Opini

70 Tahun Sejarawan Asvi Warman Adam dan Perspektif Sejarah Kutai

Kaltim Today
16 Desember 2024 08:44
70 Tahun Sejarawan Asvi Warman Adam dan Perspektif Sejarah Kutai
Prof Asvi Warman Adam (kanan) dalam launching buku Histori Kutai bersama Aji Mirni Mawarni, Nanda Puspita Sheilla, Muhammad Sarip, Aji Mirza Wardana.

Oleh: Muhammad Sarip, penulis buku Histori Kutai

DARI wartawan menjadi sejarawan. Mendekati akhir kalender 2024 Profesor Asvi Warman Adam genap berusia 70 tahun. Sejarawan senior itu pun purnatugas dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Saya meyakini pensiunnya Profesor Riset bidang Sejarah Sosial Politik itu hanya formalitas dari atribusi kepegawaian negara. Sejatinya, beliau tetaplah seorang intelektual dan cendekiawan bidang sejarah yang konsisten berkarya. Sejarawan publik teladan sepanjang masa.

Saya kali pertama berkomunikasi dengan Prof. Asvi pada pertengahan 2021. Saya merasa surprise karena beliau yang lebih dulu menghubungi saya via WhatsApp. Saat itu beliau meminta alamat saya. Beliau bermaksud mengirimi saya salinan skripsi tentang tragedi Bultiken, yakni operasi militer terhadap keluarga Kesultanan Bulungan di Kalimantan Utara 1964. Peristiwa tersebut relevan dengan dinamika yang menimpa Kesultanan Kutai Kertanegara pada timeline yang sama.

Fotokopian skripsi saya terima, gratis, tanpa permintaan biaya apapun dari Prof. Asvi. Sebagai wujud terima kasih, saya mengirimi beliau beberapa buku saya. Ada satu buku saya terbitan 2018 yang kemudian beliau koreksi pada konten tertentu. Jelas sekali bahwa beliau membaca buku saya dengan cermat dan teliti.

Prof. Asvi mempunyai atensi khusus terhadap sejarah di Kalimantan, khususnya periode 1960-an, menjelang dan sesudah tragedi 1965. Rupanya beliau memantau aktivitas saya yang menulis sejarah Kutai. Satu di antara minat saya adalah menyingkap kesimpangsiuran peristiwa tragis yang menimpa keluarga bangsawan Kutai pada masa pemberlakuan Dwi Komando Rakyat atau era konfrontasi Malaysia. Benarkah ada andil Partai Komunis Indonesia (PKI) dan peran militer Indonesia dalam penangkapan Sultan Adji Mohamad Parikesit dan upaya pembakaran keraton Kutai di Tenggarong 1964?

Naskah sejarah Kutai yang panjang dengan kombinasi sumber yang lebih beragama saya selesaikan pada pertengahan 2023. Saya mengirimkan dummy (buku contoh) berjudul utama Histori Kutai kepada Prof. Asvi di Jakarta. Beliau kemudian memberikan masukan terhadap konten tertentu dari naskah buku saya. Tentu saja saya menerima masukan beliau sebagai koreksi dan bimbingan dari seorang expert.

Saya memohon kesediaan Prof. Asvi untuk menuliskan kata pengantar untuk buku saya. Namun, beliau tidak bersedia dengan alasan sudah ada kata pengantar dan kata sambutan dari tokoh lain di naskah buku. Yang kemudian beliau tawarkan malah melebihi ekspektasi saya. Beliau menyanggupi untuk menuliskan epilog alias artikel pamungkas untuk buku saya.

Pada 16 Oktober 2024 Prof. Asvi selesai menulis epilog untuk buku yang judul lengkapnya Histori Kutai: Peradaban Nusantara di Timur Kalimantan dari Zaman Mulawarman hingga Era Republik. Epilog terdiri atas lebih dari 2.400 kata, termasuk footnote. Beliau me-review buku saya dengan membagi sejarah Kutai dalam lima periode.

Dari lima periode sejarah Kutai, Prof. Asvi bersepakat dengan saya pada empat deskripsi periode. Hanya satu periode yang beliau berbeda perspektif dengan saya. Beliau membahas perbedaan itu dengan menulis subbahasan berjudul “Konfrontasi dengan Malaysia”, termuat dalam buku Histori Kutai, halaman 279–280. Di antara pandangan beliau adalah mengomentari pertanyaan saya, apakah operasi militer terhadap Kesultanan Bulungan dan Kutai merupakan instruksi langsung dari Panglima Besar Revolusi Bung Karno.

