Lipsus
IKN Hadir, Masyarakat Adat Tersingkir
Tempo dulu, Masyarakat Adat Suku Balik adalah pemilik sekaligus penjaga hutan di Penajam Paser Utara (PPU) Kalimantan Timur. Namun, ambisi pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) perlahan memisahkan mereka dari hutan adat, melumpuhkan kepiawaian, dan melunturkan adat dan kearifan lokal yang tersisa.
POHON-POHON berjejer rapi sepanjang jalan menuju sebuah rumah panggung berbahan kayu, yang siang itu basah akibat rinai hujan. Dari halaman rumah yang pintunya seperempat terbuka itu, terlihat sosok perempuan sedang memainkan selendang berwarna kuning.
Yati Dahlia, sang pemilik rumah menatap tajam kepada orang yang menyambangi kediamannya pada (7/10/2023) lalu. Meski begitu, tanpa sungkan dirinya berdiri seolah-olah menyambut seseorang yang ia sudah kenal lama.
“Ehh, silakan masuk pak,” sahutnya ketika awak Kaltimtoday.co menaiki tangga pendek di rumahnya.
Meski sinar matahari kala itu tidak menunjukkan rupanya, pancaran kehangatan muncul saat perempuan yang akrab disapa Dahlia itu mempersilahkan kami duduk di rumahnya. Ia bergegas pergi ke dapur untuk membuat segelas minuman hangat.
Sikap baik perempuan itu bukan sebatas formalitas, melainkan menggambarkan dirinya seorang memiliki adab serta budi pekerti. Iya, Dahlia warga suku Balik, ibu, nenek, serta leluhurnya sudah hidup berpuluh-puluh tahun di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim).
Meski Suku Balik kerap kali disamakan dengan Suku Paser (sub etnis Dayak) yang juga ada di PPU dan terkadang dijadikan standar untuk melihat corak kebudayaannya, tetapi masyarakat Suku Balik memiliki corak sendiri dan berbeda dengan suku lainnya, termasuk dengan Suku Dayak.
Dahlia adalah salah satu anggota suku Balik yang masih menjaga budaya lama mereka, yaitu tari Ronggeng Balik. Ia adalah seorang penari dan pelatih tari Ronggeng berbakat yang sedang berjuang keras mempertahankan tarian tradisi yang hampir terlupakan ini.
Pada satu kesempatan di sebuah acara di Desa Bukit Raya, media ini berkesempatan menyaksikan secara langsung penampilan lima orang para penari yang dididik oleh Dahlia di Sanggar Tari Uwat Bolum. Kala itu, para penari menggunakan baju bercorak merah, hitam, dan menggunakan selendang berwarna kuning. Para penari yang masih berusia belia itu lihai menunjukkan ragam gerak indah sesuai lagu yang disajikan pemusik lewat lantunan lagu yang didominasi gendang dan gambus.
Secara garis besar, gerak tari Ronggeng Balik menggunakan langkah Jepen atau disebut juga dengan melenggang. Gerakan tari didominasi langkah-langkah kaki dan ayunan tubuh, geraknya memiliki berirama mengikuti lagu yang dilakukan secara berulang-ulang. Tari Ronggeng Balik merupakan tarian khas yang disajikan dengan gerakan sederhana sehingga semua pengunjung bisa menari sesuai dengan keinginan dan keterampilan penari tanpa pola tari yang baku.
Teknik tari tersebut didominasi langkah-langkah kaki, gerakan badan disertai ayunan atau lenggang. Penekanan gerak pada pinggul muncul secara spontanitas dari gerakan para penari, gerak ini tidaklah menonjolkan gerakan sensualitas melainkan ekspresi dari tarian itu sendiri.
Berlanjut, dengan dialek khusus khas adat Balik, Dahlia menceritakan secara singkat kisah asal muasal Ronggeng Balik. "Kalau sejarahnya Ronggeng Balik ini dari ritual, jadi untuk pengobatan saat ada yang sakit di kampung kami," ujarnya.
Salah satu aspek yang membuat Ronggeng Balik begitu istimewa adalah instrumen yang digunakan.
"Kalau menurut kami, instrumen Ronggeng Balik yang digunakan berbeda dari ronggeng yang lain. Karena yang lebih tau pemain musik khusus kita, mungkin orang-orang awam tidak tahu. Kalau dari segi musik itu ada makna yang berbeda," tuturnya.
Pelaksanaan Ronggeng Balik tidak sembarangan karena melibatkan ‘penduduk’ sesaji yang berisi beras, kelapa, dan jarum dan benang lalu diberikan para penari muda kepada guru tari yang berperan penting dalam pembelajaran Ronggeng Balik. Selanjutnya, ritual mandi selama tiga Jumat, para penari menggunakan air kembang juga menjadi bagian penting dalam prosesi ini.
Tradisi Ronggeng Balik tidak hanya digunakan sebagai pengobatan, tetapi juga untuk merayakan hasil panen dan pertukaran budaya.
Dahlia menjelaskan, "kami saat proses pemanenan (hasil kebun) juga ada proses balas pantun menggunakan bahasa Balik." Ini adalah upaya untuk mempertahankan budaya dan mempererat hubungan antara warga.
