Daerah

Desakan Warga Berbuah Manis, Disdikpora Janjikan Diskresi bagi Anak Ditolak SPMB

Muhammad Razil Fauzan — Kaltim Today 04 Juli 2025 18:32
Desakan Warga Berbuah Manis, Disdikpora Janjikan Diskresi bagi Anak Ditolak SPMB
Suasana pertemuan antara warga Kelurahan Nipah-Nipah, pihak sekolah, tokoh masyarakat, perwakilan kelurahan, serta jajaran Disdikpora PPU di ruang kelas SDN 014 Penajam, Jumat (4/7/2025). (Fauzan/Kaltimtoday)

Kaltimtoday.co, Penajam - Hujan desakan warga akhirnya menggugah langkah Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Penajam Paser Utara (PPU). Setelah sempat berputar-putar dalam pertemuan tanpa keputusan, instansi itu menyatakan akan mengupayakan solusi bagi delapan anak yang gagal masuk SDN 014 Penajam—meski tinggal persis di sekitar lingkungan sekolah.

Pernyataan itu disampaikan setelah pertemuan lanjutan digelar pada Jumat, (4/7/2025). Suasana sekolah yang semula lengang kembali dipenuhi warga. Kali ini jumlah mereka lebih banyak. Keresahan yang semula disampaikan satu-dua suara, kini menjadi tekanan kolektif. Masalah utamanya masih sama: hasil penerimaan siswa baru yang menyisakan keganjilan pada sisi logika zonasi.

Warga mendesak agar calon siswa yang tinggal di Nipah-nipah—lokasi yang sama dengan sekolah—bisa diterima. Isu ini sebenarnya bukan barang baru. Ketidakjelasan mekanisme pendaftaran tahun ini telah memicu ketegangan sejak sepekan terakhir.

“Pembahasan terkait prasarana sekolah kemudian terkait dengan bagaimana memberikan solusi terhadap siswa-siswa yang tidak diterima,” kata Kepala Disdikpora PPU, Andi Singkeru, usai pertemuan lanjutan.

Tak hanya perwakilan orang tua yang hadir, tapi juga tokoh masyarakat, ketua RT, pihak kelurahan, komite sekolah, dan unsur Disdikpora PPU. Namun hingga pertemuan pagi pukul 08.00 hingga menjelang tengah hari, belum ada keputusan final yang bisa dijadikan pegangan warga.

Siang harinya, rapat kembali digelar. Di pertemuan kedua itulah, menurut Andi, pihaknya mulai merumuskan langkah penyelesaian. Dari 11 pendaftar yang dinyatakan tidak lolos, sebanyak delapan siswa ternyata memenuhi syarat domisili namun kalah dalam sistem perankingan berdasarkan usia. 

“Warga menunggu tentu hasil putusan dari pimpinan. Inshallah akan menemukan solusi terbaik. Sebenarnya segala sesuatu ini kan ada solusi,” ujarnya.

“Artinya kan diskresi itu kebijakan yang pimpinan putuskan, kita tidak bisa membuat diskresi. Jadi diusahakan yang terbaik,” tambah Andi.

Menurutnya, usulan agar delapan anak tersebut bisa tetap diakomodasi akan dibawa ke Bupati PPU. Setelah itu, pihaknya akan meneruskan permasalahan ini ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, khususnya Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), guna meminta pertimbangan lebih lanjut.

“Kita tetap berupaya agar anak-anak usia wajib belajar ini bisa mendapatkan haknya untuk sekolah. Termasuk mendiskusikan hal ini ke pusat,” bebernya.

Andi juga menyinggung soal kendala yang dirasakan warga jika harus menyekolahkan anak ke lokasi lain. Mayoritas dari mereka khawatir tak sanggup mengantar jemput anak setiap hari karena keterbatasan kendaraan pribadi dan akses transportasi umum. Persoalan itu, menurut Andi, juga menjadi bagian dari evaluasi pihaknya. 

“Kalau menyangkut soal keterbatasan akses antar-jemput anak yang menyulitkan orang tua, kita akan mendiskusikan ke bupati terkait bis sekolah. Tapi harus melihat kemampuan daerah,” katanya.

Usulan pengadaan bis sekolah sebagai solusi transportasi memang belum konkret, namun mencerminkan pengakuan pemerintah atas kesenjangan logistik yang dihadapi warga di daerah pinggiran seperti Nipah-nipah.

Di sisi lain, Kepala SDN 014, Anik Winarni, juga menyatakan bahwa saat ini pihak sekolah tengah menyusun berita acara hasil pertemuan tersebut. 

Kepala SDN 014 Penajam, Anik Winarni, memberikan keterangan kepada wartawan usai pertemuan. (Fauzan/Kaltimtoday)

“Keputusan dibuat. Dari pihak dinas telah mencoba mengambil solusi dan kami sedang membuat berita acaranya,” katanya. 

“Daripada saya salah bicara, yang lebih pasti nanti yang bisa menyampaikan dari penentu kebijakan yaitu dinas,” lanjutnya. 

Anik merinci, dari 67 pendaftar, hanya 56 yang diterima melalui jalur zonasi berdasarkan domisili dan usia. Dari 11 yang ditolak, tiga di antaranya tidak memenuhi syarat domisili sesuai aturan zonasi. Sementara delapan lainnya memang masuk dalam radius zonasi, namun kalah dalam urutan usia.

“Kalau 56 yang sudah diterima sebelumnya itu sudah masuk jalur zonasi atau domisilinya sudah sesuai,” katanya. 

Penerapan kriteria usia sebagai faktor seleksi memang merujuk pada regulasi yang berlaku. Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Petunjuk Teknis Penerimaan Peserta Didik Baru, disebutkan bahwa dalam kondisi kuota penuh pada jalur zonasi, maka seleksi selanjutnya dilakukan berdasarkan usia calon peserta didik.

Aturan itu menjadi dasar sistem untuk menolak delapan anak yang sebenarnya tinggal persis di sekitar sekolah. Tapi bagi warga, penerapan itu tetap menimbulkan luka sosial. 

Warga beranggapan, sistem yang dirancang untuk keadilan berbasis jarak, justru memisahkan anak-anak dari sekolah di depan rumah mereka sendiri. Sekolah yang mereka pandang sebagai bagian dari kampung—bahkan berdiri di tanah yang dulunya diberikan oleh leluhur mereka.

Persoalan ini menyentuh lapisan terdalam dari sistem seleksi zonasi. Sebuah kebijakan yang dibuat untuk menjamin keadilan justru menciptakan paradoks di lapangan: anak yang tinggal di lingkungan sekolah bisa tersisih karena persoalan teknis administratif.

Warga berharap proses diskresi yang sedang dirancang Disdikpora bisa membuka jalan keluar. Namun selama belum ada keputusan dari bupati dan kementerian, delapan anak dari Kelurahan Nipah-nipah masih berada dalam ketidakpastian.

[RWT] 



Berita Lainnya