dan kritik dari seorang generasi milenial angkatan terakhir mengenai penggunaan bahasa yang dinamis untuk kalangan generasi muda. Kemudian pada buku Historipedia Kalimantan Timur: Dari Kundungga, Samarinda, hingga Ibu Kota Nusantara yang terbit awal 2024, kawan gen Y tersebut berperan utama sebagai tim penulis bareng saya supaya hasilnya optimal.

Mulok Bahasa Daerah

Sebagian orang berpendapat bahwa dengan program revitalisasi bahasa daerah maka berarti melestarikan kebudayaan. Bahkan kegiatan ini dianggap suatu kemuliaan karena menjaga budaya bangsa. Namun, jargon luhur ini memerlukan syarat dan kondisi tertentu. Jika tidak, akan timbul problematika dan kontraproduktif. Pada realitasnya, sebuah bahasa daerah bisa bertahan atau rentan punah, ditentukan oleh komunitas penuturnya itu sendiri.

Sejumlah pihak menyadari bahwa sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana pemindahan lokasi ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur pada 26 Agustus 2019, Kaltim mesti segera bersiap dengan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Meski ibu kota baru berlokasi di timur Kalimantan, tetapi yang bisa berkiprah dalam posisi penting dan strategis di sana adalah orang-orang yang punya kompetensi tinggi dan portofolio mumpuni. Keistimewaan hanya untuk (minimal) dua deputi Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) dari unsur masyarakat lokal Kaltim. Ini menurut Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2022 tentang OIKN. Selebihnya, tidak ada privilese bagi pengusung isu putra daerah untuk menjadi pegawai OIKN.

Tanggal 17 Februari 2023 OIKN membuka seleksi pegawai. Sejumlah pihak dikejutkan dengan persyaratan calon pegawai yang begitu tinggi. Ada ketentuan sertifikat TOEFL (Test of English as a Foresign Language) minimal skor 500 atau IELTS (International English Language Testing System) minimal 6.0. Masalahnya, bagi lulusan perguruan tinggi lokal, skor ini adalah ganjalan. Standar TOEFL di kampus Kaltim tidak sampai 500. Sebagian kampus juga memberlakukan TOEFL versi intern yang tidak berlaku di dunia kerja.

Beberapa pengamat kebijakan publik secara terbuka mengeluhkan syarat kualifikasi bahasa Inggris yang terlalu tinggi untuk ukuran kampus lokal. Sebagai contoh, dikutip dari portal unmul.ac.id, syarat lulus mahasiswa S-1 skor TOEFL cukup 425, sedangkan S-2 minimal 475. Jika mahasiswa ingin TOEFL yang lebih mudah levelnya, boleh memilih MU-EPT (Mulawarman University English Proficiency Test). TOEFL versi Unmul ini mempermudah kelulusan, tetapi tidak dapat berfungsi untuk lampiran berkas melamar pekerjaan.

Dari situasi ini, perkara urgen yang dibutuhkan oleh pelajar dari pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi di Kaltim adalah kompetensi berbahasa asing, terutama Inggris. Kaltim semestinya membenahi program bahasa asing di sekolah. Melamar kerja di OIKN sama sekali tidak memerlukan syarat kompetensi bahasa daerah.

Pertengahan tahun 2024 Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Samarinda menerbitkan buku muatan lokal (mulok) bahasa Kutai untuk SD dan SMP. Namun, mulok ini belum sepenuhnya terlaksana di sekolah. Ada keterbatasan tenaga pengajar, mengingat bukan lingua franca di Samarinda. Efektivitas pengajarannya di sekolah juga dipertanyakan. Mulok bahasa daerah cenderung akan menambah beban akademik pelajar. Padahal, para pelajar tidak diarahkan menjadi ahli linguistik.

Pemilihan satu bahasa daerah tertentu di sebuah wilayah kota/kabupaten juga rentan bermasalah. Faktanya penduduk tiap kota/kabupaten itu heterogen. Dalam satu keluarga pun identitas etnik si anak kadang bias karena kedua orang tuanya tidak dari suku yang sama. Pada masa kini, anak-anak mengenal bahasa ibu mereka umumnya bukan bahasa daerah, melainkan bahasa nasional.

Kaltim merupakan provinsi yang luas dengan masyarakat yang beragam etnis dan bahasa daerah yang juga bervariasi. Ada banyak bahasa daerah yang masing-masing hanya dipergunakan sebagai alat komunikasi di intern komunitas mereka. Karena itu, mulok satu bahasa daerah tertentu untuk siswa lintas etnis menjadi kurang relevan.

Problematika mulok bahasa daerah di Kota Samarinda juga lebih kompleks. Masyarakat ibu kota Kaltim yang lintas etnis punya bahasa pergaulan (lingua franca) sendiri, yaitu bahasa Banjar Samarinda. Namun, yang dibuatkan moloknya adalah bahasa daerah yang bukan lingua franca di Samarinda.

Saya tidak menuntut agar bahasa Banjar Samarinda dijadikan mulok. Justru saya juga menolak jika ada wacana menjadikan bahasa daerah sebagai mulok. Tanpa program revitalisasi oleh pemerintah, bahasa Banjar Samarinda relatif lestari. Tanpa indoktrinasi di sekolah, sebagian guru dan pelajar bisa berbahasa Banjar. Bahkan penuturnya lebih banyak ketimbang kuantitas etnis Banjar itu sendiri. Tak hanya orang Banjar, Kutai, Dayak, tetapi sebagian orang Jawa, Sulawesi, Sumatra, Tionghoa, dll juga relatif mampu berbahasa Banjar secara aktif.

“Bahasa ibu sebaiknya tidak dijadikan sebagai mata pelajaran muatan lokal sebab variasi bahasa ibu sebagai bahasa lokal sangat heterogen.” Begitu ucapan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud, Mahsun, sebagaimana dimuat Kompas.com, 31 Agustus 2012.

Di Samarinda, ketimbang mulok bahasa daerah, akan lebih bermanfaat bagi siswa jika diajarkan pengetahuan yang lebih relevan. Lebih berfaedah mulok bahasa Sanskerta misalnya, karena mendukung literasi sejarah lokal yang menasional. Mulok permainan tradisional juga lebih menyenangkan bagi siswa. Lebih punya benefit juga jika mulok itu soft skill misalnya teknik bertukang sederhana, teknik semenisasi dasar, teknik instalasi listrik, mitigasi bencana alam, mitigasi keamanan digital, dan lain-lain yang yang berguna dalam kehidupan rill. (*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi  kaltimtoday.co


Berita Lainnya