Bontang

Kisah Inspiratif Pendeta Yustinus, Rawat Penderita Gangguan Jiwa di Bontang

Fitriwahyuningsih — Kaltim Today 02 Mei 2023 17:04
Kisah Inspiratif Pendeta Yustinus, Rawat Penderita Gangguan Jiwa di Bontang
Pendeta Yustinus dan istrinya, Pina Arru' kala ditemui di kediamannya Jalan Damai, Gang Damai 5, Kelurahan Kanaan, Kecamatan Bontang Barat. (Fitri Wahyuningsih/Kaltimtoday.co)

Merawat orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) memang bukan perkara mudah, bahkan cukup menguras energi. Namun hal ini tak menyurutkan semangat Pendeta Yustinus merawat mereka dengan keikhlasan dan penuh kasih. Kendati tak mudah, semua ia jalani sebab baginya ini merupakan bentuk pelayanannya kepada Tuhan. 

Kaltimtoday.co, Bontang - Satu hari di awal 2001 lalu, Pendeta Yonatan Purlani berbincang dengan Yustinus muda, yang kala itu masih berusia 26 tahun. Si pendeta menawarkan Yustinus mengikuti pendidikan al kitab di Kalimantan Tengah, tepatnya di Sekolah Al Kitab Misi Gamaliel Jaar. 

Mendapat tawaran tersebut, Yustinus dengan mudah menolaknya. Sebagai anak muda yang baru saja merantau dari Mamuju ke Samarinda, baginya tawaran tersebut terlalu berat. Bukan saja karena jiwa mudanya masih sangat bergejolak, pun karena ia merasa bukanlah seorang yang religius. Jangankan ke gereja, membaca al kitab pun jarang. Singkatnya, kondisi kerohanian Yustinus muda masih dalam pergolakan, jatuh bangun, sehingga menginjakkan kaki di sekolah al kitab bagai sesuatu yang sulit dijangkau logika. 

Namun Pendeta Yonatan tak menyerah. Sekali ditolak, tapi keesokan harinya, hingga berhari-hari berikutnya tawaran masih disampaikan. Yustinus tetap pada pendiriannya, menolak. Dengan sopan Yustinus menolak, kendati dalam hati ia bertanya, mengapa Pendeta Yonatan bersikeras menawarkan tawaran itu kapada seorang pemuda penuh pergolakan seperti dirinya. ‘’Enggak om, saya belum bisa,’’ demikian kalimat penolakan Yustinus. Sebutan ‘’om’’ kepada Pendeta Yonatan merupakan bentuk panggilan penghormatan. 

Tawaran ke-14 disampaikan, Yustinus tetap menolak. Satu hari ketika terlelap di malam harı, ia mimpi melakukan khotbah di gereja dan orang-orang di sana serius mendengarkannya. Yustinus terbangun. Baginya mimpi itu sekadar bunga tidur, tak ada arti apapun. Namun dalam tidur-tidur selanjutnya, mimpi yang sama terulang. Sampai 3 kali. Ia terkesiap dan bingung lantaran tak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Maka keesokan harinya, Yustinus pergi ke gereja dan menyambangi Pendeta Yonatan. Menetapkan hati, ia mengaku siap menjalani pendidikan al kitab. 

‘’Tapi saya dikasih waktu 3 minggu untuk berpikir lagi, menetapkan hati,’’ kata Yustinus, yang kini justru menjadi pendeta di Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) Kasih Kristus Bontang. 

Saban hari ia bertanya, kapan ia diberangkatkan ke Kalteng. Namun jawaban belum diberikan. Pendeta Yonatan hanya mengatakan ‘’kamu sudah yakin, sudah mantap?’’. Yustinus merasa keputusannya untuk sekolah al kitab sudah bulat. Keputusan ini makin kuat usai ia mendengar pesan terakhir almarhum ayahnya. Kala itu, sebelum menghembuskan nafas terakhir, sang ayah berpesan bila salah seorang anaknya mendapat tawaran menjadi pendeta, majelis atau pengurus gereja, tawaran itu mesti diambil, jangan ditolak. 

