Opini

Dari Rente ke Reformasi: Catatan Hukum atas Penahanan Ketua Kadin Kaltim oleh KPK

Kaltim Today
10 September 2025 19:01
Dari Rente ke Reformasi: Catatan Hukum atas Penahanan Ketua Kadin Kaltim oleh KPK

Oleh: Muhammad Iqbal, S.H., M.H (Praktisi, Konsultan Hukum & Peneliti Nusantara Law Institute)

Pemberitaan mengenai penahanan Ketua Kadin Kalimantan Timur, Dayang Donna Walfiaries Tania (DDW), oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 9 September 2025, menjadi sorotan besar di tingkat nasional maupun daerah. Kasus ini tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari fenomena panjang korupsi di sektor sumber daya alam (SDA), khususnya di bidang izin usaha pertambangan (IUP).

KPK menetapkan DDW sebagai tersangka setelah diduga meminta uang kepada pengusaha batu bara, Rudy Ong Chandra (ROC), terkait pengurusan enam IUP milik perusahaan yang dikendalikannya. Fakta ini mencerminkan pola relasi yang kerap terjadi di sektor pertambangan: dunia usaha dan pejabat publik saling bergantung, namun dalam praktiknya sering terjerumus ke dalam praktik rente atau transaksi ilegal.

Secara hukum, Dayang Donna dijerat dengan Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal-pasal ini menegaskan bahwa perbuatan meminta atau menerima hadiah/janji yang berkaitan dengan kewenangan jabatan merupakan tindak pidana korupsi yang ancamannya sangat berat, minimal empat tahun penjara dan maksimal 20 tahun, ditambah pidana denda.

Namun, kasus ini bukan hanya tentang pasal-pasal pidana. Lebih jauh, ia menyingkap rapuhnya tata kelola SDA di Kalimantan Timur, lemahnya sistem integritas di lembaga dunia usaha, dan masih kuatnya budaya rente dalam pengurusan izin tambang. Oleh karena itu, penahanan Ketua Kadin Kaltim perlu dibaca bukan sekadar peristiwa hukum, tetapi juga momentum refleksi untuk melakukan reformasi menyeluruh.

1. Kronologi Singkat Kasus

Menurut keterangan resmi KPK, peran Dayang Donna berawal ketika ia meminta uang kepada Rudy Ong untuk membantu pengurusan enam perpanjangan IUP. Ia kemudian menghubungi Amrullah (AMR), Kepala Dinas ESDM Kaltim, untuk menanyakan proses perpanjangan izin tersebut.

Negosiasi sempat dilakukan melalui perantara bernama Sugeng. Awalnya Dayang ditawari Rp 1,5 miliar, namun menolak dan meminta Rp 3,5 miliar. Akhirnya, pertemuan langsung terjadi antara Rudy dan Dayang di sebuah hotel. Dalam pertemuan itu diserahkan uang Rp 3 miliar dalam pecahan dolar Singapura dan Rp 500 juta dalam rupiah. 

KPK menilai perbuatan tersebut memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Oleh karena itu, Dayang ditahan untuk 20 hari pertama di Rutan KPK Cabang Jakarta Timur.

2. Fenomena Korupsi SDA di Indonesia

Kasus ini seolah mengulang pola lama: SDA yang seharusnya menjadi berkah, justru menjadi lahan korupsi. Indonesia, dengan kekayaan tambang melimpah, kerap dihadapkan pada praktik state capture corruption, di mana pengusaha dan pejabat memanfaatkan kelemahan regulasi untuk keuntungan pribadi.

Data Transparency International (2024) menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam melawan korupsi. CPI Indonesia tahun 2024 berada di skor 37/100 dan berada di peringkat 99 dari 180 negara yang disurvei. Skor 37/100 ini mengalami kenaikan 3 poin dari skor CPI 2023 lalu, yakni 34/100 dan peringkat 115/180. Di sektor SDA, laporan ICW (Indonesia Corruption Watch) tahun 2023 menyebutkan ada ratusan kasus penyalahgunaan izin tambang, mulai dari suap hingga gratifikasi.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) sendiri yang merupakan organisasi resmi yang menaungi pelaku usaha. Secara kelembagaan dirugikan dengan adanya hal ini, Kadin memiliki mandat untuk memperjuangkan iklim usaha sehat, mendorong investasi, dan menjaga integritas bisnis.