Sentuhan lain sebelum melaksanakan prosesi ini terdapat pada peran ‘mulung’ atau sesepuh yang mengatur ‘Sempetung Jatus’ sesaji yang berisi 100 macam pohon kayu yang dipakai dalam ritual tersebut. Uniknya, tumbuhan tersebut harus berasal dari hutan adat dan itu tidak lengkap, tari Ronggeng tidak dapat dilaksanakan.
Kendati memiliki nilai budaya yang kuat, Ronggeng Balik semakin dilupakan masyarakatnya sendiri. Dahlia mengatakan, saat ini hanya segelintir orang dari suku Balik Balik yang memahami secara baik Ronggeng Balik.
“Mungkin cara berpikir mereka yang hanya fokus bertahan hidup membutuhkan tanah atau hutan dan mereka fokus dengan itu,” tambahnya.
Dahlia dan Masyarakat Adat Balik menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan Ronggeng Balik. Pemerintah juga dinilai tidak memberikan perhatian serius. Dia menjelaskan dengan nada sedikit melengking, pemerintah seakan acuh atas proposal yang diajukannya untuk mengembangkan adat-istiadat suku Balik.
“Beberapa bulan ini, pemerintah ada respons, namun hanya ada sahutan-sahutan pembicaraan tapi tidak ada bukti," tegasnya.
Dahlia Sejak tahun 2003, ia telah mewarisi tari Ronggeng dari ‘Julak’ sebutan untuk kakak dari sang ibu. Dahlia adalah contoh hidup dari perjuangan yang tak kenal lelah dalam menjaga warisan budaya nenek moyangnya.
“Caranya untuk bertahan di IKN adalah dengan seni budaya kami, yang mesti kita pertahankan untuk membuktikan kehadiran kami ini ada,” ucapnya dengan lantang dan sedikit kesal.
Beberapa bulan belakangan, Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) berjanji akan memberikan bantuan alat musik bagi sanggar tari Ronggeng Balik yang didirikan Dahlia sejak 2014. Tetapi itu semua hanya janji kosong.
Saat Dahlia mulai menggeluti tari ronggeng pada tahun 2003, masih banyak orang Balik yang menarikannya. Namun, ketika IKN akan dibangun dan hutan yang berisi tanaman adat diambil dan dipindahkan ke lokasi baru, tradisi ini menjadi semakin terancam.
Walaupun sudah ada mediasi untuk menyuarakan keprihatinan ini, respons yang jelas dari pihak OIKN belum terlihat. OIKN harus menyadari betapa pentingnya peran hutan adat dalam kehidupan Masyarakat Adat suku Balik.
Piranti untuk seni ronggeng, seperti rotan berasal dari hutan adat. Begitu pula dengan pengobatan tradisional sangat bergantung pada sumber daya hutan dan tidak tersedia di apotek modern.
Meminta masyarakat adat mempertahankan budayanya sementara mengubah ruang hidup mereka secara drastis adalah sesuatu yang tidak realistis. “Ketika hutan yang berisi tanaman adat diambil dan dipindah ke tempat yang baru, itu sangat mengancam hilangnya tradisi ini,” ucapnya lantang.
Ada dua tradisi budaya yang tak ternilai dari suku Balik, yaitu tari ronggeng dan tradisi bersoyong. Dua tradisi ini adalah kebanggaan Masyarakat Adat Balik.
Lahan mereka telah dimasukkan dalam Kawasan Inti Pemerintahan Pusat (KIPP) IKN yang akan mengakibatkan penggusuran. Dengan hilangnya lahan adat mereka, Masyarakat Adat Balik merasa kehilangan tempat untuk mengekspresikan identitas budaya mereka.
“Lahan kami sudah masuk KIPP yang bakal digusur, tidak ada lagi tempat untuk menggambarkan jati diri kami. Bahkan tidak akan ada yang tau nanti ke depannya bahwa ada loh masyarakat adat yang tinggal di IKN,” langgamnya sedih.
Namun, ada sinar harapan di tengah kegelapan. Anak muda di komunitas ini semakin antusias terhadap seni tari ronggeng. Dalam setahun terakhir, beberapa kelompok tari ronggeng muda telah terbentuk. Hal ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya pelestarian budaya sedang tumbuh di kalangan generasi muda.
Dahlia yang telah berjuang untuk mempertahankan budaya dan tradisi ini merasa bangga melihat hasil dari perjuangan mereka. Saat dia memulai sanggar tari pada tahun 2014, hanya ada dua sanggar tari tradisional ronggeng di Kecamatan Sepaku. Sekarang, sudah ada enam sanggar tari dan hampir setiap desa memiliki kelompok tari mereka sendiri.
Pakaian yang mereka kenakan saat menari ronggeng memiliki makna mendalam. Warna-warna seperti kuning, merah, hitam, dan putih dipilih karena memiliki simbolisme dari dewa dan dewi leluhur mereka. Kalau menurut kami, misalnya kuning itu warna untuk dewa di air. Kuning warna paling dasar, kemudian diikuti merah, hitam dan warna yang paling tertinggi kastanya adalah putih.
Tari ronggeng juga memiliki sisi spiritual. Beberapa penari masih sering mengalami kesurupan sebelum pertunjukan. Ini dimulai dengan sebuah upacara 'tambak', yang berisi ketan putih, bunga, dan lilin, yang diiringi oleh doa untuk menjaga penari dari gangguan leluhur saat mereka tampil. Meskipun awalnya tari ronggeng digunakan dalam ritual pengobatan, sekarang praktik ini semakin jarang.