Mantap dengan pilihannya, izin dari Pendeta Yonatan pun telah dikantongi, akhirnya Yustinus berangkat ke Kalteng jelang medio 2001. Si pendeta sendiri yang mengantarkannya ke terminal bus. Dalam perjalanan sunyi dan sendiri menuju sekolah al kitab itu, Yustinus tiba-tiba terisak. Tangisannya itu pecah tepat ketika bus telah menyebrang sungai di Kabupaten Paser. 

‘’Saya teringat pesan bapak,’’ katanya. 

Ketika di tahun kedua menjalani masa pendidikan di Sekolah Al Kitab Misi Gamaliel Jaar, tepatnya pada 2002, Yustinus kembali menghadapi tantangan. Bukan dari luar, tantangan ini justru berasal dari dirinya sendiri. Ia kesulitan menyerap ilmu yang disampaikan dosen-dosennya. Hal ini membuatnya memikirkan ulang, apakah menempuh pendidikan al kitab adalah pilihan tepat, apakah ini jalan yang ditetapkan Tuhan. Ia bertanya-tanya, apakah semua ini betul-betul panggilan jiwanya atau sekadar pelarian. 

Kegundahan ini Yustinus sampaikan pada seorang dosen bernama Apus. Mendengar kegelisahan itu, Apus menyarankan Yustinus menjalankan puasa dan berdoa selama 7 harı. Tujuannya, untuk meminta petunjuk dan peneguhan dari Tuhan. 

‘’Saya berdoa puasa, saya bertanya, kalau benar-benar Tuhan panggil, kenapa susah masuk pelajaran,’’ kata ayah 3 orang anak ini. 

Dalam doa puasa yang panjang itu, tepat di hari ke-7 Yustinus mengaku mendapat visi misi tentang pelayanan dari Tuhan. Ketika tenggelam dalam doa, Yustinus tiba-tiba merasa seperti berada di dekat kandang ayam. Di dalam kandang tersebut banyak orang terkerangkeng, tak berbusana, dan menjulurkan tangan kepada Yustinus. Orang-orang itu berteriak minta tolong dibebaskan.

Momen dramatis itu tak berhenti di situ. Tak lama, kata Yustinus, seorang malaikat Tuhan menghampirinya dan menyampaikan pesan. Bila Yustinus mau membebaskan orang-orang malang itu dari kerangkeng, ia berjanji akan memberikan segala pengetahuan yang ada di surga dan bumi. 

‘’Saya posisinya berdoa sembari tersungkur, karena sudah sangat lemas 7 hari puasa berdoa,’’ bebernya. 

Selang beberapa hari usai pengalaman spiritual itu, seorang ODGJ dibawa ke asrama tempat Yustinus tinggal. ODGJ itu cukup agresif, bahkan tak segan memukul siapapun yang dijumpainya. Termasuk memukul pendeta di asrama itu. 

Namun anehnya, ODGJ itu lebih tenang kala bertemu Yustinus, bahkan sangat nurut. Yustinus sempat menangis ketika pertama kali bertemu, ia merasa iba. Setelah tangisnya mereda, Yustinus menghampiri ODGJ tersebut, yang usianya masih sangat muda, awal 20-an. Yustinus memintanya bebersih diri, berpakaian rapi, dan makan teratur. Semua dilakukan tanpa perlawanan sedikit pun. 

Berbulan-bulan Yustinus merawat ODGJ itu, membantunya kembali pulih. Namun upaya baik Yustinus rupanya tak sepenuhnya mendapat dukungan. Beberapa dosen memberinya ultimatum: merawat ODGJ atau belajar al kitab. Ia diminta memilih. Namun pembimbingnya, Apus menegaskan, perawatan itu mesti dilanjutkan. Yustinus harus membantu sampai orang itu pulih dan bisa menjalani kehidupan seperti orang-orang pada umumnya. 

‘’Kamu tetap layani dia (ODGJ) sambil sekolah, jangan dengar kata mereka,’’ kata Yustinus, mengulang apa yang dikatakan Apus kala itu. 

