Opini

Problematika Sosial Politik Usulan Pahlawan Nasional

Kaltim Today
27 April 2025 08:23
Problematika Sosial Politik Usulan Pahlawan Nasional
Neon box Abdoel Moeis Hassan dan Aminah Syukur di teras Museum Samarinda, dua tokoh pahlawan dari Samarinda. (Foto Muhammad Sarip)

Oleh: Muhammad Sarip (Sejarawan Publik, Anggota TP2GD)
 
Tunjangan 50 juta rupiah per tahun diberikan oleh Kementerian Sosial kepada ahli waris dari tokoh yang bergelar Pahlawan Nasional. Dana jaminan sosial ini berlaku sejak 2018 setelah Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2018. Namun, benefit Pahlawan Nasional bukan sekadar manfaat finansial. Lebih dari itu, ada prestise dan kebanggaan bagi keluarga pahlawan dan daerah pengusul. Atribusi pahlawan bagi tokoh kontroversial juga berarti validasi atau rehabilitasi nama baiknya.

Keputusan pengangkatan individu sebagai Pahlawan Nasional memang domain politik, bukan murni urusan historiografi. Makanya negara menyerahkan prosedurnya tidak kepada nomenklatur kabinet yang membidangi pendidikan dan kebudayaan. Urusan Pahlawan Nasional ini, dari level daerah hingga ke pusat, dikelola oleh instansi bidang sosial. Di tingkat daerah melalui Dinas Sosial. Sedangkan di pusat oleh Kementerian Sosial.

Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional, dalam merekomendasikan usulan Pahlawan Nasional di tingkat daerah ada yang namanya TP2GD (Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah). Sementara di pusat ada TP2GP (Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat). TP2GD dibentuk oleh pemerintah daerah dengan tugas memberikan pertimbangan kepada gubernur, bupati/walikota dalam memverifikasi usulan pemberian gelar. Adapun TP2GP dibentuk oleh Kementerian Sosial dengan tugas memberikan pertimbangan kepada menteri memverifikasi usulan pemberian gelar. Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar ini beranggotakan paling banyak 13 orang yang terdiri atas unsur praktisi, akademisi, pakar, sejarawan, dan instansi terkait.

Permensos 15/2012 menyatakan TP2GP bersifat independen. Pada implementasinya, komposisi keanggotaan TP2GP didominasi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN). Unsur akademisi dan sejarawan lazimnya berasal dari dosen perguruan tinggi negeri. Unsur pakar dan praktisi direkrut dari ASN yang berdinas di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional, dan/atau BRIN. Tak ada perwakilan Komnas HAM dalam TP2GP. Unsur media pers sebagai satu dari pilar demokrasi juga tidak terwakili dalam TP2GP.

Tiap rezim berbeda-beda kebijakan politik dalam pengangkatan individu sebagai Pahlawan Nasional. Zaman Orde Lama, ada tokoh yang begitu wafat, di hari yang sama langsung diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Contohnya Sutan Sjahrir yang digelari Pahlawan Nasional tepat pada hari tutup usia, 9 April 1966. Hal ini dapat dimaknai sebagai “penebusan dosa” Bung Karno yang telah memenjarakan Sjahrir hingga mengembuskan napas terakhir.

Lain lagi dengan Tan Malaka. Tokoh dari Minang ini telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional sejak Orde Lama (28 Maret 1963). Namun, pada zaman Orde Baru, nama Tan Malaka dihilangkan dari buku-buku sejarah resmi. Orde Baru fobia dengan ideologi kiri, sehingga Tan Malaka yang berideologi komunis disingkirkan dari teks sejarah resmi. Baru pada era Reformasi, media dan publik bebas mengekspos informasi bahwa Tan Malaka itu adalah Pahlawan Nasional yang mencetuskan konsep Republik Indonesia, sejak 20 tahun sebelum Proklamasi 1945.

Berikutnya, Pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang dijadikan Hari Pahlawan itu, satu di antara tokoh populernya adalah Bung Tomo. Pendiri Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) ini dikenal dengan pidatonya yang berapi-api plus seruan takbir yang menggelegar melalui siaran radio. Bung Tomo wafat pada 1981. Namun, selama Orde Baru, Bung Tomo tidak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Mengapa? Itu karena arek Surabaya ini pernah mengkritik pemerintah soal pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang digagas oleh Siti Hartinah alias Tien Soeharto, istri dari Presiden Soeharto. Rezim Soeharto memenjarakan Bung Tomo selama setahun.

