Opini
Batasan Negara dan Penegakan Hukum
Oleh : Kana Kurnia, S.H., M.H
Secara geografis, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang letaknya sangat strategis, baik secara ekonomi maupun geopolitik. Gugusan kepulauan yang ada di Indonesia disatukan oleh laut yang terhampar luas dan beberapa di antaranya berbatasan langsung dengan beberapa negara tetangga, baik darat maupun laut. Tercatat sebanyak 92 pulau merupakan pulau-pulau terdepan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Filipina, Timor Leste, Papua New Guinea, dan Australia, dan beberapa di antaranya mempunyai beragam persoalan yang belum terselesaikan hingga saat ini.
Daerah perbatasan merupakan suatu halaman terdepan bagi suatu negara. Berbagai produk potensial Indonesia dapat diperdagangkan melalui perdagangan lintas batas ini. Karena itu, bukan hanya mengembangkan infrastruktur di daerah perbatasan, tapi juga harus mengembangkan karakter masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan tersebut dan juga mengelola konflik serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Salah satu daerah perbatasan yang masih memerlukan perhatian khusus oleh Pemerintah Indonesia adalah Pulau Sebatik yang terletak di perbatasan Indonesia dan Malaysia. Pulau Sebatik terdiri dari 5 kecamatan dan 19 desa yang akan siap menjadi DOB (Daerah Otonom Baru). Kecamatan Sebatik terdiri dari Desa Padaidi, Desa Sungai Manurung, Desa Tanjung Karang dan Desa Balansiku, Kecamatan Sebatik Barat terdiri dari Desa Setabu, Desa Binalawan, Desa Liang Bunyu dan Desa Bambangan, Kecamatan Sebatik Tengah terdiri dari Desa Sungai Limau, Desa Maspul, Desa Bukit Harapan dan Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Utara terdiri dari Desa Seberang, Desa Lapri dan Desa Pancang, sedangkan Kecamatan Sebatik Timur terdiri dari Desa Tanjung Harapan, Desa Sungai Nyamuk, Desa Bukit Aru Indah dan Desa Tanjung Aru.
Sebatik terbagi dua. Belahan utara seluas 187,23 km2 merupakan wilayah negara bagian Sabah, Malaysia, sedangkan belahan selatan dengan 246,61 km2 masuk ke wilayah Indonesia di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Dari luas ini 375,52 hektare di antaranya merupakan kawasan konservasi.
Kehidupan sehari-hari masyarakat di Pulau Sebatik sangat akrab dengan Kota Tawau karena hampir semua kebutuhan sehari-hari masyarakat Sebatik beli di Kota Tawau. Bagi masyarakat Sebatik, Walaupun secara administratif Kota Tawau berada di negara Malaysia tetapi Kota Tawau merupakan kota terdekat karena jarak tempuh antara Sebatik dan Tawau hanya 15–30 menit, tentu berbeda jauh jika mereka harus membeli kebutuhan sehari-hari ke Kabupaten Nunukan atau Kota Tarakan yang berjarak tempuh sekitar 1–1,5 jam. Kota Tawau menjadi magnet bagi masyarakat Sebatik tidak hanya karena jaraknya lebih dekat di bandingkan Kabupaten Nunukan namun juga masyarakat Tawau memiliki daya beli yang tinggi sehingga banyak masyarakat Sebatik datang ke Kota Tawau tidak hanya untuk membeli kebutuhan seharihari, melainkan juga menjual komoditi yang dihasilkan seperti buah-buahan, kelapa sawit, bumbu dapur dan lain-lain. Hal ini menunjukkan ketergantungan masyarakat Sebatik yang tinggi terhadap Kotak Tawau karena segala macam kebutuhan sehari-hari mudah didapatkan di Kota Tawau.
Dari hasil pengamatan, penulis menemukan hasil komoditi yang di hasilkan dari hasil perkebunan masyarakat Sebatik di 3 (tiga) Desa di Sebatik, 3 (tiga) Desa tersebut bertempat di Desa Ajikuning, Desa Seberang, dan Desa Sungai Pancang yang kemudian dalam hal ini tidak memiliki sarana dan prasana seperti layaknya untuk menunjang ekspor impor perdagangan lintas batas.
Hal demikian menimbulkan banyak barang Malaysia yang masuk ke Sebatik dari Kota Tawau namun tidak adanya pengawasan dan infrastruktur yang memadai atas sesuatu yang berhubungan dengan dengan lintas barang yang masuk atau keluar daerah Sebatik sehingga barang komoditi tersebut menjadi barang illegal dan berakibat kepada rendahnya penerimaan devisa negara dari sektor perdagangan. Permasalahan akan semakin kompleks mengingat bahwa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015–2019 terdapat 122 kabupaten di sebagian besar wilayah perbatasan tergolong wilayah tertinggal. Padahal kabupaten di wilayah perbatasan mempunyai potensi yang besar sebagai penopang perekonomian negara Indonesia.
Selanjutnya adalah bagaimana upaya hukum terhadap perdagangan illegal di Sebatik dan apa kendala hukum dalam penegakan terhadap illegal berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan?
Terdapat beberapa hal yang perlu dicermati jika kita menginjakkan kaki di Pulau Sebatik, misalnya Pulau Sebatik secara administratif terbagi atas dua wilayah dimana utara merupakan wilayah Malaysia dan selatan wilayah Indonesia. Hal lainnya terdapat pula rumah 3 yang terbagi dua yaitu dapur masuk ke wilayah Malaysia dan ruang tamu wilayah Indonesia. Selain itu tidak kalah menariknya adalah ketika melirik kondisi ekonomi.
Dari sisi ekonomi yaitu, mendominasinya produk impor dari Malaysia mengakibatkan rupiah menjadi terpinggirkan di negara sendiri karena pasar-pasar tradisional di Pulau Sebatik yang dibanjiri oleh produk-produk dari Malaysia memang seharusnya menggunakan ringgit sebagai alat tukar untuk mempertahankan keberlangsungan proses jual beli, agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya dengan mudah dan murah. Dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dijelaskan bahwa:
“Pemerintah melakukan pengawasan dan pelayanan kepabeanan dan cukai, imigrasi serta karantina di pos lintas batas keluar atau di pos lintas batas masuk dan di tempat atau di wilayah tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Rianto Adi dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Hukum menjelaskan bahwa teori konflik adalah situasi dimana masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus di antara elemen-elemennya. Setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Keteraturan yang terdapat di dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa yang mempunyai wewenang dan posisi.
Beberapa hal yang perlu dicermati dari Pasal 56 ayat (2) tersebut jika dianalisi menggunakan teori konflik, yakni pertama dijelaskan bahwa Pemerintah berkewajiban melakukan pengawasan dan pelayanan kepabeanan dan cukai di pos lintas batas keluar atau di pos lintas batas masuk, namun sebelum melakukan pengawasan dan pelayanan cukai terhadap masyarakat di Sebatik pemerintah setidaknya dapat memberikan kemudahan akses kebutuhan pokok bagi masyarakat Sebatik sehingga ketergantungan terhadap produk-produk Malaysia dapat dikurangi. Selain itu kondisi ekonomi yang sulit, peningkatan biaya hidup dan banyak barang impor Malaysia yang masuk ke Indonesia memaksa masyarakat untuk menggantungkan hidupnya pada negara tetangga karena sebagian besar kebutuhan pokok masyarakat Sebatik dipasok dari Malaysia.
Kedua, adanya undang-undang nomor 7 tahun 2014 tentang perdagangan tersebut belum cukup untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat perbatasan karena terbatasnya sarana dan prasarana untuk melakukan perdagangan lintas batas. Kebanyakan sarana dan prasarana yang digunakan oleh masyarakat Sebatik adalah hanya berupa pasar tradisional, sehingga transaksi perdagangan antara masyarakat Sebatik dengan masyarakat Tawau tidak terlindungi dan dianggap penyelundupan yang mana akan berdampak terhadap tidak maksimalnya penerimaan negara melalui bea dan cukai barang impor dari Malaysia. Kondisi itu dapat berdampak positif maupun negatif bagi masyarakat Sebatik. Pada satu sisi, aktivitas perdagangan lintas batas mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya jika dikelola secara maksimal. Namun di sisi lain maraknya aktivitas illegal dan potensi sumber daya alam yang belum dikelola secara optimal serta kurangnya ketersediaan infrastruktur menjadikan nilai ekonomis pada sektor ini belum teroptimalkan dengan baik baik. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia dituntut untuk menyediakan infrastruktur yang baik dalam hal perdagangan lintas batas untuk mengoptimalkan peneriman daerah Sebatik dan devisa negara.
Upaya hukum yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui undang-undang nomor 7 tahun 2014 terhadap perdagangan lintas batas belum terlaksana sepenuhnya, mengingat jika kedepannya hal seperti ini terus-terusan terjadi maka dapat dipastikan rasa nasionalisme masyarakat Sebatik dapat tergerus karena untuk hidup pun mereka bergantung terhadap produk impor dari Malaysia. Ketergantungan ekonomi masyarakat Sebatik pada dasarnya diakibatkan oleh kegagalan negara dalam mewujudkan keadilan sosial. Jika pemerintah mau memperhatikan sudah tentu pulau-pulau terdepan dan terluar ini mempunyai potensi yang sangat luar bisa, seperti sumber daya alam, dan perdagangan yang dapat meningkatkan devisa negara.
Pada sisi lain, perbatasan sering menjadi problem serius dalam hubungan antar negara. Salah satu masalah yang sering mengemuka dan menyita banyak perhatian sampai sekarang adalah masalah batas wilayah. Problem batas wilayah ini dapat berupa konflik tapal batas, penyelundupan, pelanggaran lintas batas (kasus TKI illegal), terorisme, illegal logging (pembalakan kayu secara liar), illegal fishing (penangkapan ikan secara liar), trafficking, dan masih banyak yang lain. Problem-problem tersebut biasanya beriringan dengan kesenjangan sosial ekonomi masyarakat. Kemiskinan dan ketertinggalan ekonomi seolah karakteristik dari masyarakat di perbatasan.
Kendala yang dialami oleh pemerintah dalam melakukan penegakan hukum terhadap perdagangan illegal disebabkan karena luas wilayah dan jumlah penduduk tidak sebanding dengan jumlah aparatur negara maupun pegawai yang ada disetiap kecamatan Sebatik. Jumlah aparatur negara maupun pegawai yang ada di kecamatan Sebatik masih belum memadai jika dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Di lima kecamatan, rata-rata jumlah aparatur negara maupun pegawai masih sedikit dan belum memadai dalam melakukan penegakan hukum terhadap perdagangan lintas batas di Sebatik yang kerap menimbulkan persoalan.
Di wilayah Sebatik terdapat beberapa unit kerja yang menangani sejumlah bidang, seperti pos marinir dan pos TNI AL yang bertugas menjaga pertahanan dan keamanan sepanjang wilayah perbatasan serta pos imigrasi, UPT Dishub, Posyandu serta Puskesmas. Hal yang perlu menjadi perhatian lebih adalah peningkatan pertahanan dan keamanan di wilayah Sebatik, terutama dalam hal penjagaan keamanan di lintas batas untuk menghindari semakin maraknya aktivitas pelanggaran hukum transnasional. Saat ini, penjagaan keamanan di wilayah perbatasan masih terkendala sejumlah persoalan, antara lain masih terbatasnya jumlah TNI serta sarana dan prasarana dalam mendukung perdagangan perbatasan sehingga perdagangan illegal yang marak terjadi dapat diatasi.
Penulis berpendapat bahwa keterbatasan kemampuan dan kekuatan aparatur keamanan perbatasan menyebaban lemahnya pencegahan, penangkalan dan pemberantasan aktivitas pelanggaran batas dan kejahatan yang terjadi di daerah perbatasan. Medan yang berat dan jauhnya kawasan perbatasan dari pusat-pusat pemerintahan serta pemukiman penduduk, memberikan peluang yang besar terjadinya border crimes seperti, Illegal logging atau fishing, penyelundupan senjata atau narkoba atau sembako serta perompakan. (*)
*) Opini penulis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co
Related Posts
- Kapan Batas Akhir Ganti Puasa Ramadhan? Berikut Hukum dan Ketentuannya
- Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres dalam Pemilu 2024
- Perjanjian Tanpa Materai Tidak Sah, Benarkah Demikian?
- SM Entertainment Ambil Tindakan Hukum Usai Sasaeng Fans Terobos Kamar Hotel Jaehyun NCT di Amerika
- Pemilihan Duta Pelajar Sadar Hukum Mahakam Ulu 2023: Pelajar-Pelajar Berprestasi dalam Mengedukasi Kesadaran Hukum