Butuh 6 bulan bagi Yustinus untuk merawat ODGJ tersebut hingga pulih. Setelah masa perawatan rampung, orang itu kembali ke keluarganya, bahkan melanjutkan pendidikan ke universitas. Ini adalah pengalaman perdana Yustinus merawat ODGJ hingga pulih. Ketika menyaksikan kebahagiaan yang terpancar dari wajah orangtua saat menjemput anaknya pulih dari gangguan jiwa, Yustinus merasakan kedamaian. Ini semakin menguatkan tekatnya untuk terus menjalani misi Tuhan, memberikan pelayanan kapada siapapun. Terutama pada meraka yang mengalami gangguan kejiwaan.  

Membantu Sesama, Menjalankan Misi Tuhan

Yustinus lulus dari Sekolah Al Kitab Misi Gamaliel Jaar pada 2002. Usai merampungkan pendidikan, kini ia menyandang status baru: pendeta. Sejak hari itu, orang-orang mulai memanggilnya dengan sebutan Pendeta Yustinus. 

Lokasi penempatan perdana Pendeta Yustinus ialah di Tenggarong, Kutai Kartanegara. Ia menyambangi ibu kota kabupaten itu seorang diri pada 2003. 

Di lokasi penempatan ini, Pendeta Yustinus menjalankan tugasnya sebagaimana tugas seorang pendeta. Semisal memimpin peribadatan di gereja, melayani jemaat, dan memperhatikan warga jemaat. Pelayanan terhadap ODGJ pun terus dilanjutkan. 

Orang pertama yang dilayani Pendeta Yustinus di Tenggarong ialah seorang perempuan yang telah mengalami gangguan kejiwaan selama 3 tahun. Sebelumnya perempuan itu dirawat di sebuah rumah penampungan yang terletak di Samarinda. 

Pelayanan bagi mereka yang mengalami gangguan kejiwaan tidak hanya dilakukan di kamar rehabilitasi yang ada di gereja. Pendeta Yustinus juga melakukan pelayanan dengan menyambangi kediaman pasien ODGJ. Ini tergantung permintaan keluarga. 

Pernah satu waktu di tahun 2003 seorang jemaat gereja meminta Pedeta Yustinus mengobati keluarga mereka yang bermukim di Jawa Timur. Karena diminta jemaat, pun Pendeta Yustinus merasa raganya masih sanggup, maka permintaan itu ia layani. Namun sebelum berangkat melakukan pelayanan ke Jawa, terlebih dulu ia melakukan puasa 7 hari. 

‘’Saya datang langsung ke sana (Jawa) karena keluarga meminta. Selama saya masih bisa, pasti saya layani,’’ kenang pria kelahiran 1975 ini. 

Sekitar 2 tahun Pendeta Yustinus menjalani misi di Tenggarong. Pada 2004 ia kembali dipindahtugaskan ke Bontang. 

Pertama kali menginjakkan kaki di kota berjuluk Kota Taman ini, Pendeta Yustinus ditempatkan di tempat pelayanan sementara di Bukit Indah, Kelurahan Tanjung Laut Indah. Hanya sekitar 3 bulan di sana, ia pindah lagi ke Kelurahan Tanjung Laut. Hampir setahun ia melakukan pelayanan di sana. Lantas ia pindah lagi ke tempat pelayanan sementara di Kelurahan Berbas Tengah. 

Cukup panjang masa pelayanan Pendeta Yustinus di Berbas Tengah, sekitar 8 tahun, mulat 2006-2014. Panjangnya masa pelayanan tersebut juga membuat banyak pengalaman pernah dialami selama ia menjalankan tugas sebagai pelayan firman Tuhan.