“Dahulu, ronggeng itu memang benar-benar hanya untuk ritual tertentu. Meski begitu, tari ronggeng untuk ritual pengobatan sudah mulai jarang dilakukan,” ucapnya sambil terbata-bata.
Seiring dengan gerakan tari, para penari juga bernyanyi dan berbalas pantun. Mereka menjaga harga diri dan martabat budaya mereka, bukan mengandalkan aspek-aspek sensual dalam penampilan mereka. Ini adalah cara mereka menjaga budaya mereka tetap hidup dan menarik bagi penonton mereka.
Sementara tari ronggeng semakin populer di antara generasi muda, komunitas ini berharap agar budaya mereka tidak hanya dihargai secara estetis, tetapi juga dipahami secara mendalam. Mereka ingin berbagi kekayaan budaya mereka dengan dunia dan meneruskan warisan yang telah mereka jaga selama berabad-abad.
Tradisi Bersoyong
Seorang Kepala Adat Balik di Kelurahan Pemaluan, Jubain, berbicara dengan penuh semangat tentang salah satu tradisi lampau yang masih hidup dalam budaya mereka, yaitu ritual bersoyong.
Ia menjelaskan ritual ini digunakan oleh adat Balik untuk berbagai tujuan, mulai dari membuka lahan pertanian hingga memohon keselamatan dan hasil panen yang baik.
"Ritual Bersoyong adalah cara kami untuk berbicara dengan penguasa hutan," kata Jubain.
Tujuannya untuk meminta izin kepada leluhur dan dewa-dewa mereka sebelum memulai aktivitas berladang atau berkebun. Ritual Bersoyong dimulai sore hari dengan membersihkan lahan sebagai tahap awal. Ritual ini melibatkan pembakaran kayu hutan khas yang disebut ‘krembulu’ yang memiliki aroma mirip kemenyan dan memiliki makna penting dalam ritual ini untuk mengundang para leluhur hadir.
Persiapan ritual ini melibatkan memilih hari baik, memantau lokasi yang akan digunakan, dan memastikan lahan tersebut memenuhi syarat untuk berladang. Namun, ada juga pantangan yang harus dihindari, seperti lokasi yang tidak boleh ditanami beberapa jenis pohon tertentu seperti pohon krembulu.
“Istilahnya untuk tabe-tabe (permisi) sama penguasa hutan,” cerita pria paruh baya itu.
Namun, bersoyong juga digunakan untuk keperluan lain, seperti proses melahirkan. Tiga hari sebelum persalinan, mereka membuat keranjang dari daun kelapa yang diisi dengan pisang, rokok, dan uan dan dihanyutkan di sungai.
Semua bahan untuk ritual bersoyong diambil dari hutan adat. Ritual bersoyong untuk kelahiran harus dilakukan oleh seorang bidan dari komunitas adat harus. Sedangkan untuk pembukaan lahan perkebunan dilakukan oleh pemilik lahan.
Dalam ritual ini, ada doa-doa pengiring yang bervariasi tergantung pada jenis ritual yang dilaksanakan. Doa-doa diucapkan dalam bahasa Indonesia, Arab, dan lokal adat Balik.
Jubain merasa prihatin generasi muda suku Balik yang tidak minat lagi terhadap bersoyong. Dia menyadari perbedaan generasi menyebabkan anak-anak muda kurang memperhatikan tradisi ini. Padahal mereka punya peran penting dalam melestarikan warisan budaya ini.
Dia juga merasa cemas tentang dampak dari pembangunan IKN Nusantara. Dengan banyaknya pendatang yang akan tinggal di wilayah ini, budaya dan kearifan lokal mereka bisa terkikis dan hilang. Jubain berharap pemerintah membantu merawat pemukiman adat mereka dan memberikan dukungan dalam pendidikan dan kesehatan.
“Kami sangat takut, apalagi kehidupan orang sini hanya bertani dan kadang pulang sore, sedangkan orang sana (pendatang) skill-nya di atas rata-rata,” ungkapnya.
“Mau kami, pemerintah perlu menata pemukiman adat kami, orang-orang kami dibina. Karena menurut kami yang penting hanya pendidikan dan kesehatan,” lanjutnya.
Pemangku adat Balik di Desa Pemaluan, Asmin, juga berharap pola hidup masyarakat adat tidak akan berubah drastis dengan kedatangan IKN. Dia mengatakan mereka akan tetap menjalankan tradisi mereka meskipun ada perubahan besar dalam wilayah mereka.
Dia juga menyoroti pentingnya bersoyong besar atau bersoyong besimong yang belum pernah diadakan di lingkar adat Balik. Sedangkan di Paser Penajam dan Grogot sudah dilakukan.
“Harapan kami yang terdekat dan terkena dampak adalah kamilah yang bersoyong besimong di titik nol IKN Nusantara terlebih dahulu.”
Ritual Bersoyong adalah contoh konkret bagaimana masyarakat adat menjaga hubungan dengan alam dan leluhur mereka.
Data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) sebuah lembaga yang melakukan pemetaan wilayah-wilayah adat di Indonesia mencatat, lanskap Benuo Paser Balik Pemaluan (sebutan untuk wilayah adat Balik di Pemaluan) terdiri dari dataran, pesisir, dan bahari dengan luas 28.875 hektare. Sedangkan penduduknya mencapai 7.431 jiwa.