Namun, kasus ini justru menunjukkan penyimpangan serius. Jika pucuk pimpinan Kadin daerah terjerat kasus korupsi, maka legitimasi organisasi tercoreng. Bagi dunia usaha, hal ini menciptakan ketidakpastian hukum dan mencederai kepercayaan masyarakat.

Dari perspektif hukum pidana, konstruksi pasal yang disangkakan kepada Dayang Donna cukup kuat. Pasal 12 huruf a UU Tipikor menjerat siapapun yang memberi atau menerima hadiah terkait kewenangan jabatan. Sedangkan Pasal 11 UU Tipikor lebih luas, mencakup penerimaan gratifikasi.

Selain itu, keterlibatan Dayang sebagai pihak swasta yang “mempengaruhi pejabat publik” juga bisa ditarik ke Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan. Artinya, ia dianggap melakukan tindak pidana bersama-sama dengan pejabat publik.

Dengan demikian, unsur-unsur pidana dalam kasus ini tampak terpenuhi, meskipun tentu pembuktian lebih lanjut harus diuji di pengadilan.

Kasus korupsi SDA bukan sekadar merugikan negara secara finansial. Lebih jauh, ia berdampak pada masyarakat luas. Izin tambang yang diperoleh dengan cara suap biasanya diikuti oleh lemahnya pengawasan lingkungan, eksploitasi berlebihan, dan konflik sosial.

Kalimantan Timur sendiri memiliki catatan panjang terkait lubang tambang yang terbengkalai, kerusakan lingkungan, hingga korban jiwa akibat kelalaian perusahaan. Praktik suap dalam pengurusan izin hanya memperparah keadaan, karena orientasi pemegang izin bukan lagi pada keberlanjutan, melainkan pada keuntungan cepat.

Kasus ini tentu juga menarik karena KPK sebelumnya telah menetapkan mantan Gubernur Kaltim, Awang Faroe Ishak (AFI), sebagai tersangka dalam kasus serupa. Namun, penyidikan dihentikan karena AFI meninggal dunia. Pola ini menunjukkan bahwa korupsi IUP tidak hanya melibatkan pengusaha, tetapi juga pejabat politik tingkat tinggi.

Dengan demikian, kasus Dayang Donna bukan peristiwa terisolasi, melainkan bagian dari jejaring besar korupsi SDA di Kaltim.

Saat ini jelas bahwa penahanan Ketua Kadin Kaltim oleh KPK harus dibaca dalam tiga lapisan penting: hukum pidana, tata kelola kelembagaan, dan politik hukum SDA.

Pertama, dari aspek hukum pidana, perbuatan yang didakwakan kepada Dayang memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Oleh karena itu, penahanan oleh KPK sah secara hukum dan merupakan langkah tepat dalam penegakan hukum.

Kedua, dari aspek kelembagaan, kasus ini adalah pukulan telak bagi dunia usaha di Kaltim. Kadin harus segera melakukan konsolidasi, memperkuat kode etik, dan membangun mekanisme integritas internal agar tidak terjerumus kembali ke dalam praktik serupa.

Ketiga, dari aspek politik hukum, kasus ini menunjukkan perlunya reformasi menyeluruh di sektor SDA. Reformasi tersebut harus mencakup:

1. Digitalisasi izin tambang untuk meminimalisir kontak langsung antara pengusaha dan pejabat.

2. Transparansi publik atas daftar IUP yang sah, proses perpanjangan, dan pemilik manfaat (beneficial ownership).

3. Penguatan pengawasan masyarakat sipil untuk memastikan izin yang keluar sesuai prosedur dan berpihak pada kepentingan publik.

4. Penegakan hukum tanpa pandang bulu, baik kepada pejabat publik maupun pihak swasta yang terlibat.

Sebagai peneliti hukum, saya menegaskan bahwa kasus ini adalah alarm keras bagi Kalimantan Timur dan Indonesia secara umum. Korupsi SDA bukan sekadar masalah hukum, tetapi menyangkut masa depan lingkungan hidup, kesejahteraan masyarakat lokal, dan keberlanjutan pembangunan.

Penahanan Dayang Donna oleh KPK harus dilihat sebagai momentum reformasi: dari praktik rente menuju tata kelola SDA yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Jika tidak ada perbaikan struktural, maka kasus-kasus serupa akan terus berulang, hanya berganti aktor, sementara rakyat tetap menjadi korban.(*)


*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp 



Berita Lainnya