Nasib Bung Tomo berbanding terbalik dengan Siti Hartinah. Hanya dalam waktu 3 bulan setelah wafatnya (28 April 1996), Tien mendapat jalur express dalam meraih gelar Pahlawan Nasional. Pada 30 Juli 1996 Presiden Soeharto alias suaminya sendiri menandatangani Piagam Penghargaan Gelar Pahlawan Nasional bernomor 001/XV/1996.

Dari beberapa kasus ini, tampak bahwa penobatan Pahlawan Nasional itu penuh dengan muatan politis. Ada unsur like and dislike, tergantung siapa yang berkuasa. Implementasinya kadang tidak berdasarkan kualifikasi yang terukur. Realisasinya kadang tidak sesuai dengan ekspektasi publik.

Rekomendasi TP2GD dan Gubernur Kalimantan Timur untuk usulan gelar Pahlawan Nasional Abdoel Moeis Hassan
Rekomendasi TP2GD dan Gubernur Kalimantan Timur untuk usulan gelar Pahlawan Nasional Abdoel Moeis Hassan

Pada periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, barulah Bung Tomo diangkat sebagai Pahlawan Nasional. SBY beralasan bahwa negara perlu melakukan rekonsiliasi nasional antar-elemen bangsa. Tokoh-tokoh bangsa yang sebelumnya 'dianggap' sebagai musuh pemerintah, harus diapreasiasi pada posisi yang selayaknya.

SBY juga membangun rekonsiliasi dengan kelompok pro-Masyumi yang pada 1960 dibubarkan oleh Presiden Sukarno. Tokoh Masyumi yang bernama Mohammad Natsir adalah perdana menteri negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1950. Natsir berjasa dalam pengembalian bentuk Negara Indonesia menjadi kesatuan, NKRI. Pencetus “Mosi Integral Natsir” ini wafat pada 1993. Namun, pemerintah Orde Baru tidak menobatkannya sebagai Pahlawan Nasional.

Natsir dianggap sebagai oposisi bagi dua rezim. Pada Orde Lama, Natsir bergabung bersama tokoh Masyumi lainnya dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). PRRI melawan rezim Sukarno karena urusan otonomi daerah dan desentralisasi. Sementara pada Orde Baru, Natsir menjadi anggota Petisi 50 pada 1980 yang mengkritik kebijakan Presiden Soeharto.

Dengan spirit rekonsiliasi nasional, pada 2008 Presiden SBY mengangkat Natsir sebagai Pahlawan Nasional. Begitu pula tokoh Syafruddin Prawiranegara, pemimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PRDI) 1948–1949 saat Sukarno-Hatta ditahan Belanda. Bersama dengan Natsir dalam perlawanan PRRI 1958, Syafruddin juga dicap pemberontak. Narasi ini termuat dalam buku-buku teks sejarah untuk sekolah. Syafruddin yang secara faktual merupakan presiden ke-2 RI ini juga anggota Petisi 50. Namun, pada 2011 Syafruddin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Pemerintahan SBY menganggap, kasus PRRI bukan pengkhianatan terhadap negara, melainkan dinamika perselisihan antara daerah dengan pemerintah pusat.

Kasus Tan Malaka, Bung Tomo, Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, berbeda dengan Soeharto. Kasus mereka bukan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Sedangkan kasus yang berada dalam tanggung jawab Soeharto bukan sekadar pelanggaran hak asasi manusia yang biasa, melainkan pelanggaran HAM yang berat, sesuai pernyataan resmi Presiden Joko Widodo pada 11 Januari 2023 yang disiarkan Sekretariat Kabinet RI.

Presiden Jokowi mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat pada peristiwa 1965–1966, penembakan misterius (petrus) 1982–1985, Talangsari Lampung 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, penghilangan orang secara paksa 1997–1998, kerusuhan Mei 1998, tragedi Trisakti dan Semanggi 1998, dan pembunuhan dukun santet 1998. Statements oleh Kepala Negara (Presiden Jokowi) ini menunjukkan bahwa Pelanggaran HAM Berat tersebut dilakukan oleh negara, yang institusinya dipimpin oleh presiden masa lalu.

