Opini
Pendekatan Etika Kebijaksanaan: Korupsi Ternyata dapat Dibenarkan?
Oleh : Kristy Ceacilia, Jeremi Siahaan dan Krisna Herdiana, Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
Lingkungan organisasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia merupakan lingkungan yang sangat menantang. Suatu lingkungan politik yang pada dasarnya tidak dipercaya oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Suatu komponen pemerintahan yang banyak menuai kritik dikarenakan aksi dan resolusinya yang kurang sesuai dengan harapan mayoritas publik. Membuat banyak dari masyarakat Indonesia bahkan internasional mempertanyakan tentang seberapa besar dampak DPR bagi kemajuan bangsa ini.
Banyak juga yang mempertanyakan, rakyat manakah yang sebenarnya diwakili oleh DPR dalam setiap forum nasionalnya. Pertanyaan yang tidak akan ada habisnya, karena yang pasti masyarakat pun tidak banyak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di balik ruang rapat kerja DPR. Tidak banyak yang memahami bagaimana setiap anggota DPR tersebut bekerja dan memenuhi kontribusinya sebagai seorang wakil rakyat.
Akan tetapi, bukan suatu hal bijak rasanya jika kita berpikiran bahwa seluruh komponen DPR merupakan individu yang tidak kompeten dalam menjalankan tugasnya. Bukan juga suatu hal yang tepat jika kita menggeneralisasi bahwa seluruh anggota DPR selalu melakukan perbuatan tidak terpuji dalam karir politiknya. Hal tersebut dikarenakan oleh pengetahuan umum bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki hati nurani dan moral baik sejak kecil. Pernyataan ini didukung oleh penelitian psikologi di Universitas Yale yang meneliti perilaku bayi terhadap perilaku baik dan buruk, yang menyatakan bahwa bayi berumur 6 bulan pun sudah dapat membedakan mana hal yang baik dan mana yang buruk. Sehingga pernyataan bahwa para “oknum” anggota dewan yang berperilaku tidak terpuji
tersebut sudah memiliki tujuan buruk sedari awal tidaklah sepenuhnya tepat.
Oleh sebab itu, dapat diasumsikan, ada suatu faktor tambahan lain yang mungkin juga tidak banyak dilihat oleh masyarakat umum, yang kemudian memengaruhi perilaku dari setiap anggota dewan legislatif tersebut. Bisa saja ada hal lain yang mendorong bahkan memaksa seseorang untuk turut terbawa arus keburukan, semata-mata karena arus tersebut lebih deras dibandingkan dengan arus kebaikannya.
Tentunya dengan fakta yang menyatakan lingkungan politik DPR adalah suatu lingkungan politik yang sangat menantang, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa terdapat tekanan eksternal dalam lingkungan organisasi DPR itu sendiri pada setiap individu, salah satunya yaitu tekanan bagi para anggota dewan yang “terlalu idealis”. Bak peribahasa yang mengatakan “semakin tinggi pohon menjulang, semakin kencang angin menerpa”, tentu untuk menjadi berbeda di suatu lingkungan yang terkenal akan suatu hal yang sebaliknya adalah suatu rintangan yang begitu berat.
Lalu, apakah seorang anggota dewan yang berperilaku tidak terpuji dapat dikatakan “terpaksa”? Atau bahkan dikatakan sebagai suatu hal yang “benar”? Kita dapat menganalisis hal ini dari sudut pandang teori etika, khususnya melalui pendekatan virtue ethics.
Pendekatan virtue ethics mengajarkan kita bahwasanya penentuan baik dan buruknya suatu hal itu didasarkan kepada kebijaksanaan seseorang dalam membaca situasi. Aristoteles menjelaskan bahwasanya virtue adalah melakukan hal yang tepat, pada waktu yang tepat, dengan cara dan takaran yang tepat, dan pada orang yang tepat. Pendekatan etika virtue menjadi sangat menarik karena penentuan benar dan salah sangatlah dinamis dan tidak berdasarkan kepada suatu aturan yang pasti.
Dalam pendekatan tersebut, yang menjadi dasar utama adalah untuk melakukan sesuatu sesuai dengan yang seharusnya, tidak terlalu defisit, dan juga tidak terlalu berlebihan. Aristoteles menyebutnya sebagai “The Golden Mean”, yaitu titik pertengahan yang tepat atas suatu situasi khusus. Dapat dikatakan bahwasanya suatu hal tidak akan selalu benar dan tidak akan selalu salah dalam sudut pandang virtue ethics, semua hanya berdasarkan kepada kemampuan seorang individu untuk membaca situasi dan menghasilkan suatu kebijakan terbaik menurut “kebijaksanaan”.