Pria kelahiran 6 desember 1975 itu paling ingat ketika melayani seorang pria dengan gangguan jiwa yang kerap berkeliling tanpa berbusana di sekitar Berbas Tengah. Merasa kasihan, ia memanggil pria tersebut ke tempat pelayanan sementara. Mulanya Pendeta Yustinus mengajak pria itu berbincang. Mencoba memperlakukannya laiknya orang-orang pada umumnya. Setelah mulai tenang, pria itu diberi makan, dicukur rambutnya, lantas diberi pakaian layak dan tempat tinggal. 

Sekitar 4 hari pria itu dirawat Pendeta Yustinus. Kali ini pelayanan dibantu istrinya, Pina Arru' (46). Selama 4 hari itu, banyak kemajuan terlihat. Pria paruh baya tersebut mulai bisa mengatur laku, makan teratur, tidak melakukan tindakan aneh, bahkan ketika ingin keluar tempat pelayanan, ia meminta izin. 

Satu ketika beberapa orang menghampiri pria itu. Menggunakan bahasa daerah, seorang di antaranya berujar agar ia meninggalkan tempat pelayanan sementara. Menurutnya, tinggal dan dirawat oleh seseorang yang berbeda keyakinan adalah seuatu yang tidak bagus. Mereka takut pria itu nantinya bakal konversi agama. 

‘’Meraka takut ada kristenisasi. Padahal masalah keyakinan kan tidak bisa dipaksakan karena keyakinan itu datangnya dari diri sendiri, bukan karena dipaksa atau paksaan,’’ urai Pendeta Yustinus. 

Padahal, kata Pendeta Yustinus, selama melakukan pelayanan dirinya tak pernah meminta mereka yang dilayani untuk berpindah keyakinan. Semua dilakukan murni atas nama kemanusiaan dan baginya ini merupakan bentuk pelayanannya kepada Tuhan. Pelayanan ini diberikan kepada siapa pun yang membutuhkan. Tanpa memandang latar belakang suku, agama, status sosial, dan sebagainya. Bahkan orang-orang yang terlantar dan tak memiliki keluarga pun diterima dengan terbuka.

Bahkan dalam menjalankan pelayanan, ia tak pernah meminta imbalan barang sepeser pun. Semua gratis. Ketika ada orang yang menitipkan keluarganya dirawat Pendeta Yustinus, biasa ia hanya menyarankan mereka membantu kebutuhan dasar keluarganya. Seperti membelikan sabun, shampo, pasta gigi. Itu pun tak wajib. Umumnya, seluruh kebutuhan operasional selama pelayanan justru ditanggung kocek pribadi keluarga Pendeta Yustinus. Pun dengan bantuan beberapa jemaat gereja dan orang-orang baik yang turut bersimpati dengan pelayanan yang dijalankannya.

‘’Jujur kami tidak mau meminta apapun, semua gratis. Cuma kalau ada mau bantu, paling kami minta bantu kebutuhan dasar keluarga mereka saja,’’ ungkapnya. 

Persoalan operasional memang sering menjadi pertanyanyaan. Namun selama ini, kendati tak pernah meminta bayaran sepeser pun, tapi pelayanan terhadap orang dengan gangguan jiwa terus berjalan. Tak seorang pun dari mereka yang dirawat pernah kekurangan makan apalagi dipulangkan karena alasan pembiayaan. Menurut Pendeta Yustinus, karena ia menjalananan misi Tuhan, maka bantuan pertama yang ia harapkan tentu berasal dari Tuhan sendiri. Sebabnya ia tak pernah ragu apalagi takut pasien yang dirawatnya bakal terlantar. Karena baginya, pertolongan Tuhan datang dengan berbagai cara dan kerap kali tak terduga. 

‘’Saya pernah berpikir, takut tidak bisa merawat dan orang-orang ini terlantar. Namun kemudian Tuhan mengingatkan saya ‘ini tugasmu atau tugasku, jalankan saja,' maka saya tidak takut lagi,’’ jelasnya. 

Setelah 8 tahun melayani di Berbas Tengah, pada 2014 Pendeta Yustinus dan keluraga pindah ke Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) Kasih Kristus. Gereja umat kristen protestan itu terletak di Jalan Damai, Gang Damai 5, Kelurahan Kanaan, Kecamatan Bontang Barat.

Di tempat yang baru ini, Pendeta Yustinus mendapat tempat tinggal tepat di belakang gereja. Di kediaman tersebut, terdapat 3 kamar yang memang diperuntukkan bagi keluarganya. 

Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) Kasih Kristus tempat Pendeta Yustinus merawat ODGJ. (Fitri Wahyuningsih/Kaltimtoday.co)

Namun karena pasien yang dirawat kerap kali menumpuk, dua kamar yang sedianya diperuntukkan bagi anak-anaknya, justru digunakan untuk merawat pasien ODGJ. Sementara ia, istri, dan anak-anaknya terpaksa tidur di satu kamar yang sama. 

Inilah awal mula pemikiran untuk membuat kamar rehabilitasi khusus bagi pengidap gangguan jiwa yang dirawat. Namun niatan itu tak bisa langsung terealisasi. Pasalnya ia terhalang anggaran untuk melakukan pembangunan. 

Baru ketika memasuki 2020 niatan itu akhirnya terwujud. Sekitar 20 x 30 meter dari lahan parkir gereja dimanfaatkan untuk bangunan baru. Di bangunan baru tersebut, terdapat ruang pertemuan, dan dua kamar rehabilitasi. Masing-masing kamar rehabilitasi memiliki luas 3x5 meter yang di dalamnya sudah tersedia kamar mandi dan peralatan tidur. 

Kamar rehabilitasi pasien gangguan jiwa yang ada di lingkungan GSJA Kasih Kristus. (Fitri Wahyuningsih/Kaltimtoday.co)

‘’Kalau penutup pintu kamar itu dibantu sama orang tua pasien yang dulu anaknya dirawat di sini. Dia sengaja buatkan teralis biar anaknya tidak kabur,’’ bebernya. 

Bila dihitung sejak awal masuk Bontang pada 2004 hingga 2023, total sudah ada 17 orang sembuh usai menjalani pelayanan bersama Pendeta Yustinus. Saat ini tinggal 3 orang dirawat, kesemuanya adalah laki-laki. 

Dalam melakukan pelayanan ini, Pendeta Yustinus dibantu istrinya, Pina Arru’. Bahu-membahu keduanya melayani segala kebutuhan orang-orang yang dirawat. Semisal menyediakan makan 3 kali, menyedikan pakaian bersih, memberikan obat dan membawa ke faskes untuk melalukan cek kesehatan. Tak jarang Pendeta Yustinus dan istri sampai harus memandikan, mencukurkan rambut, dan memotongkan kuku ODGJ yang dirawat. 

‘’Kadang kalau ketemu yang agak ganas, pernah sesekali kami dipukul. Tapi yasudah kami paham kalau mereka lagi bermasalah jiwanya,’’ ungakpnya. 

Sementara guna membantu pasien untuk pulih, tak ada metode khusus yang dijalankan. Pendeta Yustinus sekadar mengajak orang-orang tersebut berbincang, mendoakan mereka dengan firman-firman Tuhan. Cara ini dilakukan lantaran menurutnya, sebagaian besar pengidap penyakit kejiwaan memiliki kekosongan rohani. Yang muslim jarang salat dan mengaji. Yang kristen jarang ke gereja dan memabca al kitab. Itulah hal pertama yang dilakukan pendeta 49 tahun ini. Membantu pasien memperbaiki kondisi rohaninya, mengingatkan mereka kembali kepada Tuhan-nya. 

‘’Jadi orang sudah baik dengan Tuhan, maka ia akan baik dengan dirinya sendiri,’’ ungkapnya. 

Bila kondisi kesehatan mental ODGJ tersebut kadung parah, metode kerap dikombinasi dengan bantuan medis. Pasien ODGJ diberikan obat penenang berdasarkan jadwal yang sudah ditetapkan dokter. Jadi, selain mendapat dukungan spiritual, juga dibantu dengan obat-obatan. 

