Nasional
Apa Itu Perjanjian Helsinki? Ini Isi, Proses, dan Dampak Positifnya Bagi Aceh

Kaltimtoday.co - Perjanjian Helsinki kembali menjadi perbincangan hangat, menyusul masalah kepemilikan empat pulau, yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Mangkir Besar, di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang menjadi tokoh penting di balik proses perjanjian ini, menegaskan bahwa kewilayahan Aceh harus merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956. Dalam regulasi tersebut, Aceh memang diberikan otonomi dan kewenangan luas, sesuai kesepakatan damai yang terjadi pada 2005.
Perjanjian Helsinki dianggap sebagai langkah penting demi terciptanya perdamaian, setelah konflik berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Berikut ulasan lengkap mengenai isi, proses perundingan, dan dampak perjanjian yang menjadi tonggak sejarah tersebut.
Isi Perjanjian Helsinki
Berdasarkan dokumen resmi PPID Provinsi Aceh, kesepakatan Helsinki terdiri dari enam aspek penting:
1. Pemerintahan Aceh:
Aceh diberi kewenangan otonomi luas, sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956. Hal ini meliputi pembuatan Qanun, pembentukan Wali Nanggroe, dan jaminan partisipasi masyarakat Aceh secara luas.
2. Hak Asasi Manusia:
Pemerintah Indonesia menyatakan komitmen terhadap HAM, mendirikan Pengadilan HAM di Aceh, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi demi keadilan dan perdamaian.
3. Amnesti dan Reintegrasi:
Bekas anggota GAM diberi amnesti dan dapat kembali bergabung sebagai masyarakat Indonesia. Hal ini juga berlaku bagi mereka yang kehilangan kewarganegaraan akibat konflik.
4. Pengamanan:
GAM sepakat menyerahkan senjata dan pasukannya dibubarkan. Di saat yang sama, pemerintah Indonesia juga menarik pasukan nonorganik demi menjaga stabilitas.
5. Misi Pemantauan:
Uni Eropa dan beberapa negara ASEAN bergabung membentuk Misi Monitor Aceh (AMM) demi memastikan perjanjian berjalan sesuai kesepakatan.
6. Penyelesaian Perselisihan:
Bila terjadi masalah, penyelesaiannya disepakati melalui musyawarah. Jika masih buntu, masalah dapat diteruskan kepada kepala AMM, Menkopolhukam, dan perwakilan internasional.
Proses Perjanjian Helsinki
Perjanjian Helsinki merupakan hasil perundingan yang melibatkan Pemerintah Indonesia dan GAM, dimediasi Martti Ahtisaari, mantan presiden Finlandia. Beberapa pertemuan penting terjadi pada 2005:
- Putaran pertama (28-30 Januari 2005)
Dialog dimulai di Vantaa, Finlandia. Meskipun terjadi perbedaan pendapat, pertemuan awal berjalan konstruktif.
- Putaran kedua (21-23 Februari 2005)
Perundingan bergeser pada masalah otonomi. Diskusi masih menemui hambatan, tapi proses terus berjalan.
- Putaran ketiga (12-16 April 2005)
Ketegangan mulai menurun, dan masing-masing mulai menyampaikan rancangan kesepakatan. Transparansi pengelolaan keuangan dan demiliterisasi menjadi pokok pembahasan.
- Putaran keempat (26-31 Mei 2005)
Negosiasi lebih rinci terjadi, termasuk soal pembentukan partai lokal. Hal ini dianggap penting demi terciptanya demokrasi di Aceh.
- Putaran kelima (12-17 Juli 2005)
Naskah kesepakatan final disetujui dan ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Dalam perjanjian tersebut, Pemerintah Indonesia diwakili Hamid Awaluddin, dan GAM diwakili Malik Mahmud.
Dampak Perjanjian Helsinki
Berkat perjanjian Helsinki, Aceh memasuki era perdamaian dan stabilitas yang lebih matang. Beberapa dampak penting yang terjadi pasca kesepakatan antara lain:
1. Keamanan:
Bentrokan dan kekerasan berhenti, masyarakat dapat hidup lebih tenang, dan proses rekonstruksi dapat berjalan.
2. Pembangunan Sosial dan Ekonomi:
Perbaikan infrastruktur, akses air bersih, dan pelayanan kesehatan mulai berjalan. Bantuan internasional turut bergulir demi mendukung proses recovery.
3. Representasi Politik:
Aceh diberi kewenangan mendirikan partai lokal, yang kemudian turut andil mengirim perwakilannya ke parlemen. Hal ini menjadi wujud demokrasi dan kedaulatan rakyat di tingkat daerah.
4. Pengakuan Sejarah:
Perjanjian juga berguna demi kepastian perbatasan Aceh, sesuai Undang-Undang 1956. Hal ini menjadi landasan penting saat terjadi perdebatan kepemilikan Pulau Panjang dan pulau-pulau sekitarnya.
[RWT]
Related Posts
- Gelombang Pengungsi Semakin Naik, Berikut 3 Alasan Indonesia Tolak Kedatangan Rohingya
- Ramai Penolakan Pengungsi Rohingya di Aceh, Ketua PBNU Ingatkan Kewajiban Muslim tentang Tolong Menolong
- Aceh Tolak Kedatangan Pengungsi Rohingya di Daratan dan Minta Mereka Kembali Ke Lautan
- 6 Gempa Bumi Paling Dahsyat yang Pernah Terjadi di Indonesia