Opini

Mengembalikan Fungsi Ormas yang Sebenarnya

Kaltim Today
18 Januari 2020 12:36
Mengembalikan Fungsi Ormas yang Sebenarnya

Oleh: Siti Subaidah (Pemerhati Lingkungan dan Generasi)

Diberitakan sebelumnya, video pernyataan Said Aqil saat berbicara dalam wisuda mahasiswa Universitas Nahdatul Ulama Indonesia (Unusia) di Parung, Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Video berdurasi 32 menit 2 detik tersebut diunggah di channel Youtube, NU Channel, sehari setelah wisuda mahasiswa Unusia. Ketua PBNU yang juga staf khusus Wapres Maruf Amin, Robikin Emhas, membagikan video Kiai Said itu lewat akun instagramnya.

Dalam video itu, Kiai Said berbicara soal ketimpangan ekonomi yang terjadi saat ini. Dia membeberkan sejumlah ‘borok’ dari pemerintahan saat ini. Di menit 17.45 video, Said Aqil mengatakan, "Ketika Pilpres suara kita dimanfaatkan. Tapi ketika selesai, kita ditinggal”.

Pernyataan Kiai Said Aqil itu pun mendapat kritikan dari orang dekat almarhum Gus Dur, Rizal Ramli. Rizal bahkan menyentil, pengurus formal NU (PBNU) telah membuat ormas Islam terbesar di dunia menjadi sempit. Kata Rizal, pemimpin formal NU menjadikan NU sebagai "kendaraan dinas" pemerintah.

"Pemimpin-pemimpin formal NU membuat NU menjadi kecil dengan menjadikannya sekadar kendaraan sewaan, bahkan bersedia pakai plat merah. Padahal akar NU adalah plat hitam, organisasi masyarakat yg berjuang untuk keadilan dan kemakmuran rakyat," tulis Rizal akun Twitter @RamliRizal. (http://www.rmolbanten.com/read/2019/12/29/14020/Sebut-Pilpres,-Pengakuan-KH-Said-Aqil-Siroj-Bikin-Kaget-Warga-NU-Kultural-)

Ketika melihat jauh ke dalam, tentunya hal ini bukanlah sesuatu yang baru terdengar. Ormas ditunggangi sebagai kendaraan politik sudah menjadi rahasia umum, bahkan masyarakat menengah ke bawah pun sudah paham dengan wacana ini. Geliat ini makin tampak ketika memasuki masa pemilu. Ormas menjadi rebutan bagi Parpol (Partai Politik) demi meraih jumlah suara. Pada masa itu sejumlah parpol mendatangi ormas-ormas yang berpengaruh di masyarakat dengan bingkisan janji-janji kemaslahatan. Tentu dengan imbalan suara yang harus disumbang demi suksesnya parpol tersebut melaju sebagai pemenang. Hal ini lumrah terjadi dalam dunia perpolitikan Indonesia karena bersandar pada asas politik sekuler transaksional.

 Makna Politik Sekuler Transaksional

Dalam kacamata demokrasi, politik hanya berkutat pada kekuasaan. Maka segala upaya yang dilakukan dalam rangka meraih atau mempertahankan kekuasaan disebut politik, baik itu konstitusional maupun non konstitusional. Namun jika dikaji lagi politik saat ini lebih dipersempit maknanya yakni hanya terbatas pada sistem pemerintahan dan negara atau yang berkaitan dengan kebijakan publik bagi masyarakat.

Sedangkan sekuler di sini bermakna memisahkan aturan agama dari kehidupan. Dalam konteks sekuler, aturan yang ada hanyalah aturan bebas ala manusia. Dalam kaitannya dengan dunia politik, jelas agama tidak akan diperbolehkan masuk ke sana. Anggapan bahwa politik itu “kotor” mewakili bahwa jangan sekali-kali mencampurkan agama dengan politik. Namun menjadi terbalik jika mendekati ajang pemilu, semua tampak islami demi meraih suara masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Lucu bukan?

