Lipsus
Di Balik Penghambat Pendirian Gereja-gereja di Samarinda
Umat Kristen di Samarinda, Kalimantan Timur, masih harus meniti jalan panjang buat mendirikan rumah ibadah. Terhambatnya perizinan hingga penolakan mendirikan gereja masih kerap dijumpai. Kondisi ini begitu kontras dengan visi pemerintah setempat yang ingin mewujudkan Samarinda sebagai 'Kota Pusat Peradaban'.
SEKITAR pukul 14.00 Wita, segerombolan massa yang jumlahnya ditaksir mencapai 40 orang, tiba-tiba menyerbu kediaman Festivanus Roy Lintang di Jalan Padat Karya, Gang Karya Bersama Blok K RT 09, Kelurahan Sempaja Utara. Amarah mereka meluap-luap. Suara mereka beradu kencang satu sama lain.
"Sudah jelas berita acaranya ditolak!"
"Menolak! Masyarakat tandatangan tidak setuju!"
Massa mendesak sebuah papan pengumuman rencana pendirian Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Jemaat Pniel Bengkuring yang posisinya tepat di samping rumah Roy untuk dicopot. Tak ingin melawan keinginan massa, Roy mengabulkan tuntutan itu. Sementara keluarganya yang diam-diam menyaksikan kejadian itu dari balik kaca jendela rumah, bergidik ketakutan.
Selepas pencopotan plang itu, massa kemudian memasang spanduk ukuran sekitar 2,5 x 1 meter. Tulisan di spanduk itu menohok: "Kami warga Gang Karya Bersama, Gang Tulus, dan Gang Sayur, menolak dengan keras pembangunan gereja." Di balik spanduk yang didominasi warna merah itu, dibubuhkan tanda tangan dan nama warga yang menolak pembangunan gereja.
Sehari usai penolakan itu, Polsek Sungai Pinang dan Kelurahan Sempaja Utara meninjau lokasi kejadian. Mereka segera menurunkan spanduk yang sebelumnya dipasang massa tepat di lahan pendirian gereja.
Aksi massa yang terjadi pada 16 Maret 2021 lalu itu terekam jelas diingatan Roy. Hingga kini ia tak habis pikir, mengapa aksi itu bisa terjadi. Padahal tak ada tindakan kriminal dilakukannya. Rumahnya diserbu hanya karena menuntut haknya sebagai warga negara: Beribadah dan mendirikan rumah ibadah.
"Kami sedih, mau dirikan gereja dihalangi. Padahal ini hak kita semua sebagai warga negara," kata Roy ketika berbincang bersama di kediamannya beberapa waktu lalu.
Hingga saat ini, pihak gereja masih menanti kepastian untuk membangun rumah ibadah. Selama ini, jemaat belum memiliki tempat yang representatif untuk melaksanakan pelayanan gereja. Roy menceritakan pelayanan gereja berawal dari Pelayanan Anak Sekolah Minggu/Pelayanan Anak Pantekosta (PELNAP) cabang GPdI yang berpusat di Jalan Nahkoda Samarinda. Roy dipercayakan untuk mengembangkannya pada 2004. Usai membuat pos pelayanan anak-anak, orang tua meminta agar diadakan pelayanan ibadah umum gabungan.
Pelayanan ibadah umum gabungan resmi berjalan mulai 1 Agustus 2005. Pesertanya anak-anak, remaja, hingga dewasa. Seiring berjalannya waktu, Roy merasa pihaknya membutuhkan fasilitas yang memadai. Seingatnya, ada sekitar 16 kepala keluarga (KK) mengikuti pelayanan ibadah. Sedangkan rumah yang digunakan untuk pelayanan ukurannya tak cukup besar. Hanya rumah tipe 45.
Walhasil, pihak gereja berupaya mencari lahan sebagai tempat membangun gereja. Pada 2008, mereka menemukan lahan cukup bagus, terletak di Jalan Wanyi. Gang Amal. Masih di sekitar kompleks Bengkuring, Kelurahan Sempaja Utara. Luas lahan disiapkan sekitar 2 kavling. Sebelum mendirikan gereja di lahan itu, Roy bertandang dan berdialog ke rumah warga, menanyakan kesediaan mereka terkait rencana pendirian. Namun, banyak warga menolak. Tak ingin memaksakan kehendak, lahan itu akhirnya dijual.
Memasuki 2008, Roy pindah ke Perumahan Sempaja Mutiara Indah. Pelayanan ibadah praktis pindah seiring kepindahan Roy. Peribadatan berlangsung di sana mulai 2008 sampai 2019. Selama 11 tahun, jemaat GPdI Jemaat Pniel Bengkuring beribadah di rumah sederhana itu.
Pada 2010, pengurus gereja kembali berupaya mencari lahan agar bisa mendirikan rumah ibadah. Setelah mencari dan belajar dari kasus sebelumnya, mereka memutuskan membeli lahan di Jalan Padat Karya, Gang Karya Bersama blok K. Lahan tersebut dipilih lantaran kondisinya masih sepi, belum banyak penduduk. Mereka bahkan memilih lahan kosong yang berada di ujung gang agar tak mengganggu.