Di hari-hari biasa, selain diajak ngobrol, berdoa bersama, dan mendengarkan firman-firman Tuhan menggunakan perangkat audio, Pendeta Yustinus pelan-pelan juga membiaskan pasien ODGJ untuk bertingkah laku laiknya orang-orang di luar sana. Semisal makan tidak terburu-buru, menggunakan sendok dengan benar, berbicara dengan sopan, izin ketika ingin melakukan sesuatu dan sebagainya. Pengajaran ini tentu dilakukan bertahap, dan disesuaikan dengan kondisi mental masing-masing penderita. 

Umumnya, penderita gangguan jiwa yang dirawat Pendeta Yustinus sudah bisa pulang ke rumah usai menjalani perawatan selama 1 hingga 3 bulan. Memang ada beberapa yang tinggal lebih lama. Misalnya saat ini, ada seorang pria yang sudah 8 bulan dirawat lantaran keluarga menolak ia pulang. Maka durasi masa perawatan bukan saja melihat kondisi mental mereka yang dirawat, pun sejauh mana penerimaan keluarga. 

‘’Yang dirawat di sini perkembangannya semua positif. Cuma ada yang keluarganya menerima, ada yang belum berani. Mungkin karena trauma dan sebagainya,’’ jelasnya. 

Walau perawatan dilakukan mandiri di lingkungan gereja, tapi kondisi kesehatan pasien pun rutin dilaporkan ke puskesmas dan rumah sakit teredekat. Kadang pasien tersebut dibawa langsung ke faskes untuk dicek, kadang hanya Pendeta Yustinus dan Pina Arru’ yang melaporkan ke dokter. Ini lagi-lagi bergantung kondisi mental pasien. 

‘’Beda-beda perlakuannya, tidak sama semua. Intinya juga dalam melayani ODGJ kami harus banyak sabar,’’ kata Pendeta Yustinus sembari tersenyum. 

Adapun, banyak faktor yang menyebabkan sesorang mengalami gangguan kejiwaan. Dari puluhan orang yang ditangani Pendeta Yustinus, menurutnya sebagian besar mengalami gangguan kejiwaan karena kondisi spiritual mereka bermasalah. Misalnya umat kristen tak pernah ke gereja dan membaca al kitab; atau seorang muslim yang tak pernah salat dan mengaji. Faktor lain ialah kecanduan narkotika dan tak kuat mengalami guncangan. Misal kecewa, depresi, tertekan atau bahkan diabaikan keluarga. 

Pendeta Yustinus ketika mendoakan seorang ODGJ. (ist)

Dalam kondisi seperti ini, hal pertama yang mestinya dilakukan bagi ODGJ ialah memberi mereka dukungan. Jangan membiarkan mereka merasa sendiri dan terabaikan. Pengidap ODGJ  mesti didukung untuk mendapat penanganan terbaik guna mengembalikan kondisi mentalnya. Bukannya dirisak dan dijauhi. Di sini, peran keluarga menjadi sangat vital. 

‘’Keluarga mesti menjadi faktor pendukung kesembuhan. Tidak sedikit orang yang mengalami gangguan karena hubungannya dengan keluarga tidak harmonis,’’ sebutnya.

Menurutnya ada banyak hal yang mendukung pemulihan pasien ODGJ. Dimulai dari perbaikan kondisi kerohanian, dukungan keluarga, teman, dan komunitas. Namun dari seluruh faktor pendukung tersebut, kata Pendeta Yustinus, paling besar tentu datang dari diri si penderita itu. Harus ada kemauan dari diri sendiri untuk pulih. 

"Banyak faktor pendukung kesembuhan, tapi 50 persennya berasal dari diri sendiri," katanya.

Pendeta Yustinus juga menekankan, pemerintah memainkan peran penting dalam penanganan pasien ODGJ. Semisal menyedikan fasilitas yang representatif guna menangani pasien ODGJ. 

"Kami berharap pemerintah bisa juga bangunkan tempat khusus penanganan ODGJ. Tempatnya harus layak karena penanganan mereka juga tidak biasa," tandasnya.

[RWT]

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Berita Lainnya