Opini

Hari Ibu: Kebijakan Politik yang Bukan Mother’s Day

Kaltim Today
23 Desember 2024 15:03
Hari Ibu: Kebijakan Politik yang Bukan Mother’s Day
Ketua Pokja Pengarusutamaan Gender Kota Samarinda Ananta Fathurrozi menerima buku Gender di Mata Gen Z dari penulisnya Syifa Hajati dan editor Muhammad Sarip

Oleh: Syifa Hajati, penulis buku Gender di Mata Gen Z

Yang diperingati tiap 22 Desember itu ternyata bukan yang biasa dipahami oleh sebagian orang. Ungkapan kasih sayang dan terima kasih kepada seorang ibu memang kewajiban anak. Namun, Hari Ibu yang diciptakan oleh pemerintah bukanlah selebrasi Mother’s Day atau peringatan hari ibu secara biologis.

Pemahaman yang sebenarnya terkait Hari Ibu masih banyak belum diketahui orang. Sebenarnya hari besar nasional tersebut bukanlah peringatan atas ibu kandung yang telah melahirkan kita. Yang dimaksud Hari Ibu ialah peringatan atas gerakan memperjuangkan kesetaraan perempuan dalam kehidupan multidimensi berbangsa dan bernegara, yang ditetapkan oleh Presiden Sukarno lewat Dekrit Presiden RI Nomor 316 Tahun 1959.

Intinya, Hari Ibu merupakan hari emansipasi perempuan Indonesia. Dipilihnya tanggal 22 Desember karena bertepatan dengan hari pertama Kongres Perempuan Indonesia I pada tahun yang sama dengan momen Sumpah Pemuda 1928. Hal ini juga menjadikan perempuan sebagai tonggak perjuangan bangsa Indonesia.

Masih banyak orang yang menjadikan 22 Desember sebagai tanggal untuk pengungkapan kasih sayang kepada seorang ibu yang sudah melahirkan, merawat, dan mendidik kita. Mengungkap respek kepada ibu memang hal yang baik. Namun, prosesi khusus dan berulang tiap tahun di hari yang peruntukannya secara politik bukan untuk itu, hal ini malah mengaburkan makna perjuangan kesetaraan dan keadilan gender.

Kasih sayang kepada ibu kandung tidak memerlukan satu hari khusus. Membahagiakan ibu kandung kita tidak mengenal hari, bulan, dan tahun tertentu. Hari ibu kandung adalah tiap hari sepanjang masa. Adapun Hari Ibu tiap 22 Desember merupakan kebijakan politik memori kolektif sebagai bentuk menghargai jasa para perempuan Indonesia.

Lalu, apakah cita-cita Kongres Perempuan Indonesia yang berlalu hampir 1 abad silam sudah terwujud pada tahun 2024? Mari kita simak hasil dari pertemuan nasional tersebut. Kesepakatan peserta kongres adalah mendirikan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) yang bertujuan antara lain mengupayakan beasiswa untuk perempuan berbakat tapi tidak mampu, mencegah pernikahan dini, mendesak pemerintah untuk memberikan tunjangan bagi janda dan yatim piatu, meningkatkan pendidikan untuk perempuan, dan mencatatkan pernikahan dalam dokumen legal.

Sebagian cita-cita Kongres Perempuan Indonesia I masih terus direalisasikan. Dengan kesempatan pendidikan yang relatif setara, sejumlah perempuan Indonesia di masa kini sudah berani mengambil peran yang cukup strategis di berbagai bidang. Namun, masih terdapat ketidakadilan yang menimpa perempuan.

Pernikahan dini atau perkawinan anak di bawah umur merupakan problem yang tergolong sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Data statistik 2023, angka perkawinan anak di Indonesia mencapai angka 6,92% (kemenpppa.go.id). Artinya, masih ada anak-anak yang tidak mendapatkan haknya dalam aspek kesehatan, pendidikan, kebahagiaan masa remaja, dan lain sebagainya.

Dalam lingkup lokalitas Kota Samarinda, perempuan menjadi korban terbanyak dalam kasus kekerasan. Bahkan, data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Samarinda menunjukkan, jumlah kasus dan korban kekerasan di ibu kota Kalimantan Timur dari tahun 2021 hingga 2023 makin meningkat.

Dalam buku Gender di Mata Gen Z yang saya tulis, satu di antaranya mengungkap keresahan yang kita saksikan bersama. Masih terdapat pihak yang belum sadar akan peran dan hak-hak perempuan. Diskriminasi gender masih saja kita temui di lingkup sosial, politik, dan hukum. Budaya patriarki masih subur di masyarakat. Representasi politik perempuan masih jauh dari limit target. Kekerasan dan pelecehan seksual selain yang dilaporkan, masih juga terjadi dalam bentuk yang terselubung di ruang publik tanpa disadari dalam wujud seksisme dan bias gender.

Akhirul kalam, kalo Hari Ibu maknanya adalah Mother's Day, maka pemerintah tak perlu bikin kebijakan politik penetapan sebuah Hari Ibu. Secara naluriah kehidupan manusia memang akan membentuk relasi yang spesial antara ibu dan anak secara biologis. Namun, seorang anak laki-laki belum tentu akan respek terhadap anak perempuan sebayanya. 

Seorang laki-laki dewasa belum tentu bersikap respek dan menghargai perempuan selain kepada ibu kandungnya sendiri. Suami bisa bersikap baik banget kepada ibu kandungnya, tetapi dia bisa sangat jahat terhadap ibu dari anaknya sendiri. Padahal, ibu kandung maupun ibu-ibu lainnya sama-sama manusia yang memiliki hak asasi untuk dilindungi dari tindak kekerasan dan perbuatan melawan hukum. (*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co


Berita Lainnya