Setelah lahan dibeli, Roy kembali berkomunikasi dengan warga setempat, menyatakan niatnya untuk mendirikan gereja. Kala itu warga mengaku tak keberatan. Namun, ada beberapa warga mempertanyakan, mengapa gereja didirikan di lokasi tersebut, sementara Roy bermukim di kawasan lain.
"Akhirnya kami berinisiatif bangun tempat tinggal dulu. Berdomisili di sini. Lalu di samping rumah, kami bangun rumah ibadah," ujarnya.
Pada 2019, Roy dan keluarga resmi pindah ke rumah baru di Jalan Padat Karya, Gang Karya Bersama. Mulanya, pelayanan ibadah di rumah pribadinya itu berjalan lancar, tidak ada masalah, dan tidak ada yang mengganggu. Roy mengakui, hubungannya dengan masyarakat sekitar baik. Mereka bersosialisasi seperti biasa, bekerja sama, dan ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan warga.
Dari luar, rumah Roy tampak sederhana. Dindingnya hanya beton tanpa disertai cat. Lantainya semen, belum dikeramik. Di bagian ruang tamu, ada beberapa bangku plastik berwarna hijau dan sebuah meja.
Masuk ke ruang tengah, di sana tempat jemaat melaksanakan pelayanan gereja. Di bagian kanan terdapat jendela berukuran sedang yang ditutupi tirai berwarna krem. Tampak beberapa alat musik di ruangan tersebut. Mulai dari gitar, keyboard dan pengeras suara sederhana. Tak jauh dari alat musik, ada sebuah meja dengan taplak meja bermotif yang didominasi warna merah. Di belakang meja itu, ada sebuah mimbar gereja sederhana berwarna hitam.
"Jemaat kami bertambah, tempat ini sudah tak memadai. Peruntukkannya juga bukan sebagai rumah ibadah. Pada 2020 akhirnya kami sepakat membentuk panitia pembangunan rumah ibadah. Lalu kami pasang plang lokasi pembangunan gereja, kemudian diprotes warga pada 16 Maret 2021," kenang Roy.
Selama ini, pihak gereja selalu berupaya memenuhi persyaratan administrasi mendirikan rumah ibadah. Mereka mengacu pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
Roy menegaskan, pihaknya sudah mendapat dukungan masyarakat setempat minimal 60 orang dan daftar nama serta KTP pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang. Kendati berhasil menggalang dukungan, masih ada warga yang kontra terhadap rencana tersebut.
“Kami memenuhi syarat itu. Setelah terpenuhi, kami mengajukan permohonan itu ke FKUB Samarinda untuk dapat rekomendasi. Akhirnya kami mendapat surat rekomendasi dari FKUB Samarinda pada 17 Juni 2021,” tegasnya.
Surat rekomendasi FKUB bernomor 006/FKUB-SMD/SR/VI/2021 akhirnya terbit. Surat itu ditandatangani Ketua FKUB Samarinda, Mohammad Zaini Na’im. Rekomendasi diserahkan pengurus lengkap FKUB Samarinda, disaksikan Kesbangpol Samarinda, perwakilan Kelurahan Sempaja Utara, hingga Polsek Sungai Kunjang.
“Saat penyerahan rekomendasi dari FKUB Samarinda itu, Ketua RT 09 tidak hadir. Surat rekomendasi itu diserahkan langsung di rumah ini,” paparnya.
Demi mendapatkan surat rekomendasi FKUB Samarinda, pihak gereja harus menempuh perjuangan yang tidak mudah. Meski penolakan dari warga sekitar sangat kentara, Roy bersama panitia pembangunan gereja tetap maju dan berupaya mengumpulkan minimal 60 dukungan dari warga dan 90 nama dan KTP jemaat. Butuh waktu berminggu-minggu untuk mengumpulkan semuanya.
Sejak awal pindah ke lingkungan saat ini, Roy menyebut ada sejumlah tokoh yang cukup disegani dan dihormati warga sekitar. Roy mengaku selalu terbuka dan telah menyampaikan niatannya mendirikan gereja kepada mereka. Niatan disampaikan, pendekatan secara baik-baik dilakukan. Namun respon yang diberikan tak terlalu jelas: mengizinkan atau menolak.
Kendati begitu, Roy bersama pihak gereja tak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Dia tetap bergerak mencari dukungan. Dia mengakui, banyak warga beragama Muslim yang mendukung pembangunan gereja. Menurutnya, tidak mungkin FKUB Samarinda mengeluarkan rekomendasi jika pihaknya tak memenuhi persyaratan yang diminta.
“Ini warga memberikan semua tanda tangan asli dan fotokopi KTP. Enggak mungkin saya datang ke rumah dan curi KTP mereka. Pasti kan mereka serahkan dan tanda tangan secara langsung,” sambungnya.
Setelah berhasil mengumpulkan KTP dan tanda tangan warga, Lurah Sempaja Utara yang saat itu menjabat sudah mengetahuinya dengan membubuhkan tanda tangan di berkas itu pada 9 April 2021. Namun ketika diserahkan ke FKUB Samarinda, masih ada beberapa hal yang perlu direvisi. Pihak gereja pun dengan legawa memenuhi revisi tersebut.
“Revisinya itu, karena ada beberapa KTP warga yang beragama Katolik. Ternyata itu tidak boleh. Kami harus cari yang Kristen Protestan. Itu kami penuhi. Kami enggak mengerti alasannya, kami hanya mengikuti saja. Akhirnya yang diminta FKUB terpenuhi dan kami bersyukur,” jelas Roy lagi.
Selain dukungan dari minimal 60 warga sekitar, pihak gereja juga diminta untuk merevisi minimal 90 tanda tangan dan KTP dari jemaat pengguna gereja. Sebab, beberapa KTP yang telah dikumpulkan bukan berasal dari domisili Kelurahan Sempaja Utara. Hal ini diakui Roy, karena beberapa jemaat justru tinggal di kelurahan lain.
“Terkait jumlah jemaat gabungan, kalau ditotal, hari Minggu itu sekitar 30 yang aktif dan hadir semua. Akibat keterbatasan tempat, pelayanan sekolah Minggu untuk anak-anak kami buat dari rumah ke rumah, bergiliran tiap Sabtu. Jumlah anak-anak sekitar 32. Kemudian yang remaja itu jumlahnya sekitar 25, mereka aktif pada Jumat malam,” paparnya.
Pembagian hari pelayanan terpaksa ditempuh pihak gereja karena menyadari jika seluruh jemaat digabung di satu tempat dalam satu hari, tentu tak akan cukup. Apalagi misalkan jemaat tengah merayakan Hari Natal. Roy juga menambahkan, bahwa GPdI Jemaat Pniel Bengkuring telah melaporkan kegiatan pelayanan gereja ke Bidang Bimas Kristen di Kantor Wilayah Kemenag Kaltim sejak 2008.
Kendati begitu, untuk memperoleh izin mendirikan bangunan, pihak gereja masih harus memenuhi beberapa persyaratan. Rupanya, surat rekomendasi dari FKUB Samarinda saja tak cukup. Pihak gereja masih harus mengajukan permohonan rekomendasi ke Kementerian Agama (Kemenag) Samarinda. Di sini lah kendala baru dimulai.
“Kami sudah mengajukan permohonan ke Kemenag Samarinda, tapi mereka mempertanyakan surat domisili gereja. Untuk dapat surat domisili ke gereja itu, kami sudah pernah datang ke lurah tapi lurah tidak bisa mengeluarkannya. Sebab RT tidak mengeluarkan surat pengantar,” ungkap Roy lagi.
Menurut penjelasan Roy, alasan Ketua RT 09 saat itu tak bisa mengeluarkan surat pengantar karena mendapat intimidasi dari warga yang menolak keras rencana pembangunan gereja. Akibat ketua RT saat itu tak mau mengeluarkan surat pengantar, maka lurah yang menjabat saat itu meminta pihak gereja untuk membuat surat pernyataan bahwa ketua RT tidak mengeluarkan surat pengantar.
Dari kebijakan lurah saat itu, akhirnya GPdI Jemaat Pniel Bengkuring sempat memegang surat domisili gereja. Namun sayangnya, ada kesalahan dari pegawai kelurahan karena menujukan surat tersebut ke instansi tertentu, dalam hal ini FKUB Samarinda. Walhasil, Kemenag Samarinda tidak bisa menerima surat tersebut.
“Mestinya, surat itu menyatakan memang benar lokasi gereja berada di sini dan surat dibuat untuk keperluan rekomendasi, tidak perlu ditujukan ke instansi tertentu. Pas kami bawa lagi ke lurah, lurahnya sudah ganti. Lurah baru yang sekarang tidak mau mengeluarkan surat domisili gereja itu kalau RT tidak mengeluarkan surat pengantar,” jelas Roy.
Hingga saat ini, pihak gereja belum meminta surat pengantar untuk mengurus surat domisili gereja ke Ketua RT 35. Plang pembangunan gereja pun dia putuskan untuk tidak dipasang lagi. Alasannya, Roy tak ingin memicu keributan seperti dulu. Ke depan, Roy punya target untuk menghadap Ketua RT. Sebagai informasi, luas lahan yang disiapkan untuk membangun gereja sebesar 9x29 meter. Rencananya, gedung gereja akan dibangun dengan luas 8x16 meter. Jika dana mencukupi, gereja akan berdiri dengan 2 lantai.
“Bagi kami, sebagai pelayan Tuhan, rumah ibadah itu sangat penting. Itu menjadi wadah untuk membina umat Nasrani. Kami sangat mengharapkan agar rumah ibadah di mana pun ketika akan diadakan pembangunan, bisa dibantu sehingga kami tidak terkesan liar karena beribadah di mana-mana,” tegasnya.
19 Tahun Menantikan Gereja yang Mudah Dijangkau
Sudah 19 tahun Mestariya Limbong (42) bersama suami dan ketiga anaknya menantikan keberadaan gereja yang mudah mereka jangkau. Selama ini, mereka beberapa kali berpindah tempat ibadah lantaran posisinya terlalu jauh dan pendeta kerap kali berpindah rumah.
Perempuan yang akrab disapa Veronika ini mengatakan, mulanya ia beribadah di rumah pendeta yang lokasinya di daerah Pelabuhan, Samarinda. Peribadatan dilakukan di sana sejak pertama kali merantau ke Samarinda 2004 hingga 2010 ketika memutuskan pindah ke GPdI Pniel Bengkuring. "Ada yang dekat, makanya kami pindah ke sini (GPdI Pniel Bengkuring)," ujarnya ditemui seusai beribadah di kediaman Pendeta Roy, akhir Agustus 2023.
Mulanya, kala pindah ke GPdI Pniel Bengkuring, peribadatan digelar di Perumahan Mutiara Sempaja Indah-- kediaman Pendeta Roy. Mereka beribadah di sana hingga 2019. Peribadatan kemudian berpindah di Jalan Padat Karya, Gang Karya Bersama blok K seiring kepindahan Pendeta Roy di daerah itu.
Tidak ada kendala berarti apalagi sampai terjadi gangguan ketika peribadatan digelar di lokasi baru. Semua berjalan mulus. Tidak ada keluhan warga. Namun ketika rencana pendirian gereja mengemuka, seketika warga seperti kompak menolak. Puncaknya, warga menggelar demo pada 16 Maret 2021.
"Jujur, mulanya kami tidak tahu kejadian itu (demo penolakan gereja). Tapi ketika info kami terima, kami kaget. Kami sedih. Jujur, kami sedih sekali," ujar perempuan kelahiran Medan ini.
Kejadian itu berdampak langsung bagi keberlangsungan GPdI Pniel Bengkuring. Sejumlah jemaat memilih hengkang ke tempat lain, takut bila terjadi unjuk rasa susulan. Namun bagi jemaat yang bertahan, termasuk Veronika dan keluarga, ini justru menjadi penguat. Keyakinan mereka makin kuat, bahwa upaya mendirikan gereja dengan cara damai dan tanpa gangguan itu kelak akan hadir meskipun membutuhkan waktu dan kesabaran.
"Kalau takut, tidak. Kami juga tidak gerogi. Kami akan maju, karena yakin Tuhan akan bantu," ujar ibu tiga anak ini.
Klaim Mayoritas Warga Menolak, RT dan Lurah Kompak Tak Beri Izin
TERPISAH, Kaltim Today berupaya mengkonfirmasi Ketua RT 35, Suhaji Sukmo (47). Dia adalah Ketua RT 35 baru setelah terjadi pemekaran dari RT 09. Suhaji menjabat sebagai ketua RT sejak Februari 2023. Selain menjabat ketua RT, pria berambut pirang ini juga merupakan pengurus sebuah pesantren yang terletak di wilayahnya sendiri, RT 35. Ketika ditemui di kediamannya, ia ditemani sang istri, Vera Agustin Budi Arianti (47).
Suhaji Sukmo menjelaskan, sejatinya warga tak pernah menyoal bila peribadatan dilakukan di kediaman pribadi Pendeta Roy. Namun ketika pengurus gereja menghadirkan wacana pendirian rumah ibadah, sebagian warga bereaksi. Dia mengklaim, dari sekitar 700-an warga di wilayahnya, sebagian besar menolak wacana pembangunan tersebut. Kendati ia tak bisa menunjukkan apakah ada konsensus atau kesepakatan guna membuktikan klaimnya itu.
"Kalau diizinkan (pendirian gereja, Red.), bisa dicekik saya sama warga," ujarnya.
Sebelumnya, tepatnya pada 2021, memang sempat ada mediasi antara panitia pendirian gereja, Ketua RT 09-- sebelum dipecah jadi RT 35--, perwakilan tokoh masyarakat setempat yang difasilitasi pihak Kelurahan Sempaja Utara. Mediasi ini diambil menyusul terjadinya aksi penolakan di rumah Roy– yang kala itu turut diikuti Suhaji dan Vero. Namun karena pengurus gereja berdiri sendiri, hasil mediasi itu bisa ditebak: gereja tak bisa dibangun.
Adapun alasan penolakan ini, menurut Suhaji, lantaran warga takut keberadaan gereja memberikan "dampak buruk" hingga khawatir anak-anak "terpapar" lagu-lagu rohani yang dilantunkan jemaat.
"Balita dan anak muda kan cepat menangkap. Begitu hari Minggu mendengar lagu (dari gereja), nanti mereka hafal," ujar pria 47 tahun ini.
Vera menambahkan, alasan lainnya lantaran penghuni Blok K-- lokasi pendirian gereja-- dan RT 35 (sebelumnya RT 09) didominasi warga beragama Islam. Warga non-muslim, menurut catatannya, tak sampai 10 orang. Sementara jemaat pengguna gereja bila kelak dibangun bukan warga mereka alias jemaat dari luar RT 35.
Menurut Vera dan Suhaji Sukmo, bila kondisinya demikian, maka dengan alasan apapun gereja tak bisa didirikan. Pembangunan bisa dilakukan hanya bila rumah ibadah tersebut didominasi warga setempat, bukan dari luar.
Pihak kelurahan pun sempat memberi pernyataan, gereja itu dipastikan tak bisa berdiri. Sebab kelurahan akan tetap mengikuti keinginan mayoritas dan tidak berani mengeluarkan izin jika banyak yang menolak.
"Kami tidak tahu orang-orangnya siapa saja. Kalau dari luar kan pasti orang baru. Selama ini kami tak pernah ganggu ibadah mereka," timpal Vera.
Mereka juga menilai, pengurus gereja gagal memenuhi syarat pendirian rumah ibadah sebagaimana termaktub dalam Peraturan Bersama Menteri. Yang keduanya pahami, dukungan minimal 90 pengguna rumah ibadah mesti berasal dari warga setempat, alias RT 35 dan sekitarnya, bukan dari luar. Sementara menurut aturan rujukannya, tak jadi soal 90 pengguna itu berasal dari luar. Terpenting, mereka masih warga Samarinda. Ini dibuktikan dengan kepemikan KTP.
"Kalau gereja berdiri, akan beda sekali dibanding hanya beribadah di rumah. Bentuk fisiknya ada dan akan pakai pengeras suara. Ini sudah kami sampaikan ke pihak gereja," tegas Suhaji Sukmo.
Sementara itu, Lurah Sempaja Utara, Dzulkifli pun angkat suara. Penolakan warga terhadap rencana pembangunan GPdI Jemaat Pniel Bengkuring itu terjadi pada masa kepemimpinan lurah sebelumnya, Dimas Kamasuara. Sedangkan Dzulkifli baru menjabat sebagai Lurah Sempaja Utara pada September 2022. Namun, berdasarkan informasi yang dia terima, warga sekitar di lokasi pembangunan memang banyak yang menolak.
“Setelah saya menjabat, ada beberapa tokoh masyarakat menghadap ke saya. Mereka menyampaikan bahwa warga keberatan kalau gereja dibangun di sana. Awalnya, tanah kavlingan itu bukan diperuntukkan untuk tempat ibadah dan warga di sana mayoritas Muslim,” jelas Dzulkifli saat ditemui di kantornya, Senin (14/8/2023).
Menurut informasi yang dia dapatkan, saat lokasi pembangunan gereja masih berada di kawasan RT 09, Ketua RT 09 saat itu juga menyebut bisa memberikan tanda tangan asal warga juga setuju. Lurah saat itu juga tak bisa melakukan apapun karena tak ada persetujuan dari RT dan warga.
Selama menjabat sebagai lurah, Dzulkifli mengaku sudah dua kali menghadapi kasus seperti ini, yakni di Kelurahan Sungai Siring dan Kelurahan Sempaja Selatan. Di kedua kelurahan itu, mayoritas warganya memang beragama Nasrani dan gereja berhasil dibangun.
“Kalau saat itu, tidak masuk akal kalau saya menolak. Sebab warganya setuju dan memberikan tanda tangan. Sedangkan ini (di Jalan Padat Karya, Gang Karya Bersama) warganya banyak Muslim. Di situ juga ada pesantren,” sambung Dzulkifli.
Dzulkifli mengaku tak muluk-muluk. Dia memastikan, tandatangan akan diberikan dan menerbitkan surat domisili gereja asalkan warga merestui rencana pembangunan itu. Namun, menurutnya hingga kini warga masih menolak.
“Kalau warga setempat tidak setuju, berat di saya. Berdasarkan informasi, itu kan tanah kavlingan yang dibeli untuk bangun rumah. Awalnya, ibadah dari rumah ke rumah, kemudian menetap di situ terus. Dari situ ada komplain dari warga karena suara yang kencang,” ujar Dzulkifli.
Sekali lagi Dzulkifli menegaskan bahwa bukan berarti dirinya tak mau memberikan tanda tangan, namun selama tidak ada persetujuan dari RT dan warga setempat, dia juga mengaku tak bisa melakukan apa-apa. Dalam hal ini, dia juga mengungkapkan permohonan maafnya kepada para jemaat.
“Kalau warganya setuju, tidak mungkin saya menolak. Saya ingin sampaikan permohonan maaf saya kepada warga non Muslim di sana, bahwa persoalan anda ada pada penolakan warga,” ucapnya.
Usai menjabat, seingat Dzulkifli sempat ada pihak gereja yang datang kepadanya dan menyampaikan bahwa pihak gereja terkendala untuk mendapat surat domisili gereja. Namun, harus mendapat surat pengantar dari RT dulu. Mengetahui banyaknya warga yang menolak, ketua RT juga tak bisa memberikan surat pengantar karena khawatir akan diserang warga.
“Kalau misalkan ada permohonan lagi ke kami dan warga masih menolak, mau tak mau kami memihak ke warga dulu. Kalau pun saya oke, belum tentu diterima di sana. Kalau di sana oke, lurah pasti menerima,” tambahnya.
‘’Saya Orang Pertama yang Mengusirnya’’
Dari hasil penelusuran, setidaknya ada beberapa tokoh yang diduga mendalangi penolakan pendirian gereja GPdI Pniel Bengkuring. Salah satu yang mengemuka ialah Zakaria.
Pria 56 tahun ini adalah pekerja swasta di bidang meubel. Zakaria cukup dikenal di kalangan masyarakat, bahkan namanya jadi salah satu kandidat ketua RT 35 awal 2023. Tetapi, ia gagal dari kompetitiornya Suhaji Sukmo-- seorang tokoh yang memiliki afiliasi dengan Pondok Pesantren Assalafy Hidayatul Islamiah.
Zaka-- panggilannya-- juga mendalangi pembentukan sebuah forum di lingkungan setempat yang disebut "Kepengurusan Kampung Gang Karya Bersama". Zaka berada di pucuk pimpinan forum itu, ia dibantu sejumlah tokoh masyarakat dan pemuda setempat.
Melalui forum itu, Zaka dan kawan-kawan membuat semacam "aturan kampung" yang harus dipatuhi warga. Aturan itu, klaimnya, dibuat guna ‘’menjaga ketertiban’’ kawasan yang aturannya disepakati bersama. Selain itu, mereka mewajibkan siapa pun yang ingin membuat hajatan mesti mengantongi izin dari forum. Mereka juga menarik retribusi sebesar Rp 1 juta bagi siapa pun yang ingin membangun. Angka ini naik Rp 500 ribu ketimbang tahun sebelumnya. Duit retribusi ini bukan masuk ke kas negara, namun ke kantong forum buatan Zaka dan kawan-kawan.
"Kami ada laporan uang masuk dan keluarnya, semua jelas," kata pria berkacamata ini.
Kendati tak memiliki legalitas, namun Zakaria mengklaim forum yang dibentuknya itu mendapat lampu hijau dari warga setempat dan 3 lurah Sempaja Utara, termasuk lurah teranyar, Dzulkifli.
"Warga merasakan pembangunan yang kami lakukan," klaimnya.
Zaka juga bercerita bahwa dia turut terlibat dalam Solidaritas Busam Bersaudara. Perkumpulan itu, sebutnya, bergerak di bidang sosial. Di situ, dia berperan sebagai ketua. Namun saat ini, dia sudah tak begitu aktif berkegiatan.
Kami menyambangi Zaka di kediamannya, Jalan Padat Karya, Gang Karya Bersama blok D selepas salat Magrib, akhir Agustus 2023 lalu. Dia menerima kami dengan ramah. Mulanya percakapan berjalan lancar dan mulus. Namun nada bicara dan gestur Zaka mulai berubah tatkala kami mulai membicarakan soal rencana pendirian gereja GPdI Pniel Bengkuring.
"Ada," jawabnya singkat kala ditanya apakah ada gereja mau didirikan di lingkungan rumahnya.
Dengan terbuka Zaka mengakui bila dirinya sangat menentang rencana pendirian gereja tersebut. Dia bahkan menegaskan dirinya ada di garda terdepan dalam menolak rencana itu.
”Saya orang pertama yang mengusirnya," kerasnya.
Ada dua alasan yang membuat Zaka menolak pendirian gereja. Pertama, karena kawasan tersebut didominasi warga beragama Islam, sementara Nasrani minoritas. Kedua, jemaat gereja itu mayoritas berasal dari luar pemukiman setempat.
Pria berkaca mata ini menilai, dengan alasan apapun gereja tak bisa didirikan di perkampungan. Menurutnya gereja bisa didirikan hanya bila ia berada di jalan poros dan jauh dari permukiman warga.
"Mereka cuma dua orang. Jemaatnya orang luar. Jadi tidak bisa (didirikan),” ungkapnya. Kekesalannya makin naik memuncak tatkala plang pendirian gereja itu didirikan tanpa seizinnya. Kendati plang tersebut didirikan di lahan milik pengurus gereja.
Ayah tiga anak ini mengakui, pihak gereja sempat sowan ke kediamannya untuk meminta izin. Namun Zaka bersikeras menolak.
"Mereka duduk di sini (kursi tamu), saya usir mereka," nadanya meninggi. "Mereka memang datang ke sini baik-baik. Tapi satu saja syaratnya, jangan bangun di sini," tambahnya.
