Opini
Desentralisasi yang Tersandera: Tumpang Tindih Regulasi, Krisis Moralitas, dan Upaya Membangun Kesadaran Hukum di Tingkat Desa
Oleh: Al Kautsar Taufik Wirajati (Penggiat Literasi Sadar Hukum, Al Kautsar Taufik Wirajati)
Desentralisasi pemerintahan merupakan agenda utama reformasi politik Indonesia untuk mengoreksi ketimpangan pusat–daerah yang diwariskan Orde Baru. Melalui UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, negara mengakui desa sebagai entitas masyarakat hukum dengan hak asal-usul, struktur sosial, dan nilai-nilai sendiri. Paradigma ini menandai pergeseran dari pendekatan birokratis menuju local self-government, di mana desa menjadi subjek berdaulat secara sosial, ekonomi, dan politik dalam kerangka NKRI.
Dalam perspektif teori decentralized governance, desentralisasi idealnya tidak berhenti pada pembagian kekuasaan, tetapi menjadi proses demokratisasi deliberatif di tingkat akar rumput.
Desa seharusnya berfungsi sebagai ruang publik lokal tempat nilai gotong royong, musyawarah, dan akuntabilitas sosial tumbuh secara mandiri. Namun, praktik di lapangan justru menampilkan paradoks: banyak desa terjebak dalam birokrasi berlapis dan regulasi kaku.
Akibatnya, desentralisasi yang semula dimaksudkan untuk memperkuat kemandirian warga berubah menjadi “sentralisme baru”, di mana otonomi desa dikontrol oleh mekanisme administratif negara.
Disharmoni Regulasi dan New Bureaucratic Centralism
Salah satu problem utama implementasi Undang-Undang Desa ialah disharmoni regulasi antar kementerian. Kemendagri melalui Permendagri No. 20 Tahun 2018menekankan akuntabilitas dan ketertiban administrasi dalam pengelolaan keuangan desa, sedangkan Kemendes PDTT melalui Permendesa No. 7 Tahun 2021 mengarahkan penggunaan dana desa untuk pencapaian SDGs Desa.
Secara normatif keduanya tampak saling melengkapi, namun dalam praktik menimbulkan fragmentasi kewenangan. Desa dipaksa menavigasi dua logika yang sering bertentangan: logika administratif Kemendagri yang menuntut kepatuhan prosedural, dan logika pembangunan Kemendes yang menuntut inovasi sosial-ekonomi. Ketegangan ini melahirkan regulatory capture, di mana kebijakan lebih mencerminkan kepentingan sektoral kementerian daripada kebutuhan masyarakat desa.
Di Kabupaten Penajam Paser Utara, khususnya Desa Sebakung Jaya, dampaknya terasa nyata. Aparatur desa kesulitan menyinkronkan pelaporan keuangan dengan pelaksanaan program prioritas, menyebabkan stagnasi pembangunan dan terbatasnya ruang kreatif masyarakat. Kondisi ini menunjukkan bahwa desentralisasi yang dijalankan masih bersifat administratif, belum mencapai tahap desentralisasi substantif yang menjamin kemandirian desa secara nyata.
Etika Pemerintahan Desa dan Krisis Akuntabilitas
Desentralisasi tanpa etika pemerintahan berpotensi melahirkan otonomi disfungsional. Korupsi dana desa bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi cerminan degradasi moral kekuasaan lokal, di mana dana desa dipandang sebagai alat kekuasaan, bukan amanah publik. Dalam kerangka public ethics, kekuasaan tanpa integritas mudah berubah menjadi patronase dan klientelisme, sebagaimana terlihat di beberapa desa di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).
Kasus Desa Sebakung Jaya menjadi contoh nyata. Audit BPKP mencatat kerugian negara sekitar Rp571 juta dalam proyek pembangunan lapangan sepak bola, namun penanganannya berhenti pada pengembalian dana tanpa sanksi pidana tegas. Ini menandakan lemahnya penegakan hukum dan munculnya “impunitas kultural” yang merusak prinsip good governance.
Karena itu, Pemerintah Kabupaten PPU di bawah kepemimpinan Bupati Mudyat Noor perlu memperkuat penegakan hukum yang transparan dan berkeadilan, disertai pendidikan etika publik agar aparatur desa memahami bahwa pengelolaan dana desa adalah amanah moral, bukan hak kekuasaan.
Inisiatif Posbakumdes dan Kadarkum: Rekonstruksi Kesadaran Hukum
Sebagai respons atas krisis tata kelola desa, Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) menginisiasi pembentukan Pos Bantuan Hukum Desa (Posbakumdes) dan Keluarga Sadar Hukum (Kadarkum) melalui instruksi Bupati. Langkah ini bertujuan memperkuat kesadaran hukum dan pengawasan berbasis komunitas terhadap penggunaan dana desa.