Usulan gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto yang diproses oleh Kemensos ini bikin kegaduhan. Usulan tersebut juga mencederai nurani keluarga korban pelanggaran HAM. Ketimbang melanjutkan prosesnya, lebih baik Kemensos memprioritaskan usulan Pahlawan Nasional dari daerah, terutama dari luar Jawa. Misalnya, ada Abdul Muthalib Sangadji dari Provinsi Maluku yang sudah bertahun-tahun diusulkan dari Maluku. Hingga 2025, rekan seperjuangan HOS Tjokroaminoto dan Agus Salim itu belum juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Dari Kalimantan Timur ada usulan Abdoel Moeis Hassan, yang prosesnya masih di tingkat Kemensos. Pada 21 Februari 2025 Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos, Mira Riyati Kurniasih menandatangani surat Penyampaian Hasil Usulan Calon Pahlawan Nasional Tahun 2024 a.n. Abdoel Moeis Hassan. Surat bernomor 298/5/PB.06.00/02.2025 ini ditujukan kepada Gubernur Kaltim dan ditembuskan kepada Dinas Sosial Kaltim.

Ada 3 poin yang disampaikan Kemensos mengenai usulan Pahlawan Abdoel Moeis Hassan. Pertama, pengusul diharapkan menambah sumber data/dokumen kiprah tokoh pada tahun 1934, 1944, 1954, dan 1964. Kedua, pengusulan Abdoel Moeis Hassan dapat dilakukan paling singkat dalam jangka waktu 2 tahun terhitung sejak 2025, dengan kesempatan sebanyak 2 kali pengusulan kembali. Ketiga, prosedur pengusulan kembali dilakukan dengan melengkapi semua persyaratan seperti awal pengusulan.

Dengan alasan formal tentang kelengkapan dokumen, Kemensos tidak melanjutkan usulan Abdoel Moeis Hassan kepada Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, sebelum diteruskan kepada presiden. Kaltim baru mendapat satu tokoh yang digelari Pahlawan Nasional, dari kiprah Sultan Aji Muhammad Idris melawan VOC pada abad ke-18. Sementara kiprah pejuang pemimpin Republiken, yakni Abdoel Moeis Hassan, yang memelopori integrasi Kaltim ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 1950, masih dimintai lagi kelengkapan dokumennya.

Selain surat formal, ada kabar informal secara lisan yang diperoleh dari kantor Kemensos mengenai usulan dari Kaltim. Infonya, gelar Pahlawan Nasional untuk Abdoel Moeis Hassan harus didahului dengan pengangkatan AM Sangadji sebagai Pahlawan Nasional. Alasannya, Abdoel Moeis Hassan ini adalah murid dari AM Sangadji. Jadi, menurut pendapat asumtifnya, guru harus didahulukan sebelum murid. Entah valid-tidaknya kabar ini.

Kesenjangan sosial memang nyata. Bukan hanya gap antar-individu, tetapi juga kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa. Kemensos merilis 10 tokoh yang diusulkan gelar Pahlawan Nasional pada 2025. Separuhnya berasal dari provinsi di Pulau Jawa. Hal ini berarti ada belasan atau 20-an provinsi di luar Jawa yang tidak kebagian kuota tokoh calon Pahlawan Nasional.

Status Kaltim yang sebagian wilayahnya dibangun Ibu Kota Nusantara, tidak lagi diprioritaskan dalam proses usulan gelar Pahlawan Nasional. Usulan untuk Sultan Ibrahim Chaliluddin dari Paser, Raja Alam dari Berau, atau Aminah Syukur dari Samarinda, atau pemimpin Palagan Sanga-Sanga, jadi tambah lama antriannya.

Daftar Pustaka

Purwanto, Bambang; Adam, Asvi Warman. 2013. Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Ricklefs, M.C. 2016. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Masal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra.

Sarip, Muhammad; Nandini, Nabila. 2018. Abdoel Moeis Hassan Pejuang Republiken dan Pelopor Pembaharuan di Kalimantan Timur: Sebuah Biografi. Samarinda: RV Pustaka Horizon.

Sarip, Muhammad; Sheilla, Nanda Puspita. 2024. Historipedia Kalimantan Timur: Dari Kundungga, Samarinda, Hingga Ibu Kota Nusantara. Samarinda: RV Pustaka Horizon.

Sekretariat Kabinet RI. 2023. “Pernyataan Pers Presiden RI, di Istana Merdeka, Provinsi DKI Jakarta, 11 Januari 2023”. Setkab.go.id, 11 Januari 2023. bit.ly/setkab-presiden-11-1-2023. Diakses 25 April 2025.

TEMPO. 2018. Soeharto: Setelah Sang Jenderal Besar Pergi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya