Opini
Membully, Tren Perusak Remaja
Penulis: Irma Ismail (Aktivis Muslimah Balikpapan)
BEBERAPA waktu yang lalu (Rabu, 21/8/2024), kembali terjadi kasus bullying di Kota Balikpapan, dengan korban seorang remaja kelas 7 SMP. Mirisnya, pelaku juga membuat status di WhatsApp dengan video berdurasi 13 detik dan caption “ala ala aja kesian,” yang kemudian viral di Instagram.
Akibat dari kejadian ini, korban harus menjalani perawatan di rumah sakit karena mengalami gegar otak. Lebih menyedihkan lagi, korban sering mendapatkan perlakuan buruk sejak duduk di bangku SD oleh pelaku yang sama. Padahal, rumah korban dan pelaku berdekatan. Karena kondisi korban dan seringnya mendapat bullying dari pelaku, keluarga korban akhirnya melaporkan tindakan tersebut ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Balikpapan.
Ini bukanlah kasus pertama yang terjadi di Balikpapan. Bahkan, tiap tahunnya kasus bullying mengalami peningkatan. Pada tahun 2022, jumlah kasus perundungan anak tercatat sebanyak 5 orang, dan di tahun 2023 meningkat menjadi 20 orang.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB), Heria Prisni, dalam sebuah acara Talkshow Pencegahan dan Penanganan Bullying di Balikpapan pada Sabtu (18/5/2024) menyatakan bahwa dari Januari 2024 hingga April 2024 terdapat sedikitnya 11 kasus perundungan yang dilaporkan ke DP3AKB. Banyak pengaduan melibatkan anak-anak yang masih berusia di bawah 18 tahun (seputarfakta.com, 19/5/2024).
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan bahwa ada sekitar 3.800 kasus perundungan di Indonesia sepanjang tahun 2023. Hampir separuh dari kasus tersebut terjadi di lembaga pendidikan, termasuk pondok pesantren.
The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) meminta pemerintah mengatasi maraknya kasus perundungan dengan mengedepankan kepentingan terbaik anak tanpa menghilangkan proses pembelajaran saat anak berhadapan dengan hukum. Meski pelaku berusia anak, hukuman harus tetap ditegakkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku untuk subjek hukum anak sehingga bisa memberikan efek jera (*Antara News*, 4-10-2023).
Mengurai Akar Masalah
Kasus bullying atau perundungan setiap tahunnya terus meningkat. Ini adalah perkara yang serius, meskipun pelakunya adalah anak di bawah umur atau remaja. Maka dari itu, harus dicari solusi yang benar, karena ini melibatkan remaja yang kelak akan menjadi penerus bangsa ini. Lantas, apa yang menjadi penyebab hal ini terus terjadi?
Padahal, akibat yang ditimbulkan dari bullying selain meninggalkan luka traumatik, juga bisa menyebabkan luka fisik bahkan cacat, hingga kematian. Sayangnya, bullying ini seolah menjadi tren di kalangan remaja, yang merasa hebat, puas, dan semakin eksis ketika berhasil membully. Tak jarang, pelaku kemudian mengunggah hasil "kejahatannya" ke media sosial, yang kemudian menjadi viral.
Tidak bisa dipungkiri bahwa keluarga dan lingkungan memiliki peran dalam kasus perundungan ini. Orang tua yang sibuk atau keluarga yang tidak harmonis sering kali tidak mampu menjalankan fungsinya dengan sempurna. Di samping itu, lingkungan masyarakat yang semakin individualistis serta akses informasi dari media sosial yang sangat mudah diakses membuat semua itu menjadi pupuk bagi berkembangnya perundungan ini.
Namun, semua ini bukanlah penyebab utama, melainkan dampak dari nilai kehidupan yang saat ini dibangun dengan sistem kehidupan sekuler. Sistem ini memisahkan urusan agama dari kehidupan, sehingga mencabut nilai-nilai moral dan agama, dan pada akhirnya melahirkan liberalisme yang mengagungkan kebebasan. Kebebasan bertingkah laku dan berpikir membuat agama hanya sebatas status saja.
Lantas, ada apa dengan institusi pendidikan kita sekarang? Mengapa semakin banyak masalah yang muncul di kalangan remaja? Ini adalah hal yang wajar terjadi karena sistem kehidupan yang dipakai saat ini memang menjauhkan agama dari kehidupan sehari-hari, sehingga menjauhkan solusi yang benar dari segala permasalahan yang terjadi.
