Opini
Etika Berkomunikasi di Media Sosial
Oleh: Wanda Mellinia (Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unmul)
Media sosial hadir seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi. Kehadiran media sosial kemudian juga mengubah perilaku komunikasi dalam masyarakat. Para pengguna aktif media sosial pun kemudian dijuluki sebagai masyarakat cyber. Masyarakat cyber artinya kelompok sosial masyarakat yang tidak dapat secara langsung di indera melalui penginderaan manusia, namun dapat dirasakan dan disaksikan sebagai sebuah realitas.
Media sosial ini menjadi semakin populer karena dianggap jauh lebih praktis, lebih cepat, tak terbatas dan lebih luas jangkauannya dalam menyebarkan ataupun menerima suatu informasi. Media sosial dapat memberi pengaruh positif atau bahkan negatif, tergantung bagaimana seseorang dalam menggunakannya. Namun, di masa sekarang telah banyak ditemui penyalahgunaan media sosial oleh masyarakat cyber. Contohnya seperti maraknya ujaran kebencian, adanya penipuan online, cyberbullying, cyber crime, saling menghujat dan berkata kasar, provokasi, menyebarkan berita bohong (hoax), mudahnya terakses konten pornografi, serta memicu terjadinya konflik SARA. Hal ini jelas menunjukkan betapa minimnya etika dalam berkomunikasi di media sosial masa kini.
Seringkali, seseorang melakukan perbuatan tidak menyenangkan di media sosial karena merasa identitasnya aman dan tidak diketahui oleh orang lain, sehingga ia dapat bebas melakukan apa saja yang diinginkannya seperti mencela, menghujat, melontarkan kebencian ataupun merundung orang lain dengan mengesampingkan etika komunikasinya. Padahal, berkomunikasi di media sosial seharusnya menekankan pada kemampuan pengendalian diri serta rasa tanggung jawab terhadap aktivitas apapun yang dilakukannya di media sosial tersebut.
Memperhatikan etika menjadi hal yang sangat penting dalam berkomunikasi, sekalipun di media sosial. Sebab, kemudahan mengakses media sosial ini tanpa disadari telah melunturkan etika kita dalam berkomunikasi. Mengabaikan etika komunikasi di media sosial juga dapat menyebabkan banyak kerugian bagi orang lain. Contohnya apabila seseorang atau beberapa orang melakukan cyberbullying, hal ini bisa saja berakibat fatal bagi korbannya. Dengan kondisi mental yang tidak kita ketahui, mungkin saja korban akan merasa rendah diri, cemas, stres, depresi bahkan yang terparah adalah bunuh diri. Hal ini dikarenakan cyberbullying dapat berdampak lebih buruk ketimbang bully secara fisik. Kata-kata tak bermoral dari pelaku dapat tertanam selamanya dalam benak sang korban.
Baca Juga: Masih Berlanjut, Begini Momen Perang Digital Antara Netizen dan Zionis Israel di Media SosialBaca Juga: 30 Ucapan Hari AIDS Sedunia 2023 Sesuai Tema, Wujud Dukungan di Media Sosial untuk Akhiri AIDSView this post on InstagramBaca Juga: Mengenali Kepribadian Seseorang Melalui 7 Aktivitas yang Sering Dilakukan di Media Sosial
Menyampaikan opini memang diperbolehkan, terlebih kita berada di negara yang menganut asas kebebasan berpendapat. Hanya saja, hal ini harus sejalan dengan apa yang dinamakan hak dan kewajiban. Kita dapat menuntut hak kita untuk berpendapat, tetapi kita juga harus memenuhi kewajiban kita dalam beropini, seperti tidak menggunakan kata yang kasar, tidak memicu terjadinya konflik, tidak melakukan tindakan provokasi dan lain sebagainya. Terdapat aturan yang harus kita patuhi dalam mengemukakan pendapat di ruang publik, khususnya di media sosial.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang disingkat UU ITE adalah undang-undang yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. Maka dari itu, selain menunjukkan tidak adanya moralitas dalam diri, tidak menjaga etika berkomunikasi di media sosial juga dapat melanggar hukum yang menyebabkan seseorang terpidana denda atau bahkan hingga terpidana penjara.
Berkomunikasi di media sosial identik dengan penggunaan simbol seperti huruf, ikon, emotikon, gambar, stiker dan lain sebagainya. Hal ini kemudian mendorong munculnya istilah baru di masyarakat, yaitu “Jarimu, Harimaumu” yang mengandung makna sama dengan istilah “Mulutmu, Harimaumu”. Istilah ini memiliki arti sebagai peringatan bagi seseorang agar dapat berhati-hati dalam menjaga ucapannya.
Jari disinyalir jauh lebih berbahaya daripada mulut, karena di masa sekarang apapun yang kita ketik dan kita unggah di media sosial akan langsung tersebar luas, tak terbatas dan tak terkendali. Sekalipun kita menghapus unggahan tersebut, apabila orang lain telah membagikannya ke khalayak yang lebih luas, unggahan tersebut akan tetap menyebar di media sosial. Ini yang dinamakan dengan jejak digital. Maka dari itu, bertutur kata dengan baik, memilih kalimat yang santun, menyebarkan informasi dan konten yang positif serta menjaga keharmonisan dalam masyarakat cyber dapat menjadi langkah awal untuk menerapkan etika berkomunikasi di media sosial.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Dispar Kaltim Maksimalkan Media Sosial sebagai Sarana Promosi Produk Ekraf dan Ekowisata
- 30 Ucapan Selamat Hari Sumpah Pemuda 2023 Sesuai Tema, Cocok Dibagikan di Media Sosial
- 50 Ucapan Selamat Hari Santri 2023 Sesuai Tema, Bisa Kamu Bagikan di Media Sosial!
- Atasi Bullying, KPAI Tegaskan Pentingnya Pembinaan Karakter dan Akhlak Anak
- Bagaimana Cara Mengoptimalkan Video TikTok Anda Supaya FYP, Berikut 7 Tips yang Terbukti Sukses!