Kontribusi Prof. Asvi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya wawasan sejarah Kutai, tak hanya dalam bentuk epilog buku Histori Kutai. Beliau juga berkenan menjadi pembicara pada acara launching bukunya di Samarinda, 23 November 2023. Sebenarnya panitia siap memfasilitasi kehadiran beliau secara langsung di ibu kota Kaltim. Namun, dengan alasan kesehatan fisik, beliau tak bisa bepergian ke luar pulau. Beliau menyanggupi berbicara via Zoom.

Buku Histori Kutai dirilis di Perpustakaan Kota Samarinda. Aji Mirni Mawarni, anggota DPD RI yang membiayai penelitian dan penerbitan bukunya, menjadi pembicara. Aji Muhammad Mirza Wardana, Petinggi Pore (Ketua) Kerapatan Wilayah Sempekat Keroan Kutai dan anggota DPD RI 2014–2019, menjadi moderator.

Sebagai penulis buku, saya juga tampil sebagai pembicara. Guna melihat perspektif pembaca, saya mengajak seorang gen Y (milenial) angkatan terakhir untuk menjadi pembicara. Nanda Puspita Sheilla namanya. Dia eksekutif muda dari Samarinda yang domisili di Jakarta, yang kemudian berkolaborasi bersama saya menulis buku Historipedia Kalimantan Timur (terbit 2024). Nanda merupakan publik pertama yang membaca Histori Kutai sebelum bukunya dirilis.

“Epilog yang ditulis oleh Prof. Asvi Warman Adam di buku ini bisa menetralisasi perspektif pembaca non-Kaltim untuk tidak mempermasalahkan penulisnya yang dari lokalitas Kaltim. Epilog Profesor Riset Sejarah Sosial Politik BRIN tersebut memang sangat membantu menetralisasi dan berfungsi seperti endorsement buat buku ini,” kata Nanda yang kemudian dipublikasikannya dalam tulisan opini di media siber Kaltimkece.id.

Lebih dari 40 tahun Asvi Warman Adam aktif sebagai peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 1983 hingga bermetamorfosis menjadi BRIN. Pendidikan tingginya dimulai pada jenjang Sarjana Muda Sastra Prancis Universitas Gadjah Mada (1974–1977). Berlanjut ke Sarjana Penuh Sastra Prancis Universitas Indonesia (1978–1980).

Studi S-2 dan S-3 ditempuhnya di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris-Prancis mulai 1984 dengan bimbingan sejarawan Prancis Denys Lombard. Gelar Doktor Sejarah diraihnya pada 1990. Sambil kuliah, beliau menjadi pengajar bahasa Indonesia di Institut Bahasa-bahasa Timur di Paris.

Sejak 1998 Prof. Asvi sering menulis tentang rekayasa sejarah Orde Baru dan historiografi Indonesia dari perspektif korban. Uniknya, sejarawan kelahiran Bukittinggi-Sumatera Barat tersebut mengakui bahwa dirinya dari sekolah sampai kuliah S-1 tidak bercita-cita menjadi sejarawan. Studi S-1-nya bukan jurusan Ilmu Sejarah. Awal karier profesionalnya adalah wartawan majalah olah raga Sportif selama tiga tahun pada 1980–1983. Beliau sempat menjadi redaktur pelaksana.

“Tampaknya saya telah ditakdirkan sejarah untuk menjadi ‘sejarawan tidak sengaja’,” kata Prof. Asvi saat pidato penerimaan Nabil (Nation Building) Awards 2020.

Passion Asvi sebagai sejarawan bermula pada 1998 dari menyimak kesaksian para korban ketidakadilan tragedi 1965. Sejak itulah lahir karya-karya Prof. Asvi dengan tagline “pelurusan sejarah”, “membongkar manipulasi-kontroversi”, “menggugat historiografi”. Tagline tulisan seperti Prof. Asvi menjadi inspirasi bagi saya dalam menulis sejarah lokalitas Kaltim.

Selamat HUT ke-70 Prof. Asvi. Terima kasih, Prof. Asvi telah memberikan pengetahuan dan wawasan kepada saya. Semoga tetap sehat dan terus berkarya untuk historiografi Indonesia, meluruskan yang bengkok, menyingkap yang palsu. (*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co


Berita Lainnya