Pada tahun 1969, PT Weyerhaeuser masuk ke tanah adat ini, diikuti oleh PT Sita (1968), PT ITCI (1969), PT IHM (1976), dan PT. Agro Indo Mas (2007). Masuknya perusahaan-perusahaan ini tak hanya mengubah panorama fisik wilayah adat, tetapi juga mempengaruhi struktur sosial. Dulu, luas ladang dan hutan dikelola bersama sebagai milik komunal masyarakat adat. Namun, nilai jual tanah memicu pergeseran paradigma, mengubah ladang menjadi hak individu.
Kini, ladang komunal masih tersisa dan bekas ladang yang telah beralih kepemilikan menjadi simbol perubahan. Di balik gemerlap industri, masyarakat adat tereduksi menjadi sekadar buruh harian lepas di perusahaan-perusahaan yang menyemut di tanah adat mereka.
Menyusul kemajuan zaman, megaproyek seperti Pembangunan IKN Nusantara turut menorehkan luka pada suku Balik Pemaluan. Wilayah kelola yang semula luas semakin menyusut, menggiring mereka ke pinggiran sebagai saksi bisu pembangunan.
Perubahan hak kepemilikan tanah dari komunal ke individu menciptakan dinamika baru dalam kehidupan masyarakat adat. Ladang yang dahulu menjadi ruang bersama, kini menjadi warisan individual. Meski begitu, beberapa lahan masih mempertahankan sifat komunal, menjadi penanda bahwa tradisi tidak selalu tunduk pada arus waktu.
Ancaman dan Dampak Pembangunan IKN
Sosiolog dan pengajar Prodi Pembangunan Sosial Universitas Mulawarman, Sri Murlianti, yang juga mendalami social safeguard dalam pembangunan berbasis lahan; dan mitigasi sosial masyarakat adat dalam pembangunan berbasis lahan menganggap dalam pembangunan IKN, ada suara yang seringkali terabaikan, suara Masyarakat Adat Balik. Mereka telah hidup di wilayah Kalimantan Timur selama berabad-abad, namun sering kali dianggap tak ada dan bahkan diabaikan.
“Dari awal itu menurut saya, (OIKN) tidak ada niat untuk benar-benar mengurusi masyarakat adat yang ada di sana dab untuk benar-benar mencari tahu dan memastikan apakah ada masyarakat adat di sana apa atau tidak, menurut saya kan memang tidak dilakukan,” tegas perempuan tersebut.
Pada tahun 2020, ketika patok-patok pembangunan mulai dipasang, masyarakat sipil Kalimantan Timur telah memprotes keras. Mereka mempertanyakan dasar rencana, apakah ada kajian yang mendukungnya, dan apa dampaknya terhadap wilayah yang selama ini menjadi tempat hidup mereka. Meskipun ada banyak klaim tentang kajian yang sudah ada, mereka merasa bukti konkret tidak pernah disampaikan.
Pada tahun 2023, beberapa kelompok masyarakat sipil Kalimantan Timur berhasil bertemu dengan pihak pengembang IKN. Mereka sekali lagi mempertanyakan dasar rencana pembangunan ini dan pihak pengembang hanya bisa merujuk pada kajian yang dilakukan oleh berbagai akademisi. Namun ketika diminta memberikan salinan kajian tersebut, mereka gagal memenuhinya. Masyarakat Adat Balik merasa pemerintah tidak memiliki niat serius untuk memahami dan melibatkan mereka dalam proses ini
“Intinya sebenarnya mau apa, karena kalau kita mau menggunakan etik internasional saja sebenarnya kan begitu ada indikasi di situ ada masyarakat adat kan harusnya segera enclave gitu ya harusnya segera diajak bicara karena kan di situ kan ada banyak-banyak sekali sebenarnya prosedur etik internasional yang harus dilalui ya Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) (hak masyarakat adat untuk mengambil keputusan yang tepat mengenai hal-hal yang mempengaruhi masyarakat, tradisi, dan cara hidupnya),” ujarnya.
“Kemudian indigenous people mitigation, konsultasi-konsultasi mendalam tanpa paksaan. Kan kalau bahasa normatifnya gitu kan itu semua kan enggak dilakukan sebenarnya,” tambahnya.
Kesalahan terbesar yang ditemukan oleh JATAM, katanya, persetujuan manipulatif dalam proyek pembangunan waduk Sepaku. Mereka menemukan meskipun telah ada upaya untuk berkonsultasi dengan Masyarakat Adat Balik, kesepakatan sukarela tidak pernah tercapai. Alih-alih, hadir di pertemuan yang dianggap sebagai konsultasi, masyarakat adat menemukan mereka dihadapkan dengan perubahan istilah dalam sebuah kop yang menunjukkan persetujuan warga. Ini dianggap tidak etis, terutama jika melibatkan masyarakat adat yang telah lama terpinggirkan dalam perjalanan sejarah.
Masyarakat Adat Balik merasa khawatir pembangunan IKN Nusantara akan menyebabkan, budaya dan kearifan lokal mereka sirna. Mereka menginginkan perlindungan dan perhatian dari pemerintah dalam mempertahankan warisan budaya mereka.