Zaka juga masih mengingat demonstrasi yang dilakukan warga setempat pada 2021 silam. Protes itu merupakan bentuk penolakan keras warga karena ada rencana pembangunan gereja. Dia menyebut, demonstrasi itu terjadi karena inisiatif warga.
"Kerukunan beragama itu bagus, kami enggak jadi masalah. Tapi lihat tempatnya dong (jika ingin bangun gereja). Lain kalau misalnya orang Nasrani di sini ada 10. Ini kan cuma 2 orang," sambung Zaka.
Zaka juga menegaskan, sebenarnya dirinya pun tak masalah jika ada kegiatan peribadahan jemaat Nasrani di rumah pribadi milik salah satu jemaat. Dia juga tahu, kegiatan itu rutin dilakukan tiap Sabtu-Minggu. Namun, dia bersikeras tak ingin ada pembangunan gereja di wilayah tersebut.
Bukan Kali Pertama
Berlarutnya proses perizinan hingga penolakan terhadap pendirian rumah ibadah yang menimpa jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Pniel Bengkuring sejatinya bukan hal baru di Samarinda. Persoalan serupa juga tengah menimpa Gereja Kemah Injil (GKII) Bukit Moria. Gereja yang terletak di Kelurahan Sidodadi itu tak bisa didirikan lantaran belum mengantongi Persetujuan Bangunan Gedung.
Jauh sebelumnya, dua gereja lain, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Kelurahan Rapak Dalam dan Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Bukit Zaitun di Kelurahan Karang Asam, mengalami nasib serupa. Namun, usai melalui proses panjang dan berlarut, proses perizinan kedua gereja tersebut akhirnya menemui titik cerah di tahun ini.
Izin pendirian GBKP sudah diajukan sejak 2016 silam. Namun izin tak kunjung terbit lantaran terbentur izin mendirikan bangunan (IMB) dan mendapat penolakan warga. Walhasil, jemaat terpaksa menggelar ibadah rutin berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Terakhir, mereka menyulap ruang kosong di lantai empat bekas showroom mobil yang terletak di Jalan Gajah Mada, Kelurahan Pasar Pagi, Samarinda Kota sebagai tempat beribadah. Rekomendasi FKUB Samarinda telah dikantongi.
Nasib lebih suram pernah menimpa GKII Bukit Zaitun. Gereja yang terletak di Perumahan Bukit Indah Permai ini mesti berjuang lebih dari 20 tahun untuk memperoleh izin. Proses perizinan pun terlihat progresif belum lama ini sejak Samarinda dipimpin Wali Kota Andi Harun.
Pengurus GKII Bukit Zaitun Samarinda, Hendra mengatakan, sejarah aktivitas gereja merentang jauh sejak 1992. Mulanya, peribadatan digelar di garasi mobil seorang jemaat, lokasinya di sekitar Gang 2. Tak jauh dari Jalan Teuku Umar, lokasi gereja saat ini.
Rupanya peribadatan itu mendapat penolakan warga setempat. Tak mau persolan ini berlarut, jemaat legawa pindah dan mencari tempat baru. Lokasi itu tak jauh dari lokasi pertama di Gang 2, masih berada di komplek Perumahan Indah Permai Samarinda. Lokasi itu terus dipertahankan pengurus gereja hingga saat ini.
Di lokasi baru kondisinya tak lebih baik. Aktivitas jemaat masih mendapat penolakan. Penolakan ini makin menjadi, tatkala sejumlah ketua RT di sekitar gereja diduga kuat memprovokasi warga agar turut menolak gereja dan aktivitas jemaat di lingkungan mereka. Bahkan satu ormas keagamaan yang dikenal cukup keras diduga ikut menunggangi penolakan ini. Diketahui, dua ketua RT yang menolak gereja merupakan pentolan ormas yang pada 2019 lalu itu resmi dibubarkan pemerintah.
"Pindah kan (di lokasi baru). Tapi tetap mendapat penolakan. Bahkan sempat gereja yang dibangun sementara itu dibongkar. Ada ormas juga," beber pria yang juga menjabat pendeta di GKII Bukit Zaitun ini.
Khawatir terjadi eskalasi konflik makin menguat, pemerintah akhirnya turun tangan. Sebuah notula diterbitkan. Beberapa catatan penting di dalamnya ialah, gereja direlokasi ke kawasan pergudangan Samarinda. Kedua, pemerintah berjanji memantangkan lahan tempat gereja untuk relokasi. Ketiga, jemaat masih bisa beribadah di tempat yang ada sembari menunggu bangunan gereja di lokasi baru rampung dibangun.
Namun lokasi relokasi yang diberikan itu tidak representatif. Lokasinya terletak di ujung tebing. Pemkot Samarinda juga tak kunjung merealisasikan janjinya mematangkan lahan.