Maka jelas bahwa penyebab mendasar perundungan adalah persoalan yang bersifat sistemik, yakni akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme yang memengaruhi seluruh aspek kehidupan, termasuk sistem pendidikannya.
Sistem pendidikan sekuler mencetak generasi yang rapuh dan kering akan nilai agama, yang bisa bebas berbuat apa saja. Generasi yang tak tahu tujuan hidupnya ditambah dengan aturan dan kebijakan penguasa yang sarat dengan liberalisme, membuat informasi masuk tanpa bisa disaring.
Oleh karena itu, semakin jelas bahwa sistem sekuler ini memang rusak dan merusak. Solusi yang ditawarkan pun malah menimbulkan permasalahan baru dan menggiring manusia untuk semakin jauh dari aturan agama.
Islam Solusi Permasalahan Bullying
Berbeda dengan sistem Islam (Khilafah) yang menjadikan akidah Islam sebagai dasar kehidupan dengan aturan rinci dan sempurna. Islam memberikan solusi atas seluruh problematika kehidupan manusia, termasuk bagaimana Islam memberikan aturan yang jelas terkait pendidikan dan pengasuhan anak oleh orang tua, negara, dan lingkungan masyarakat.
Islam menetapkan bahwa penjagaan anak dari bentuk kedzaliman dan hal yang merusak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi juga tanggung jawab masyarakat atau lingkungannya dan negara yang berperan dalam membentuk anak-anak yang berkepribadian Islam. Anak-anak yang kelak akan menjaga keberlangsungan negeri ini.
Hubungan antara orang tua, lingkungan, dan negara tentu memiliki perannya masing-masing. Orang tua mendidik dan memahamkan anak-anak untuk siap menerima perintah dan larangan Allah ketika masa baligh tiba. Selain itu, anak-anak juga harus menyadari bahwa setiap aktivitasnya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Ini semua bertujuan agar anak-anak bertakwa dan hanya takut kepada Allah. Namun, hal ini tidak cukup. Terwujudnya lingkungan kondusif di tengah masyarakat sangat penting bagi kehidupan anak.
Negara juga bertanggung jawab dalam menerapkan aturan yang jelas. Ada sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan, sehingga umat merasa aman, nyaman, dan terlindungi dari segala bentuk kejahatan, termasuk perundungan.
Islam sangat rinci dalam memberikan sanksi bagi pelaku kejahatan yang sudah mukalaf. Syarat mukalaf adalah berakal, baligh, dan mukhtar (melakukan perbuatan atas dasar pilihan sadar, bukan karena dipaksa). Anak di bawah umur yang melakukan perbuatan kriminal tidak dapat dijatuhi sanksi pidana Islam karena belum mukalaf.
Dalil bahwa anak di bawah umur dan orang gila tidak dapat dihukum berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Telah diangkat pena dari tiga golongan, yaitu orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia baligh, dan orang gila hingga ia berakal (waras).” (HR Abu Dawud).
Oleh karena itu, dalam pandangan syariat Islam, anak di bawah umur adalah anak yang belum baligh. Jika anak tersebut melakukan tindakan kriminal, dia tidak akan dihukum. Namun, harus ditelusuri apakah ada kelalaian dari walinya. Jika memang ada kelalaian, maka wali yang akan dijatuhi sanksi. Jika tidak, negara akan memberikan edukasi kepada wali dan anak tersebut.
Inilah saatnya kaum muslim mempelajari Islam secara menyeluruh agar semua permasalahan yang ada dapat terpecahkan, dan Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin. Hal ini hanya dapat terwujud dalam sebuah institusi negara, yaitu Daulah Khilafah. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- Yayasan Mitra Hijau Dorong Partisipasi Perempuan dalam Transformasi Ekonomi dan Transisi Energi Berkeadilan di Kaltim
- Dewan SDA Nasional Susun Strategi Pengelolaan Air Berkelanjutan untuk Pulau Kecil dan Terluar
- Gelar Festival Ibu Bumi Menggugat, Kader Hijau Muhammadiyah Bersama NGO Serukan Penolakan Ormas Keagamaan Terima Izin Usaha Pertambangan
- Sofyan Hasdam Pastikan Tapal Batas Kampung Sidrap Kembali Dibahas Usai Pelantikan Kepala Daerah
- Kepemimpinan Perempuan: Membangun Peradaban yang Berkeadilan