Mereka berharap pemerintah akan melibatkan mereka dalam pembangunan wilayah mereka. Pendidikan dan kesehatan juga menjadi fokus penting dalam perjuangan mereka untuk hidup secara damai dan berdampingan dengan proyek IKN Nusantara.
Ini adalah cerita perjuangan Masyarakat Adat Balik yang berjuang untuk diakui, didengarkan, dan dihormati dalam proses pembangunan yang besar dan kompleks. Suara mereka adalah pengingat penting akan hak asasi manusia dan hak masyarakat adat, dan merupakan tantangan bagi pemerintah untuk memperlakukan semua warga dengan adil dan setara dalam proses pembangunan yang melibatkan banyak pihak.
Awalnya, saat pengumuman pembangunan IKN Nusantara, Masyarakat Adat Balik merasa gembira. Mereka berharap bisa menjadi tetangga ibu kota baru yang bisa membawa perubahan positif dalam hidup mereka.
Namun apa yang terjadi selanjutnya sungguh mengejutkan. Pertama, perubahan lokasi titik nol proyek yang awalnya berjarak 25 kilometer dari pemukiman mereka. Tanpa pemberitahuan, titik nol dipindah menjadi hanya sekitar 1 kilometer dari pemukiman mereka.
Selain itu, tanah-tanah penduduk mulai dipatok tanpa pemberitahuan atau persetujuan mereka. Suku Balik merasa ini merupakan upaya untuk memaksa mereka agar setuju dengan rencana pembangunan IKN.
“Itu aja sudah ada banyak sekali ancaman terang-terangan dari banyak pihak ke teman-teman Balik yang mencoba mempertahankan wilayahnya,” katanya.
Ketika beberapa anggota masyarakat adat mencoba melawan atau menghalangi proyek, mereka dihadapi dengan ancaman terbuka. Pihak-pihak tertentu juga mencoba untuk membujuk sesama anggota masyarakat adat agar menyerah atau mendukung proyek ini. Aparat setempat yang seharusnya melindungi mereka malah menjadi ancaman.
Proyek IKN juga membuat kehidupan sehari-hari Masyarakat Adat Balik menjadi berubah. Awalnya, banyak dari mereka bekerja di proyek, tetapi diperlakukan secara tidak manusiawi, gaji tidak layak, dan beban kerja yang berat. Akhirnya, mereka lebih memilih bekerja di kebun-kebun sawit milik penduduk setempat.
Selain itu, dampak lingkungan juga menjadi masalah serius. Bendungan yang dibangun dalam proyek ini mengubah aliran Sungai Sepaku, sehingga airnya menjadi keruh dan tidak layak digunakan lagi oleh warga. Akibatnya, Masyarakat Adat Balik bergantung pada sumur bor yang airnya juga keruh dan tidak layak. Beberapa orang yang mampu telah membuat sumur bor dalam dengan kedalaman 45 meter, sementara yang lain harus puas dengan sumur bor dangkal yang airnya keruh.
Kisah Masyarakat Adat Balik adalah cerminan dari kompleksitas pembangunan proyek besar seperti IKN Nusantara. Di satu sisi, proyek ini diharapkan membawa perubahan positif, tetapi di sisi lain, dampaknya terhadap masyarakat lokal sering kali tidak diantisipasi dengan baik.
“Tuduhannya itu kan karena merusak lahan padahal kan tidak ada sejarahnya orang adat itu membakar lahan sampai merusak hutan, padahal yang merusak saja yang pakai alat-alat berat yang sekali buka lahan ratusan hektare,’ ucapnya lantang.
Sebelumnya, nilai-nilai budaya mereka sangat erat terkait dengan alam. Mereka meyakini alam adalah entitas spiritual yang perlu dihormati dan dimintai izin serta persembahan. Seiring dengan perubahan lingkungan, nilai-nilai ini bergeser dan tidak lagi bersentuhan dengan alam.
Konsep hubungan mereka dengan alam menjadi profan daripada sakral. Namun, nilai-nilai ini masih dipegang teguh oleh generasi tua. Meskipun tidak lagi dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, cerita-cerita lama ini tetap hidup dalam ingatan mereka.
Sri Murlianti juga menyebut, berdasarkan etika internasional, pembangunan yang berdampak pada masyarakat adat harus mendapat persetujuan dan melibatkan mereka secara aktif. Sayangnya, hingga saat in, tuntutan ini tidak sepenuhnya terpenuhi.
OIKN Angkat Tangan
Di bawah tenda untuk melindungi dari terik matahari di Kecamatan Sepaku, Deputi Bidang Sosial, Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat OIKN, Alimuddin berhadapan langsung dengan Masyarakat Adat Balik. Dia mengatakan Masyarakat Adat Balik untuk tetap menjaga kearifan lokal meski tinggal di tengah kota mewah IKN.
“Kita ingin membuat suatu kota yang berbeda, mewah tetapi kearifan lokal tetap kita jaga,” kata Alimuddin, (30/08/2023).
Pertemuan itu adalah program penguatan untuk kampung budaya di IKN. Ia mengatakan kearifan lokal tidak hanya sekedar persoalan lingkungan, tetapi hubungan antar manusia dengan sesama dan Maha Pencipta.
Alimuddin mengakui suku Balik adalah warga asli di wilayah kewenangan OIKN. Ia berjanji akan menjalankan kebijakan yang tidak melupakan soal kearifan lokal yang ada di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN.