Secara fungsional, Posbakumdes memberikan pendampingan dan konsultasi hukum bagi warga, sementara Kadarkum menumbuhkan kesadaran hukum dalam kehidupan sosial. Jika dijalankan secara profesional, keduanya dapat menjadi fondasi rule of law di tingkat lokal.
Inisiatif ini sejalan dengan komitmen Bupati Mudyat Noor terhadap transparansi, partisipasi publik, dan pemerintahan terbuka yang berorientasi pada kedaulatan rakyat. Ia menekankan bahwa pembangunan hukum desa bukan sekadar urusan administratif, tetapi bagian dari proses demokratisasi yang menempatkan masyarakat sebagai subjek utama pemerintahan.
Banyak desa membentuk Posbakumdes dan Kadarkum sekadar formalitas tanpa kompetensi memadai, sehingga berisiko jadi alat kekuasaan. Di Desa Sebakung Jaya, lembaga ini seharusnya menjadi ruang belajar warga dan sarana membangun budaya hukum yang transparan dan berkeadilan.
Peran Pemuda dan Karang Taruna: Generasi Transformasi Desa Modern
Dalam era global governance dan digitalisasi, peran pemuda dalam tata kelola desa menjadi sangat strategis. Mereka bukan sekadar agen sosial, tetapi motor inovasi dan pengawasan publik. Ketua Umum Karang Taruna Nasional, Budisatrio Djiwandono, menegaskan bahwa pemuda harus menjadi bagian integral dari pemerintahan desa yang transparan dan berdaya saing, sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto tentang pentingnya pelibatan generasi muda dalam memperkuat fondasi sosial-ekonomi nasional dari tingkat desa.
Di Desa Sebakung Jaya dan wilayah PPU lainnya, Karang Taruna Desa dapat difokuskan pada tiga fungsi utama: edukatif, inovatif, dan pengawasan sosial. Pemuda perlu dibekali literasi digital, kewirausahaan sosial, dan kemampuan analisis kebijakan publik. Mereka juga dapat mengembangkan transparency unit desa melalui sistem digital terbuka yang menampilkan realisasi APBDes secara real-time.
Keterlibatan pemuda bukan hanya memperkuat social accountability, tetapi juga membangun collective awareness masyarakat. Desa yang memberi ruang bagi pemuda akan lebih adaptif terhadap perubahan dan memiliki ketahanan sosial yang kuat terhadap penyimpangan kekuasaan.
Harmonisasi Regulasi dan Rekonstruksi Tata Kelola Desa
Untuk meneguhkan otonomi desa substantif, diperlukan harmonisasi regulasi antara Kemendagri dan Kemendes PDTT melalui pedoman integratif yang meniadakan tumpang tindih kebijakan. Prinsip subsidiarity harus ditegakkan agar urusan publik dikelola oleh pemerintahan terdekat dengan masyarakat. Pemerintah daerah juga perlu memperkuat capacity building aparatur desa serta menerapkan open government digital dengan sistem open data desa guna menjamin transparansi dan partisipasi publik.
Langkah ini sejalan dengan semangat good governance dan participatory development, yang menempatkan masyarakat sebagai mitra sekaligus pengawas pembangunan. Desa adalah fondasi moral bangsa, tempat nilai kejujuran, tanggung jawab, dan solidaritas tumbuh alami. Namun tanpa reformasi kelembagaan dan etika publik, nilai-nilai itu mudah tergerus oleh pragmatisme kekuasaan.
Pembangunan desa harus dimulai dari kesadaran hukum, moral, dan tanggung jawab warga negara. Melalui sinergi antara pemerintah desa, Posbakumdes, Kadarkum, dan Karang Taruna, desa-desa di Kabupaten Penajam Paser Utara termasuk Sebakung Jaya dapat menjadi model tata kelola baru: desa yang berdaulat, beretika, dan berdaya saing. Pada akhirnya, desentralisasi sejati hanya lahir dari desa yang sadar hukum, berintegritas, dan menjunjung nilai kemanusiaan dalam setiap kebijakannya.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp
Related Posts
- Pengasuh Aniaya Anak: Urgensi Pemeriksaan Psikologis dan Bekal Pengetahuan Hukum Sebagai Upaya Preventif
- Apa Adab dan Hukum Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan? Begini Penjelasannya
- Kenali Bentuk-Bentuk Serangan Fajar dan Hukumnya dalam Islam
- Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum di Berau Meningkat di Tahun 2023
- Kapan Puasa Rajab 2024? Berikut Jadwal dan Bacaan Niat








