Opini

Kampung dan Kedaulatan Pangan di Tengah Pandemi Covid-19

Kaltim Today
30 Maret 2020 13:38
Kampung dan Kedaulatan Pangan di Tengah Pandemi Covid-19
Muhammad Arman, Direktur Advokasi Hukum dan HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN.

Oleh: Muhammad Arman (Direktur Advokasi Hukum dan  HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)

BUKAN lautan hanya kolam susu, kain dan jala cukup menghidupimu, tiada badai, tiada topan kau temui, Ikan dan udang menghampirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. (Koes Plus, 1973).

Syair di atas sudah cukup menggambarkan kepada kita semua bahwa Indonesia adalah negara yang kaya raya dan memiliki sumber daya alam yang melimpah. Surga sebagai negara agraris.

Tak berlebihan jika Moeh Hatta (1943), menyatakan bahwa jika Indonesia ingin mencapai kemakmuran pada masa mendatang, maka hendaknya perekonomian bangsa disusun atas dasar Indonesia sebagai negara agraris. Oleh karena itu diperlukan peraturan-peraturan yang memperkuat kedudukan hak atas tanah dan sumber daya alamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat pada umumnya.

Konstekstualisasi pemikiran Hatta, di atas dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 33 UUD 1945 (sebelum amandemen) yang menegaskan bahwa kemakmuran masyarakat sebagai  tujuan utama, perekonomian disusun berdasar atas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Makna hak menguasai negara yang sejak orde baru hingga saat ini sering disalah-tafsirkan sebagai hak milik negara. Padahal konsepsi hak menguasai negara (HMN) terbatas hanya dalam konteks mengadakan kebijakan dan tindakan pengurusan, pengelolaan dan pengawasan untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Konsepsi HMN ini sejalan prinsip kedaulatan rakyat “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” dan semangat Pasal 33 UUD 1945 tentang kolektifitas yang didasarkan pada semangat tolong menolong gotong-royong (kekeluargaan). Prinsip yang sama sesungguhnya dianut di dalam Pasal 12 UU PA yang menegaskan bentuk-bentuk pengusahaan sumber-sumber agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional melalui koperasi dan bentuk-bentuk usaha gotong-royong lainnya.

Membangun Kota, Mengabaikan Kampung

Seruan gotong-royong nasional yang disampaikan oleh Presiden Jokowi (20 Maret 2020) yang meminta solidaritas petani dan seluruh kelompok profesi dalam menghadapi pandemi Covid-19 terutama dalam menghadapi kesiap-siagaan ketersediaan pangan, barangkali bisa menjadi titik awal perenungan mengenai politik pembangunan bangsa selama ini. Kota dengan segala imajinasi kemajuan peradabannya yang memukau ternyata sangat rapuh dan kecil untuk semua hal yang diperlukan oleh manusia. Kota bahkan ternyata tidak dapat diandalkan sebagai sebuah benteng yang sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri.

Jika kembali pada syair “Tongkat Kayu dan Batu Jadi Tanaman”, menyiratkan makna mendalam bahwa alam raya kampung dengan segala kekayaan alam dan pengetahuannya sesungguhnya telah menyediakan apapun untuk kebutuhan manusia. Kampung adalah fondasi sekaligus hulu pembangunan. Kampung adalah modalitas utama membangun kota-bangsa.

Fenomena peminggiran masyarakat adat dan lokal yang mendiami kampung atau nama lain tidak dapat dilepaskan paradigma politik-ekonomi pembangunan. Fenomena ini makin mengental ketika rezim orde baru berkuasa. Masyarakat adat dan segala pengetahuannya dianggap sebagai sesuatu yang kuno, bodoh dan tidak beradab. Stigma ini kemudian diikuti dengan tindakan perampasan tanah dan sumber daya alam milik masyarakat adat.

Noer Fauzi Rachman (2013), menyatakan bahwa perampasan wilayah masyarakat adat sebagai proses “Negaraisasi’ dengan mengkategorisasi wilayah-wilayah adat sebagai tanah negara dan hutan negara oleh pemerintah. Kemudian atas dasar kewenangannya, wilayah-wilayah adat tersebut dialihkan sebagai wilayah konsesi perusahaan melalui izin HTI dan HGU.

 

View this post on Instagram

 

Pandemi Covid-19 dan seruan gotong-royong nasional oleh Presiden @Jokowi, pada akhirnya memanggil kita untuk kembali menata ulang dan memperkuat kampung. Masyarakat adat dan lokal yang mendiami kampung-kampung telah terbukti mampu bertahan dan mandiri di tengah ancaman perampasan tanah dan sumber-sumber penghidupannya atas nama pembangunan. . Kampung dan Kedaulatan Pangan di Tengah Pandemi Covid-19 Opini Muhammad Arman, Direktur Advokasi Hukum dan HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) . #kaltimtoday #opini #viruscorona #covid19 #kaltim

A post shared by Kaltim Today (@kaltimtoday.co) on

Marginalisasi terhadap keberadaan masyarakat adat yang melaksanakan sistem pertanian tradisional di dalam dan di sekitar kawasan hutan kemudian dilanjutkan dengan cara memberi stigma sebagai peladang berpindah, perambah hutan dan perusak lingkungan. Oleh karena itu sistem pertanian tradisional yang telah dipraktekkan oleh masyarakat adat harus diubah. Di sisi lain dorongan ini juga berimplikasi pada pengusuran masyarakat adat di atas wilayah adatnya karena dianggap sebagai ancaman terhadap kepentingan komersialisasi hutan dan industri ekstraktif lainnya (Sandra Moniaga, 1993).