“Bagaimanapun, kita mengakui hak masyarakat hukum adat dengan catatan, kearifan lokal itu masih harus terjaga sampai dengan saat ini. Jika pun memudar, maka masyarakat adat itu harus menghidupkan kembali,” imbuh pria lulusan STPDN.
Sinergitas antara OIKN dan masyarakat itu sendiri perlu dibangun. Tanpa menjaga kelestarian Masyarakat Adat Balik, OIKN akan kesulitan mendukung Masyarakat Adat Balik. Alimudin menyebut, demi menghadirkan Masyarakat Adat Balik di wilayah IKN tidak hanya menjadi beban OIKN, melainkan dimulai dari Masyarakat Adat Balik itu sendiri.
"Titik paling krusial itu adalah Bagaimana masyarakat adat itu sendiri memelihara karakter lokal sehingga terus-terus berjalan terpelihara gitu ya dan an itu menjadi tugas kami juga,” pesannya.
Sejauh ini, pihaknya mengklaim memperhatikan Masyarakat Adat Balik. Alimuddin menyebutkan berbagai pelatihan untuk menambah kemampuan dan keterampilan masyarakat di Kecamatan Sepaku. Dirinya juga berjanji melibatkan masyarakat lokal di sekitar IKN, beberapa pelatihan yang dilakukan hanya untuk kepentingan meningkatkan SDM, melainkan demi kepentingan mendatang. Alih-alih langsung memberikan solusi konkrit, pria berusia 55 tahun itu menyebut, perlu terjadi perubahan pola pikir agar tidak berpangku tangan pada pihaknya.
"Harus mengubah mindset, masalah kita jangan selalu mengharapkan bantuan, tapi berbuat dulu nih, berbuat, berbuat. Kita tidak ikut makan, kalau setiap saat bantuan-bantuan, itu tidak bagus dan kita harus mandiri,” ucapnya dengan santun.
Alimuddin juga menilai, ada kecenderungan ketidakberhasilan dari dampak bantuan kepada masyarakat di Kecamatan Sepaku. Dia mengaku sudah menjadi kebiasaan masyarakat yang hanya bisa berpangku tangan tanpa ada upaya untuk bangkit. Di lain sisi, pemerintah daerah yang perlu memberikan pembinaan serta aturan sebagai penguatan terhadap Masyarakat Adat Balik, jika memang mau diakui secara hukum. "Jadi kalau ada bilang tugasnya itu kita, tuh keliru dan saya meluruskan itu ya bisa dibaca di undang-undang nomor 3 tahun 2022 tentang IKN pasal 39 ayat 3,” lugasnya dengan optimis.
Di kesempatan yang berbeda, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) PPU, Syahrudin M Noor turut menanggapi nasib Masyarakat Adat Suku Balik. Menurutnya, pembangunan IKN akan berdampak terhadap Masyarakat Adat Balik.
Namun, ia mengaku apa yang akan dilakukan oleh OIKN adalah menggeser, bukan menggusur. Konotasi penggusuran di mata pria berkacamata itu adalah paradigma buruk, sehingga berpotensi menuai konflik antar pemerintah dan masyarakat. Demi kepentingan nasional, ia mengaku bukan menjadi persoalan bila terjadi pergeseran kawasan adat Balik.
"Mungkin bergeser pada posisi yang selama ini mungkin didiami, karena di sana mungkin dia bangun istana atau kepentingan nasional," ujarnya.
Menurutnya, pembangunan IKN ini akan menerapkan City Forest (Hutan Kota). Hadirnya perkotaan dengan suasana kawasan hutan, tidak akan banyak mengganggu ekosistem Masyarakat Adat Balik di Kecamatan Sepaku. Ia percaya bahwa, rencana pembangunan IKN yang tidak akan mengganggu Masyarakat Adat Balik, malah akan membantu pengembangan kualitas hidup Masyarakat Adat Balik.
Pria yang sempat menjadi Ketua Serikat Buruh di PPU itu menuturkan, pengembangan hutan kota di IKN membuat masyarakat adat mampu beradaptasi. Dengan konsep hutan kota yang tidak seperti DKI Jakarta saat ini, pembangunan IKN hasilnya akan lebih modern dari segala sisi, dengan memperhatikan sumber daya hayatinya.
“Tetapi konsep untuk kawasan itu tetap kawasan hutan jadi saya kira masih nyambung lah dengan orang-orang komunitas adat, jadi tidak satu persis seperti di DKI Jakarta seperti itu,” imbuhnya.
Syahrudin M Noor optimis, keberadaan Masyarakat Adat Balik tidak akan tergusur akibat pembangunan IKN itu. Ia bahkan berpendapat, pihak OIKN tengah melakukan pemetaan terhadap potensi kawasan suku adat Balik dan seharusnya mereka mendapatkan jaminan atas hak-haknya, sehingga mampu bertahan.
“Saya kira tidak tergusur artinya ini kan ada wilayah kita yang sudah di plot sama pusat menjadi ibukota negara, tentu hak-haknya mereka kita harus pikirkan juga,” kata dia.
Dia mengaku sempat bertemu dengan pejabat deputi OIKN, Alimuddin. Dalam pertemuan itu, pihak OIKN mengaku tidak melakukan perencanaan pembagian wilayah agar tetap menjaga kearifan lokal yang ada di sebagian Kecamatan Sepaku.
