Headline
Pokja 30 dan LBH Samarinda Kritik Pemkot Soal Cara Penggusuran PKL Tepian Mahakam Dilakukan Tanpa Solusi
Kaltimtoday.co, Samarinda - Rencana penggusuran pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Tepian Mahakam pada 2 Oktober 2022 mengejutkan. PKL yang terbiasa mencari nafkahnya di kawasan tersebut mengaku bingung untuk mencari tempat baru.
Atas kebijakan penggusuran PKL itu, Koordinator FH Pokja 30, Buyung Marajo menyebut, pemkot harus menyadari bahwa PKL adalah orang yang tinggal di Samarinda dan kawasan tersebut jadi andalan mereka berdagang.
"Kalau untuk penertiban karena jalur hijau, RTH, atau ada aturan dan payung hukum yang mengikat, oke silakan. Tapi dicarikan juga solusinya. Sebab ini orang mencari penghidupan," kata Buyung.
Jika pemkot memutuskan untuk menggusur PKL di kawasan Tepian Mahakam, maka seharusnya juga dipikirkan untuk mencari tempat yang memadai bagi PKL berdagang lagi. Buyung menilai, menggusur kawasan itu bukanlah solusi yang baik, namun justru menimbulkan masalah lagi ke depan. Apalagi, tak ada yang menjamin penghidupan PKL jika mereka kehilangan mata pencahariannya.
"Ini (PKL berjualan) kan untuk cari makan. Jangan sampai ada perbedaan antara menghadapi PKL dan juru parkir. Tapi tak melakukan yang sama dengan yang merusak lingkungan. Apa itu? Ya tambang ilegal," lanjut Buyung.
Buyung menyebut, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRW) Samarinda sudah mengatur di mana tempat untuk industri, pemukiman, usaha, sampai untuk tambang berizin. Namun dirinya mempertanyakan, apakah sama tindakan untuk itu semua.
"Kalau mau sedikit balik ke belakang. Misalnya penggunaan wilayah resapan air, yang tidak boleh dibangun. Contohnya di Pergudangan Bukit Pinang. Itu kan jelas. Mereka tertib enggak di sana? Jadi kalau menegakkan aturan, ya semua harus ditegakkan," tambahnya lagi.
Ditegaskan Buyung, jika pemkot ada keinginan untuk menertibkan suatu kawasan dan memberikan hukuman, maka semua harus ditertibkan. Jangan beraninya dengan masyarakat kecil seperti PKL.
"Toh harus tegak juga dong dengan yang melanggar tata kota, RTH, yang melakukan tambang ilegal. Intinya, sikap tegas tapi harus adil dengan pelanggar yang lain," bebernya.
Menurut Buyung, jangan sampai adanya penggusuran PKL di Tepian Mahakam justru menimbulkan angka kriminalitas baru. Sebab niat para PKL hanya satu yakni mencari penghidupan dan mereka butuh tempat untuk mengisi perut mereka.
Sebuah kebijakan publik atau keputusan seperti penggusuran, sebut Buyung, juga harus diikuti dengan mitigasi pencegahan. Salah satunya dengan dicarikan tempat baru atau peluang-peluang yang ada.
"Kalau ditertibkan seperti itu, bagaimana rombong-rombong pedagang yang dibiayai CSR Bankaltimtara? Lalu bagaimana dengan tempat makan yang juga di pinggir Sungai Mahakam itu? Itu kan jelas melanggar RTH juga berarti," tegas Buyung.
Terpisah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda, Fathul Huda Wiyashadi menjelaskan, rencana pihaknya memberikan pendampingan hukum ke PKL Tepian Mahakam masih dalam proses. Namun belum ada obrolan lebih lanjut.
Dalam hal ini, Fathul menilai sikap Pemkot Samarinda tidak konsisten. Sebab sebelumnya, PKL sudah diizinkan untuk kembali berjualan di Tepian Mahakam. Dibantu dengan CSR Bankaltimtara dan jumlah PKL juga diperkecil dibanding sebelum pandemi.
"Yang jelas, pemkot ini enggak konsisten. Dulu kan jumlahnya (PKL) itu 100 lebih. Lalu pada masa Covid-19 tidak boleh berjualan, lalu dikumpulkan dan sisa 27 yang berjualan," jelas Fathul.
Fathul menyebut pemkot telah gagal dalam mengelola keberadaan PKL di Tepian Mahakam. Sehingga diputuskan melakukan penggusuran. Menurutnya, hal tersebut tak boleh dilakukan. Apalagi dengan alasan PKL tak bisa diatur, banyak preman, dan jukir liar.
"Pemerintah harus buktikan mana premanisme dan jukir liar, mana yang tidak bisa diatur. Kalau keamanan dan premanisme kan tugasnya polisi. Jangan main bubarkan saja," lanjutnya.
Alasan utama pemkot ingin menggusur PKL karena ingin menambah jumlah RTH. Sebab sejak dulu, ujar Fathul, pemkot tak pernah mencapai 30 persen RTH sesuai amanat undang-undang.
"Pemerintah ini sudah hantam buta. Tidak peduli lagi dengan kesulitan yang dihadapi masyarakat pasca pandemi dan kenaikan BBM. Tidak ada hati nurani sama sekali. Sekarang RTRW sedang proses revisi. Kenapa tidak diakomodir? Mengapa RTH-nya tidak disebar di luar Samarinda pusat kota. Masih banyak kok potensi RTH," tambah Fathul.
Dirinya menyesalkan PKL yang menjadi korban atas alasan melengkapi target RTH tersebut. Padahal, masih banyak masalah lain yang juga harus diperhatikan. Seperti banjir hingga tambang ilegal. Namun menurutnya, sikap pemkot masih belum jelas.
"Apakah dengan menggusur warga, itu sudah mendesak? Apakah akan berdampak pada pengurangan banjir kalau alasannya memang untuk RTH? Kan tidak," bebernya.
Apalagi, para PKL juga tidak diakomodasi tempat baru untuk berjualan. Sementara itu, pemkot malah meminta PKL untuk mencari sendiri tempat tersebut. Padahal, tak semua PKL mampu membayar sewa jika pindah ke tempat lain. Menurut Fathul, PKL bukan hal yang mendesak untuk diselesaikan oleh pemkot saat ini.
"Pemkot tidak usah menggusur PKL dulu. Jadi PKL ini ditata dan dikelola. Setelah itu, selesaikan masalah utama. Banjir dulu singkirkan. Caranya bagaiamana? Tutup lubang tambang ilegal itu," tandasnya.
[YMD | TOS]
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kaltimtoday.co. Mari bergabung di Grup Telegram "Kaltimtoday.co News Update", caranya klik link https://t.me/kaltimtodaydotco, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Related Posts
- Budaya Pengarsipan Masih Jadi Tantangan Besar di OPD
- Fondasi Pemerintahan yang Bersih Dimulai dari Arsip yang Tertata
- Etika Pengelolaan Arsip Sebagai Tanggung Jawab Penting Bagi Pegawai OPD
- GPMB Kaltim dan DPK Raih Penghargaan Literasi Terbaik Nasional
- Minim Sarana-Prasarana, Masih Jadi Tantangan Klasik Kearsipan di OPD Kaltim