Menurut Aristoteles, menjadi pemberani bukan berarti selalu maju melawan segala rintangan yang ada, melainkan tahu cara-cara yang tepat untuk menghadapi suatu rintangan tertentu. Keberanian adalah titik tengah antara menjadi seorang pengecut dan menjadi seseorang yang ceroboh. Pengecut merupakan defisit dari keberanian, sedangkan ceroboh adalah keberanian yang terlalu berlebih. Intinya, tindakan yang benar selalu berada pada titik tengah antara titik-titik ekstrem yang ada.
Hal ini berhubungan juga dengan pembahasan terkait lingkungan organisasi DPR. Dengan menggunakan pendekatan virtue ethics kita dapat menganalisis sudut pandang yang lebih luas dari kasus ini. Adanya kondisi bahwa dengan menjadi terlalu idealis di lingkungan DPR justru akan membahayakan karir politik individu itu sendiri, tentu memberikan suatu tekanan eksternal pada setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Jika kita membayangkan suatu grafik tentang tingkatan perbuatan tercela, maka faktor tekanan politik ini menjadi salah satu gaya pendorong ke atas yang membuat para anggota dewan menjadi mudah terbawa oleh arus kotor di lingkungan organisasi DPR. Tetapi di sisi lain, ada integritas dan juga moral yang pasti tetap ada dalam hati setiap anggota dewan, terlepas dari seberapa besar tekanan ataupun godaan yang hadir. Sehingga jika kita terapkan kepada konsep “The Golden Mean” pada pendekatan etika virtue ethics, sisi defisit akan diisi oleh perilaku tercela besar-besaran tanpa merasa bersalah dan terus menghimpun kekuatan politik dengan mendorong anggota dewan lain untuk ikut terjerumus. Sedangkan sisi yang berlebihan akan diisi oleh perilaku sangat jujur dan idealis yang tidak mengenal toleransi apapun, walaupun itu menyangkut keselamatan jiwa raga individu tersebut.
Dengan menjadi seseorang yang virtuous seperti yang dijelaskan oleh Aristoteles, berarti individu tersebut akan mengambil pertengahan dari ekstremitas yang ada. Jika benar hal tersebut memang terjadi, maka dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang sengaja tidak terlihat terlalu idealis secara politik, semata-mata untuk mengambil jalan tengah terbaik atas apa yang terjadi dalam lingkungan tersebut. Hal ini seakan-akan adalah suatu konsekuensi logis dari pilihannya untuk mencalonkan diri sebagai seorang wakil rakyat. Ia sendiri pasti sudah mengetahui bahwa arus politik di dalam lingkungan DPR itu cenderung menuju arah yang kurang baik. Bahkan bisa
saja individu tersebut terlibat dalam sebagian tindakan tercela, semata-mata untuk bisa mempertahankan kekuatan politiknya di lingkungan DPR.
Pengambilan keputusan ini bukan tanpa sebab, tetapi memang karena prospek greater good yang ditawarkan secara jangka panjang. Karena jika kita melihat jangka pendeknya, pasti akan cenderung menggunakan pendekatan deontologi. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk dapat melihat berbagai sudut pandang dalam menilai suatu individu atau organisasi, karena bisa saja ada faktor-faktor tersembunyi yang menyebabkan seseorang melakukan suatu hal. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram “Kaltimtoday.co“, caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- KPK Desak Pengesahan RUU Perampasan Aset untuk Efektivitas Pemberantasan Korupsi
- Kejati Kaltim Tetapkan Dua Tersangka Lagi Kasus Korupsi Penyaluran Kredit Bankaltimtara, Negara Merugi Rp 15 Miliar
- UMKT Luluskan 1.314 Mahasiswa Siap Kerja, Rektor Komitmen Kontribusi SDM Unggul untuk Pembangunan IKN
- Anggota DPR 2024-2029 Bakal Terima Tunjangan Perumahan, Ini Penjelasan Besaran yang Dibahas
- Alasan Tunjangan Rumah untuk Anggota DPR 2024-2029: Rumah Dinas Kalibata Sudah Usang dan Sering Bocor