Masyarakat Adat Balik, bisa dibilang cukup bergantung dengan hasil alam. Untuk menjaga kelestarian alam dilakukan dengan berbagai cara. Sehingga ketergantungan dengan alam sulit untuk dipisahkan. Pria yang juga berdarah Paser itu juga turut menginginkan terpenuhinya hak Masyarakat Adat Balik. Menurut penilaiannya, Masyarakat Adat Balik cenderung menjauh dari keramaian. Penting baginya berupaya untuk tetap mempertahankan kedudukan mereka.
“Orang suku asli di sini, jangan sampai mereka merasa dihilangkan atau dipunahkan itu yang penting. Ini yang harus kita pikirkan dan harus tetap dipertahankan, termasuk adat istiadatnya tetap harus kita pertahankan, tidak boleh kita kebiri atau kita hilangkan sama sekali,” lirihnya.
Seraya memperbaiki kacamata yang digunakannya, Syahrudin M Noor ingin adanya upaya untuk mempertahankan Masyarakat Adat Balik di IKN. Menjaga masyarakat adat di Indonesia bukan hal sulit. Dengan kelestarian adat balik di IKN, tentunya akan menjadi magnet tersendiri, di mana OIKN mampu mempertahankan adat di tengah kemajuan teknologi di IKN.
“Kalau itu tidak terjadi, saya kira kita di DPRD wajib memperjuangkan itu karena itu termasuk suku asli di sini. Ini harus kita berdayakan mereka, karena kita ini kan lahir dari mereka-mereka semua, tidak boleh kita kebiri” lugasnya.
Pemkab PPU Harus Akui Masyarakat Adat Balik di Sepaku
Melalui Kepala Seksi Penataan dan Pemberdayaan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) PPU, Noor Santy Haqim, menerangkan bahwa reforma agraria adalah program pemerintah untuk membantu masyarakat menengah kebawah.
“Bagaimana negara itu memajukan masyarakat-masyarakat yang masih memiliki perekonomiannya di bawah, makanya negara itu menyiapkan lahan, biasanya kalau reforma itu dari eks kawasan hutan atau eks HGU. Nah yang kebanyakan itu kalau reforma itu dari pelepasan kawasan hutan,” kata wanita berkacamata itu.
Dari pelepasan kawasan hutan itu, tanah milik negara akan dibagikan kepada masyarakat. Bukan kepada masyarakat secara serampangan, melainkan melalui proses pendataan seperti domisili atau mendiami lokasi tersebut dan telah memanfaatkan lahan itu sejak lama, serta syarat lainnya.
Perempuan yang akrab disapa Santy itu mengatakan PPU memiliki Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Tetapi kewenangannya tidak di kawasan IKN yang telah dikelola OIKN yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
Ditanya mengenai peluang untuk menjadikan wilayah Masyarakat Adat Balik sebagai desa adat, Santy mengakui harus ada pengakuan dahulu dari pemerintah melalui regulasi yang ada.
“Karena memang tidak pernah ada kampung atau desa adat di PPU yang setahu saya, karena memang pemerintah juga tidak menetapkan itu ya,” ucap wanita berhijab tersebut.
Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten PPU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pelestarian dan Perlindungan Adat Paser, tidak pernah disebutkan suku adat balik maupun suku adat paser balik.
Pertarungan Masyarakat Adat Balik
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, Saiduani Nyuk mengungkapkan, IKN adalah proyek ambisius yang dijanjikan akan menghadirkan kemajuan besar bagi Indonesia. Namun, di tengah harapan besar akan perubahan ini, suara Masyarakat Adat Balik yang ada di wilayah proyek tersebut menggema dengan berbagai kisah perjuangan mereka. Saiduani Nyuk memaparkan pandangan yang sangat kritis terhadap dampak negatif yang mereka hadapi.
Dari perspektif Masyarakat Adat Balik, OIKN telah memberikan dampak yang sangat merugikan. Mereka merasakan perampasan wilayah adat mereka sebagai simbol pengusiran dari rumah mereka sendiri, dengan segala hak dan akses yang hilang. Dampak yang lebih nyata terlihat dalam kerusakan lingkungan, seperti hilangnya akses air bersih, pencemaran air, dan debu yang dihasilkan oleh pembangunan OIKN, semua ini berdampak besar pada komunitas adat yang berada di kawasan OIKN.
Tapi itu belum semuanya. Pembangunan IKN juga mempengaruhi aspek administratif yang sangat krusial. Saat IKN dinyatakan, semua layanan administratif yang berkaitan dengan pertanahan dihentikan, bahkan melanggar keputusan Ombudsman RI yang mengungkap praktik buruk di IKN. Ini adalah dampak buruk yang sangat nyata dalam hal pelayanan publik.
Namun, hal yang lebih penting adalah kurangnya kepastian hukum. Masyarakat Adat Balik tidak mendapatkan pengakuan hukum yang layak, termasuk hak mereka atas tanah dan wilayah adat. Yang lebih menyakitkan, perspektif pemerintah adalah bahwa tanah ini tidak dimiliki oleh masyarakat adat, melainkan sebuah lahan kosong dan dengan sesuka hati dapat diberikan kepada perusahaan berdasarkan izin.
