Opini

“Merdekakan” Saja Nadiem

Kaltim Today
29 Mei 2024 20:29
“Merdekakan” Saja Nadiem
Aksi demo mahasiswa Unmul menentang kenaikan UKT dan IPI.

Catatan Rizal Effendi

BANYAK yang gregetan dengan menteri yang satu ini. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim (40). Lahir di Singapura. Dulunya dikenal sebagai bos pendiri Gojek. Sukses. Masuk 150 orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan 100 juta dolar AS.

Nadiem sukanya dipanggil “Mas Menteri.” Maksudnya biar lebih akrab dan merakyat. Tapi sejumlah kebijakannya justru terbalik. Bikin kita kesal, karena itu ada yang mengusulkan “merdekakan” saja Mas Menteri. Alias dicopot.

Kata “Merdeka” jadi akrab dengan Nadiem. Setelah dilantik jadi menteri, 23 Oktober 2019, dia terkenal dengan konsep Merdeka Belajar. Suatu pendekatan yang dilakukan supaya siswa dan mahasiswa bisa memilih pelajaran yang diminati. Hal ini dilakukan supaya mereka bisa mengoptimalkan bakatnya dan bisa memberikan sumbangan yang paling baik dalam berkarya bagi bangsa.

Dengan konsep Merdeka Belajar itu, sepertinya Mas Menteri ingin “memerdekakan” atau menghapus sejumlah hal yang dianggapnya tidak pas lagi dengan situasi sekarang. Meski hal itu menimbulkan heboh dan polemik, yang kesannya memecah-belah bangsa.

Misalnya, hampir tiap tahun selalu terdengar isu bahwa Nadiem ingin menghapuskan pelajaran agama di sekolah. Tiap tahun juga dia membantah. “Isu tersebut tidak benar dan Kemendikbud tidak akan pernah menghapus mata pelajaran agama. Agama bukan hanya penting, tetapi juga esensial bagi pendidikan bangsa kita,” begitu tandasnya.

Kalau lihat penegasan Nadiem tentu kita percaya. Tapi munculnya isu ini tiap tahun tentu juga bukan kaleng-kaleng. Ada yang bilang penghapusan frasa “agama” sempat terlihat dalam dokumen draf Peta Jalan Pendidikan Tahun 2020-2035. Karena itu muncul penolakan keras.

Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Humas Kemendikbud, Hendarman kesannya setengah mengakui. Hanya dia bilang draf yang ada bukanlah dokumen final. Karena masih akan menjadi bahan pembahasan dengan Komisi X DPR RI serta 60 organisasi kemasyarakatan, perguruan tinggi, organisasi keagamaan, asosiasi pendidikan serta organisasi multilateral lainnya.

Belakangan Mas Menteri bikin heboh lagi. Kegiatan Pramuka juga mau dihapuskan. Lagi-lagi dia membantah. Dia mengatakan, Kementerian yang dipimpinnya tidak menghapus kegiatan Pramuka dari ekstrakurikuler (ekskul) di sekolah. Pramuka tetap kewajiban yang perlu diselenggarakan sekolah, akan tetapi tidak wajib diikuti oleh siswa.

“Mohon tidak lagi dibahas bahwa Pramuka dihapus atau dihilangkan. Peraturannya sangat jelas bahwa itu menjadi ekskul yang wajib diselenggarakan oleh sekolah,” kata Nadiem saat Raker dengan Komisi X DPR RI, 3 April lalu.

Menurut Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan  Asesmen Pendidikan (BSKAP), Anindito Aditomo, setiap sekolah hingga jenjang pendidikan menengah wajib menyediakan Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler dalam Kurikulum Merdeka.

Hanya saja sesuai dengan Permendikbudristek 12/2024, keikutsertaan murid dalam kegiatan ekskul termasuk Pramuka bersifat sukarela. Artinya boleh saja mereka tidak mengikuti kegiatan tersebut.

Tentu kebijakan ini menimbulkan reaksi. “Itu kebablasan, karena Pramuka merupakan paket komplet yang berperan penting dalam pembentukan karakter pelajar Pancasila,” kata Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda.

Ketua Kwarnas Pramuka Budi Waseso atau Buwas mensinyalir, penghapusan Pramuka sebagai ekskul wajib di sekolah merupakan upaya terselubung untuk melemahkan Indonesia di masa depan.

“Kami mencurigai adanya indikasi ke arah sana yang dilakukan secara halus dan tersistematis. Pimpinan Kwarda seluruh  Indonesia semuanya melihat hal yang sama,” kata Buwas setelah membuka Rakernas Pramuka 2024 di Jakarta, 25 April.