Lalu makna transaksional, hal ini bukanlah sesuatu yang sulit untuk dicerna karena berasal dari kata transaksi atau pertukaran. Namun jika ditarik ke sisi politik, maka transaksional bermakna pertukaran kepentingan atau kerjasama yang menguntungkan antara satu pihak dengan pihak lain demi meraih kekuasaan.

Jika keseluruhan kata itu digabung yakni “politik sekuler transaksional” maka dapat diartikan sebagai kekuasaan yang diraih dengan mengatasnamakan kepentingan dan keuntungan oleh pihak tertentu tanpa memperhatikan aturan baik dalam bermasyarakat maupun beragama. Maka dari sini jelas bahwa politik yang ada hanyalah sebagai ajang meraup kekuasaan, kepentingan, manfaat  untuk golongan tertentu saja tanpa peduli nasib rakyat.

Politik Demokrasi Penuh Dengan Kebohongan

Dilansir dari pojoksatu.id pidato Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj yang menagih kredit murah Rp1,5 triliun ke Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, berbuntut panjang. Mantan Sekretaris BUMN, Said Didu ikut mengomentari janji Sri Mulyani ke PBNU. Melalui akun Twitternya, Said Didu mengatakan, ada hal prinsip yang harus diiketahui publik terkait janji Sri Mulyani kepada PBNU.

Pengakuan ketua ormas tersebut hanyalah sebagai penegasan bahwa rezim yang ada saat ini adalah rezim ingkar janji dan hanya memanfaatkan massa ormas sebagai kantong suara untuk pemenangan. Bahkan sudah lumrah jika pesta demokrasi yang diadakan setiap 5 tahun sekali menjadi ajang pencitraan bagi para kontestan pemilu. Janji-janji kampanye kepada masyarakat ataupun janji-janji manis pada sejumlah ormas nampaknya hanyalah tinggal janji ketika pesta  demokrasi tersebut usai. Seolah-olah ini sudah menjadi tabiat bagi mereka yang berlenggang dikontes ini yaitu pura-pura lupa. Masyarakat hanya dijadikan mesin pengeruk suara dan pendorong mobil parpol. Hal ini menjadi wajar karena standar yang dipakai adalah suara terbanyak bukan kebenaran. Ini menandakan bahwa politik demokrasi yang ada penuh dengan kecurangan dan kebohongan. Sayangnya ini seolah terpelihara dalam dunia perpolitikan Indonesia.

Namun berbeda jika menelisik pengertian dan tujuan ormas dalam Islam. Ormas atau gerakan islam adalah sekelompok orang yang terorganisir yang anggota-anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang sama dalam rangka mengurusi urusan rakyat. Parpol Islam berlandaskan pada ideologi Islam yang mengambil dan menetapkan ide-ide, hukum dan pemecahan problematika dari syariah islam dan mengambil contoh atau thariqah Rasulullah SAW.

Tujuan dari adanya ormas atau gerakan islam adalah tanggung jawab amar ma'ruf nahi mungkar, sebagaimana dalam firman Allah:

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung”. ( Ali Imran; 104)

Selain itu Muhasabah Lil Hukkam atau mengoreksi segala kebijakan pemerintah terkait kebijakan publik agar tidak menyalahi dan mendzolimi masyarakat. Hal ini dilakukan sejalan dengan koridor yang telah ditetapkan oleh syara. Orang-orang yang tergabung dalam gerakan tersebut adalah orang-orang yang ikhlas berjuang tanpa mengharapkan imbalan atau iming-iming kekuasaan dan jabatan.  Ormas dalam Islam bersikap independen dan tidak berkompromi terhadap kedzholiman. Semua semata-mata dilakukan demi mengharapkan ridho Allah.

Gerakan islam atau ormas seperti inilah yang dibutuhkan oleh umat sekarang. Yang berjuang dan menjaga kemaslahatan masyarakat. Menjadi barisan terdepan dalam melakukan kritik terhadap kebijakan yang menyalahi aturan Islam. Ormas ini bukanlah ormas yang bergerak karena ada manfaat atau kepentingan melainkan murni demi menjalankan syariat Allah. Wallahu a'lam bishawab.

*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi kaltimtoday.co

 



Berita Lainnya