“Pada kenyataannya ruang-ruang itu tidak diberikan bahkan sebelum ada IKN tidak ada persiapan matang terkait pemberian suatu kebijakan dari negara untuk memastikan perlindungan dan pengakuan masyarakat adat sesuai hak-hak yang mereka miliki,” bebernya.
Selain itu, pembangunan IKN telah mendorong ekspansi kampung-kampung di wilayah tersebut, mengintimidasi dan mengusir masyarakat adat. Sebagai contoh, Desa Telemow dan Pantai Lango digunakan untuk membangun Bandara VVIP, mengakibatkan pengusiran masyarakat adat dari tanah adat mereka. Bahkan ada informasi bahwa pemerintah hanya membayar pertumbuhan tanaman di sekitar IKN, bukan membayar tanah yang sebenarnya dimiliki oleh masyarakat adat.
Dengan begitu banyak dampak negatif, pertanyaan tentang dampak positif IKN masih belum terjawab. Dalam kunjungan AMAN Kaltim ke kawasan tersebut, sangat sedikit masyarakat adat yang mendapatkan pekerjaan di perusahaan-perusahaan yang ada di IKN. Perjalanan panjang Masyarakat Adat Balik untuk bertahan hidup tidak akan berakhir, dan tantangan terbesar adalah kurangnya dukungan dan kepastian hukum. Saat ini, mereka bergantung pada kebun dan tanah mereka untuk bertahan, dan IKN telah mengubah permainan dengan memasukkan semua aspek kehidupan mereka ke dalam perencanaan proyek ini, tanpa menawarkan kepastian hukum yang sesuai dengan hak-hak mereka.
Suara Masyarakat Adat Balik harus didengar dan hak-hak mereka harus diakui, karena dengan begitu banyak kerugian yang mereka alami, tidak ada yang positif yang bisa mereka temukan dalam IKN. Kehidupan Masyarakat Adat Balik adalah sebuah perjuangan melawan pembangunan besar-besaran yang membawa lebih banyak tantangan daripada harapan. Dalam menghadapi dampak negatif dari proyek Indonesia Maju Nusantara (IKN), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim menjadi penggugat yang tidak kenal lelah.
“Kalau kita melihat lewat prediksi ke depan jika itu diambil semua tanah dan ruang, tentu tidak ada harapan bagi mereka,” tuturnya.
Bagi mereka, tanda keberpihakan bukan sekadar janji-janji. Sudah saatnya ada kebijakan konkret yang dapat memastikan keberlangsungan kehidupan mereka dan perlindungan hak-hak mereka. Namun, hingga saat ini, mereka belum melihat tanda-tanda nyata dari kebijakan tersebut.
AMAN Kaltim telah melakukan upaya maksimal dalam mengikuti instrumen hukum yang ada, seperti peraturan undang-undang, permendagri, dan Perda Nomor 1 Kaltim tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Mereka telah melakukan pemetaan wilayah adat, pembuatan peta wilayah adat, dan pendataan yang mendalam tentang struktur adat, tradisi, dan budaya Masyarakat Adat Balik. Namun, tantangan utama adalah bahwa IKN memiliki aturan yang lebih tinggi yang mengekang upaya perlindungan hak-hak masyarakat adat.
“Memang satu-satunya kebijakan yang bisa mengakui dan melindungi Masyarakat Adat Balik adalah dari OIKN itu sendiri yang mengeluarkan aturan tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat,” tambahnya.
AMAN Kaltim berusaha keras untuk mendorong OIKN agar mengeluarkan kebijakan ini melalui Surat Keputusan (SK) yang bisa mengakui dan melindungi masyarakat adat di kawasan IKN. Tetapi tantangan terus berlanjut, dengan ketidaksepakatan di antara masyarakat adat sendiri tentang pengakuan ini, serta kurangnya seriusitas OIKN dalam berkomunikasi dengan komunitas masyarakat adat.
Ketika Masyarakat Adat Balik berjuang untuk bertahan dan melawan perubahan besar yang diberikan oleh IKN, satu-satunya hal yang mereka butuhkan adalah kepastian hukum dan keberpihakan yang konkret. Bukan sekadar janji-janji, tetapi tindakan nyata yang melindungi hak-hak mereka yang telah ada selama berabad-abad. Meskipun tantangan besar masih ada di depan, keberanian dan ketekunan mereka dalam berjuang memberikan harapan bagi masa depan yang lebih baik.
“Padahal, kita sudah mengusulkan kepada pemerintah melalui pertemuan dengan OIKN bahwa ini harus seperti yang seharusnya tapi itu tidak terjadi. Kurangnya dukungan, hanya AMAN sendiri yang mengadvokasi itu,” pungkasnya. (*)
Tulisan ini menjadi bagian dari program Lokakarya Bagi Jurnalis Terhadap Isu Masyarakat Adat dan Reforma Agraria yang dilaksanakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Terlaksana atas dukungan Tenure Facility, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Related Posts
- Fondasi Pemerintahan yang Bersih Dimulai dari Arsip yang Tertata
- Etika Pengelolaan Arsip Sebagai Tanggung Jawab Penting Bagi Pegawai OPD
- GPMB Kaltim dan DPK Raih Penghargaan Literasi Terbaik Nasional
- Minim Sarana-Prasarana, Masih Jadi Tantangan Klasik Kearsipan di OPD Kaltim
- SDM Terbatas, DPK Kaltim Tetap Optimalkan Audit Arsip Berkualitas