Salah satu hasil Rakernas adalah secara aklamasi  Pimpinan Pramuka se-Se-indonesiaIndonesia menolak Permendikbud No 12 Tahun 2024 dan mendesak Mendikbudristek segera mencabut kebijakan tersebut.

Sekjen Kwarnas Mayjen TNI (Purn) Bachtiar Utomo menambahkan, apa yang terjadi sekarang dapat disamakan dengan proxy war, yaitu suatu situasi di mana terjadi aktor-aktor tertentu yang berupaya memecah-belah bangsa secara tidak langsung namun pimpinan bangsa yang jeli dapat mendeteksi gejala tersebut.

Terbitnya Permendikbud No 12 seakan menjadi “kado buruk” yang diterima Buwas, setelah dia dilantik menjadi Ka Kwarnas masa bakti 2023-2028 oleh Presiden Jokowi, 5 April lalu.

HEBOH UKT LAGI

Tidak sampai sebulan, Mas Menteri bikin “aksi heboh merdeka” lagi. Dia mengeluarkan kebijakan yang memberi ruang kenaikan pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT). Akibatnya mahasiswa dan orang tuanya menjerit-jerit.

UKT semacam SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) di zaman dulu. Aturannya dikeluarkan sekitar 10 tahun lalu. Permendikbud No 55 Tahun 2013. UKT adalah Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dikurangi subsidi pemerintah.

Besaran UKT disesuaikan dengan kondisi pendapatan orang tua. Semakin besar penghasilan orang tua, semakin tinggi UKT-nya. Jadi semacam subsidi silang.  

Saya kira setelah diberi nama “Tunggal” tak ada lagi pungutan lain. Ternyata di kampus masih ada yang namanya Iuran Pengembangan Institusi (IPI). Sesuai namanya, IPI adalah biaya yang dikenakan kepada mahasiswa sebagai kontribusi untuk mengembangkan perguruan tinggi.

Nadiem baru saja mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Biaya Operasional Pendidikan Tinggi. Ditujukan kepada mahasiswa baru yang masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Atas dasar itu, Rektor PTN di berbagai kampus bisa menaikkan UKT selangit.

Gelombang protes atas kenaikan UKT langsung digaungkan oleh mahasiswa dari berbagai kampus. Mereka melayangkan protes lantaran kenaikan UKT yang tak masuk akal membebani mahasiswa dan para orang tua.

Para mahasiswa Unmul yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Universitas Mulawarman juga menggelar aksi. Mereka menolak penerapan IPI secara merata di kampusnya.

Sempat muncul wacana Student Loan. Pinjaman atau kredit untuk mahasiswa. Dari bank atau Lembaga keuangan lainnya. Pada  masa pemerintahan Presiden Soeharto sudah pernah ada.  Saya termasuk penerima Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) dari Bank BNI. Sempat ditagih setelah lulus karena belum lunas dibayar. Malu juga, he.

DPR mau tidak mau menerima sejumlah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang menyatakan protes dan keluhan dengan kenaikan UKT. Mereka minta wakil rakyat segera bereaksi dan memanggil Nadiem.

Di depan Komisi X,  Nadiem berkilah lagi. Dia bilang dengan gagahnya kenaikan UKT sesuai dengan asas keadilan dan inklusifitas. Adil yang mana? Tokoh oposan Said Didu dengan lantang menyebut Mas Menteri sebagai perusak bangsa. “Menteri ini betul-betul perusak negeri. UKT kok dibilang demi keadilan,” tandas Didu.

Menurutnya, tidak ada keadilan jika pendidikan tinggi mahal. Karena itu artinya hanya orang kaya yang bisa mengenyam pendidikan tinggi.

Cerita akhirnya Nadiem dipanggil Presiden Jokowi ke Istana Kepresidenan, Senin (27/5) lalu. Kenaikan UKT dibatalkan. Tinggal nasib Rektor dapat pekerjaan baru, karena diperintahkan mengembalikan kelebihan uang mahasiswa yang sudah telanjur membayar.

“Jadi untuk tahun ini tidak ada mahasiswa yang akan terdampak dengan kenaikan UKT,” katanya kepada awak media dengan wajah tanpa dosa. Nadiem memberi isyarat pihaknya akan melakukan evaluasi satu per satu semua permohonan perguruan tinggi. “Itu pun untuk tahun berikutnya.”

Nadiem lupa masa kerja Kabinet Indonesia Maju akan berakhir 23 Oktober 2024 nanti. Tahun depan belum tentu dia lagi jadi menterinya. Jadi UKT “sudah Merdeka.”(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kaltimtoday.co

Simak berita dan artikel Kaltim Today lainnya di Google News, dan ikuti terus berita terhangat kami via Whatsapp 



Berita Lainnya