Puncak penghancuran pengetahuan pertanian tradisional terjadi ketika program revolusi hijau dikembangkan pemerintahan orde baru yaitu melalui kebijakan intensifikasi dan homogenisasi tanaman pangan, khsususnya beras. Program yang didukung oleh pinjaman utang dari luar negeri ini, terbukti ampuh membunuh pengetahuan tradisional dan keragaman pangan yang dimiliki dan dipraktekkan oleh masyarakat adat secara turun-temurun.

Daulat Kampung-Daulat Pangan.

Pandemi Covid-19 dan seruan gotong-royong nasional oleh Presiden Jokowi, pada akhirnya memanggil kita untuk kembali menata ulang dan memperkuat kampung. Masyarakat Adat dan Lokal yang mendiami kampung-kampung telah terbukti mampu bertahan dan mandiri di tengah ancaman perampasan tanah dan sumber-sumber penghidupannya atas nama pembangunan.

Covid-19 sebagaimana dikemukakan Arief Satria (Media Indonesia, 2020) mestinya mampu menciptakan mental pembelajar, tidak hanya modal untuk membentuk masyarakat pembelajar, tetapi seharusnya menjadi pijakan bagi pemimpin bangsa untuk melakukan koreksi secara mendasar dan menyeluruh terhadap ketimpangan struktural agraria yang terjadi selama ini. Hal yang telah lama sesungguhnya diperintahkan oleh TAP MPR No.IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya Alam.

Pekerjaan rumah bagi Presiden Jokowi selain memastikan keselamatan rakyat dari serangan pandemic Covid-19, juga harus memastikan hak-hak rakyat atas tanah dan sumber daya alamnya terlindungi. Salah satu caranya adalah menghentikan pembahasan omnibus law untuk kemudahan berinvestasi yang telah terbukti gagal membawa Indonesia sebagai negara yang makmur, bahkan membuat Indonesia terjungkal dalam krisis ekonomi yang berkepanjangan, yang dampaknya masih kita rasakan sampai saat ini.

Mendudukkan kampung sebagai subyek utama dalam pengelolaan sumber daya alam, sejatinya merupakan tonggak utama membangun kemandirian ekonomi dan kedaulatan pangan  ditengah ketidakpastian ekonomi akibat Covid-19. Membangun kedaulatan kampung berarti menciptakan kedaulatan pangan.

Keyakinan ini bukan tanpa fakta. Studi valuasi ekonomi yang dilaksanakan oleh AMAN bekerja sama dengan Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran dan Institut Pertanian Bogor (2018), menunjukkan bahwa tanpa kehadiran investor sekalipun dapat mandiri secara ekonomi, bahkan pendapatan per tahun masyarakat adat jauh lebih tinggi dari upah minimum regional (UMR). Selain itu lahirnya regulasi yang memberikan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dapat memicu geliat ekonomi masyarakat adat dan berkonstribusi positif terhadap pendapatan negara

Hari ini di tengah krisis pandemic Covid-19, semoga mampu menyadarkan para pengambil bahwa komoditas sawit tidak mampu diandalkan sebagai sumber pangan, sebab sawit tidak dapat disulap sebagai sayur, sementara batu bara, nikel dan emas belum mampu di daur ulang menjadi nasi.

Membangun kampung sesungguhnya sejalan dengan visi Presiden Jokowi yaitu “membangun dari pinggiran” yang berarti bahwa kita mesti membangun dari kampung-kampung, bukan malah menghancurkannya dengan cara mengobral tanah-tanah di kampung kepada para investor. Kampung bukan hanya sebagi tempat pulang, melainkan denyut nadi kehidupan Indonesia sebagai negeri agraris.

Dengan cara diataslah, maka syair “tanah kita tanah surga” dapat diwujudkan dan dipersandingkan dengan cita membangun bangsa Indonesia dalam penggalan lagu Indonesia Raya stanza tiga ciptaan WR Supratman, “…Marilah kita mendoa, Indonesia Bahagia…” S’lmatlah rakyatnya, S’lmatlah putranya, Pulaunya, Lautnya, Semuanya”. Kita pasti melewati krisis akibat pandemi Covid-19, tanpa perlu khawatir kekurangan pangan, sebab daulat kampung adalah daulat pangan. (*)

*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co



Berita Lainnya