Opini
Pendidikan, Jalan Menuju Perubahan

Oleh: Saparuddin, Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Bontang
Di tengah hiruk pikuk peningkatan mutu pendidikan di tanah air yang sering diikuti dengan perubahan zaman secara global serta tantangan yang serius akibat kemajuan teknologi dan informasi yang begitu pesat, bahkan dalam hitungan bulan terjadi perubahan sangat drastis, hal ini berlangsung seiring dengan dinamika geopolitik dan keterbukaan informasi secara global.
Pemerintah, melalui berbagai kebijakan untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, memperkenalkan dua program pendidikan yang secara sekilas tampak menjanjikan, yaitu Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat. Sekolah Garuda ditujukan bagi siswa-siswi berprestasi tinggi dengan tujuan menyiapkan mereka menembus universitas-universitas kelas dunia.
Sementara itu, Sekolah Rakyat menyasar anak-anak dari keluarga miskin ekstrem dengan janji pemenuhan kebutuhan dasar serta pembinaan karakter. Namun, bagaimana dengan sekolah-sekolah yang sudah ada? Apakah dianggap tidak bermutu dan tidak relevan? Ini harus menjadi bahan renungan bersama.
Perlu kita ketahui bersama, bahwa para pemimpin dan pengambil kebijakan saat ini adalah produk dari sekolah-sekolah yang telah lama berdiri sejak zaman kemerdekaan. Tidak bisa kita pungkiri bahwa pendidikan kita saat ini memang masih jauh dari harapan semua pihak. Namun, marilah kita bersama-sama memperbaikinya dan meningkatkannya dengan motivasi tinggi serta semangat luar biasa demi memberikan spirit baru agar siap bersaing di dunia global.
Dengan adanya dua inisiatif ini, tampak seolah-olah terdapat dua strategi kebijakan paralel untuk mencapai kemajuan dan pemerataan pendidikan. Namun, di balik wajah progresifnya, tersembunyi potensi bahaya yang justru bisa memperlebar jurang kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan di tanah air.
Alih-alih menjembatani kesenjangan dan memperkuat keadilan sosial, kebijakan ini malah dapat memperkuat dikotomi kelas yang sudah lama menghantui sistem pendidikan nasional kita. Hal ini memang perlu kajian yang mendalam, walaupun tujuan kebijakan ini adalah mengejar ketertinggalan dan keterpurukan pendidikan serta membantu warga yang termarjinalkan untuk memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu di seluruh pelosok negeri tercinta.
Munculnya Sekolah Garuda yang begitu menjanjikan dengan fasilitas unggulan dan proses seleksi yang ketat menjadi simbol eksklusivitas, seolah-olah hanya untuk kalangan ekonomi menengah ke atas.
Sebaliknya, Sekolah Rakyat mencerminkan narasi penyelamatan terhadap kelompok termarjinalkan, yang diberi bekal cukup untuk bertahan hidup, namun belum cukup untuk bersaing dengan rekan-rekannya di medan kompetisi global. Di titik ini, pendidikan bukan lagi ruang bersama, melainkan arena segregasi berbasis ekonomi, yang berpotensi memisahkan kaum bawah dan kaum atas.
Kondisi ini menunjukkan gejala polarisasi yang semakin tajam dalam kehidupan masyarakat: satu sisi mencerminkan elite intelektual dengan akses menuju dunia global, sementara sisi lain mencerminkan keterbatasan yang dibungkus dalam semangat kerakyatan.
Pendekatan yang terlalu berbeda dalam satu sistem kebijakan justru menciptakan batas-batas sosial yang semakin sulit ditembus. Pendidikan, yang seharusnya menjadi alat mobilitas sosial, berubah menjadi alat pengukuhan posisi kelas.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran munculnya stigma yang melekat seumur hidup. Seorang lulusan Sekolah Rakyat, meskipun berprestasi, akan tetap dibayangi oleh label sebagai "produk bantuan sosial".
Label ini, meskipun tak terucap, bisa melekat dalam proses penerimaan kerja, interaksi sosial, bahkan dalam persepsi diri anak itu sendiri. Pendidikan yang memisahkan berdasarkan latar belakang justru merampas hak anak untuk tumbuh dengan rasa percaya diri dan keyakinan bahwa dirinya setara dengan siapa pun.
Sekolah Garuda pun tidak lepas dari masalah. Dengan segala eksklusivitas dan label prestisius yang melekat, sekolah ini bisa membentuk generasi yang terisolasi dari realitas sosial sekitarnya. Anak-anak dari Sekolah Garuda mungkin memiliki pengetahuan dan keterampilan tinggi, tetapi tanpa pemahaman mendalam tentang keberagaman sosial dan dinamika ketimpangan, mereka tumbuh dalam gelembung elite yang rapuh.
Ini adalah konsekuensi dari pemisahan sistemik yang tidak hanya memisahkan akses, tetapi juga pengalaman hidup. Ini sangat berbahaya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Anak-anak dari latar belakang ekonomi rendah yang masuk Sekolah Rakyat tumbuh dengan realitas yang dibingkai sebagai "penerima manfaat", sedangkan anak-anak Sekolah Garuda dibentuk menjadi "pemimpin masa depan". Narasi ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga merusak. Ia menciptakan dua generasi yang berjalan di jalur berbeda: satu dibimbing menuju pusat kekuasaan dan pengaruh, sementara yang lain diarahkan sekadar untuk bertahan dalam batasan yang ditentukan, sehingga tetap menjadi yang tersisihkan.
Dalam konteks ideologi bangsa, pemisahan ini mencederai Pancasila, khususnya sila kedua dan sila kelima. Pendidikan yang berkeadilan tidak mengenal pemisahan berdasarkan status ekonomi. Semua anak bangsa, tanpa kecuali, harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang dalam sistem pendidikan yang inklusif dan setara.
Ketika pemerintah memisahkan anak-anak berdasarkan ekonomi dan potensi intelektual, maka itu bukan hanya persoalan kebijakan, melainkan sebuah pengkhianatan terhadap dasar negara. Sekolah bukanlah tempat untuk membedakan siapa yang layak masuk ke sekolah dan universitas top dunia, dan siapa yang hanya pantas mendapatkan pelatihan keterampilan dasar.
Sekolah adalah tempat menyemai mimpi, membangun solidaritas, dan menyatukan perbedaan. Ketika pendidikan justru menjadi alat klasifikasi sosial, maka yang hilang bukan hanya kesetaraan, tetapi juga semangat kebersamaan yang menjadi jantung bangsa ini.
Kebijakan semacam ini seharusnya diganti dengan pendekatan afirmatif yang lebih inklusif. Artinya, semua sekolah publik harus dibangun dengan kualitas yang merata, fasilitas yang layak, guru yang kompeten, dan sistem pendukung yang kuat bagi siswa dari latar belakang ekonomi rendah.
Tidak perlu membangun sekolah khusus untuk anak miskin. Cukup dengan memastikan semua sekolah mampu merangkul mereka. Beasiswa, bimbingan belajar gratis, dan pelatihan pedagogi kritis bagi guru adalah contoh kebijakan yang lebih humanis dan menjangkau. Dengan pendekatan ini, siswa miskin tetap berada dalam ruang yang sama dengan siswa lain, namun mereka diberikan dukungan ekstra agar mampu mengejar ketertinggalan dan berkembang sesuai potensinya. Inilah bentuk keadilan sosial yang tidak merendahkan martabat manusia.
Meningkatkan sumber daya manusia bukan hanya soal membangun sekolah elite dan sekolah rakyat secara terpisah, karena itu justru mengirim pesan yang keliru tentang arti kecerdasan dan kesuksesan. Seakan-akan kecerdasan hanya milik mereka yang sejak awal terdeteksi unggul, sementara yang lain cukup diajarkan untuk "menjadi baik". Padahal, potensi manusia tidak bisa diukur secara sempit melalui tes akademik. Banyak siswa dari latar belakang miskin yang unggul, hanya saja mereka belum diberi ruang untuk menunjukkan kemampuan mereka.
Bayangkan jika seluruh SMA di Indonesia menjadi "Sekolah Garuda", bukan dalam kemewahan fisik, melainkan dalam semangat: semangat mutu, inklusivitas, dan kebersamaan. Pendidikan semacam ini akan menciptakan ruang belajar yang penuh keragaman dan saling pengertian, di mana anak-anak dari berbagai latar belakang saling mengenal dan tumbuh bersama.
Penting untuk diingat bahwa niat baik tidak selalu menghasilkan kebijakan baik. Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat mungkin dilahirkan dengan semangat memperbaiki, namun jika arah kebijakannya memisahkan dan membatasi, maka itu bukan perbaikan, melainkan perpecahan.
Dalam perjalanan menuju Indonesia Emas, pendidikan harus menjadi alat pemersatu, bukan pemecah belah. Kita membutuhkan sistem pendidikan yang membebaskan semua anak dari belenggu kemiskinan, diskriminasi, dan stereotip. Keadilan dalam pendidikan tidak boleh dimaknai sebagai "memberi sesuai kelas", melainkan memastikan semua anak, dari mana pun asalnya, dapat tumbuh sebagai anak bangsa yang bermartabat. Semua anak Indonesia adalah anak Garuda, dan setiap dari mereka pantas mendapat sayap untuk terbang setinggi mungkin demi menggapai cita-cita dan memajukan Indonesia. Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp
Related Posts
- Upayakan Pelaku UMKM Tembus Pasar Nasional, DPRD Berau Dorong Pemkab Edukasi Soal Teknik Ekspor
- Tank Israel Tembaki Warga Gaza yang Antre Bantuan, 59 Orang Tewas
- Jalan Soekarno-Hatta Bontang Mulai Diperbaiki, Pemprov Kucurkan Dana Rp2 Miliar
- DPMD Kukar Kawal Status Administratif Desa di Wilayah Delineasi IKN
- MTQ XII Tingkat Kecamatan Tenggarong Resmi Dibuka, Persiapkan Seleksi ke Level Kabupaten