Rumah pendeta sempat dibangun lahan itu. Namun kediaman itu tidak lama dihuni karena dua kali pihak gereja mesti membayar ganti rugi ke warga. Mengingat akibat pembangunan rumah itu, batu sering jatuh menimpa rumah warga.
Akhirnya, jemaat sepakat melakukan peribadatan di lokasi lama. Walau beberapa kali mendapat gangguan dan penolakan. Bahkan pernah satu waktu jelang perayaan Natal, jalan menuju gereja dipalang oleh seorang tak dikenal.
"Untungnya jemaat sabar. Jadi mereka tak lakukan hal-hal yang kurang baik," ujarnya.
Pengurus gereja kemudian membulatkan tekad bagunan gereja akan dibangun di lahan lama, tepatnya di Perumahan Bukit Indah Permai. Keyakinan ini hadir lantaran mereka telah mengantongi keterangan resmi dari pengembang perumahan yang menegaskan legalitas kepemilikan lahan oleh pihak gereja. Sertifikat pun telah dikantongi sejak 2004.
"Dengan dasar itu akhirnya kami terus berjuang," kata pria berkacamata ini.
Guna mendapat persetujuan buat mendirikan rumah ibadah, pihak gereja mendekati warga dengan cara-cara humanis. Sembari itu, pihak gereja melakukan sosialisasi dan edukasi betapa pentingnya nilai-nilai kebersamaan dan semangat toleransi. Ini memang butuh waktu. Namun, semua akhirnya berbuah manis. Puncaknya, ketika ketua RT setempat diganti. Restu warga dikantongi, ketua RT baru pun dengan senang memberikan dukungan.
"Memang sudah waktunya. Tuhan kasih jalan," kata Hendra.
Selain menjadi pengurus dan pendeta di GKII Bukit Zaitun, Hendra juga merupakan koordinator wilayah Kalimantan Timur Yayasan Satu Lentera Indonesia atau SALT Indonesia. Posisi ini diembannya sejak 2020 lalu. Berbagai kegiatan dilakukan bersama SALT. Di antaranya memberi advokasi gereja yang izin pembangunannya mandek.
Dari hasil amatan Hendra, setidaknya sejak memulai advokasi di SALT, hambatan utama pendirian gereja di Samarinda berasal dari ketua RT dan lurah. Padahal dengan posisinya yang demikian stretegis, lurah dan RT dapat berperan mengedukasi warga sekitar tentang pentingnya keberagaman dan nilai-nilai toleransi, bukan menjadi pihak yang turut menghalangi.
"Kalau di Samarinda, hambatan paling banyak di situ," kata Hendra.
Hambatan lain, sebutnya, lantaran panitia gereja tak memiliki tim hukum. Ketika ada pelarangan maupun perizinan gereja yang dipersulit, mereka justru pasrah dan tidak mau melawan. Hendra cukup memaklumi ini, karena seringkali muncul banyak tekanan ketika rencana pembangunan gereja dimulai.
"Hampir semua tidak punya [tim hukum]. Di gereja biasa ada bagian hukum tapi mereka kuran peduli," tandasnya.
Jawaban FKUB
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Samarinda, Muhammad Zaim Naim angkat bicara perihal mandeknya pembangunan sejumlah rumah ibadah di Samarinda.
Dia mengatakan, pada prinsipnya FKUB berupaya mengakomodir kebutuhan seluruh umat beragama mendirikan rumah ibadah. Tidak pernah FKUB berupaya melarang, menghalangi, atau sengaja menghambat agar rekomendasi tidak diterbitkan.
Yang jadi catatan penting dari rencana pendirian rumah ibadah, apapun itu, entah masjid, gereja, atau vihara menurutnya hanya satu: taat terhadap regulasi. Adapun, aturan mendirikan rumah ibadah tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri.
Dalam regulasi itu disebutkan, untuk mendirikan rumah badah, pengurus harus memastikan kepemilikan tanah dan peruntukkannya; mendapat dukungan 90 umat yang akan menggunakan rumah ibadah tersebut, dibuktikan dengan tanda tangan dan KTP. Kemudian dukungan warga setempat yang dibuktikan dengan KTP dan tandatangan, pengantar lurah, rekomendasi FKUB, dan rekomendasi wali kota. Setelah semua persyaratan ini dipenuhi, maka persetujuan izin gedung (PBG)— dulu disebut IMB—, bisa diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) setempat.
"Kan di negara tidak boleh sembarang membangun. Harus sesuai aturan, terutama untuk rumah ibadah. Kalau semua siap, tidak ada alasan untuk melarang atau menghalangi," beber Zaini Naim ketika ditemui di kediamannya, Perum Bumi Sambutan Samarinda, Jumat (11/8/2023).
Dukungan 60 warga setempat, menurut dia, tidak mesti berasal dari warga yang bermukim satu RT dengan lokasi pendirian rumah ibadah. Bila warga di RT tersebut tidak memenuhi 60 dukungan, maka bisa meminta dukungan di RT lain asal berada di kelurahan yang sama.
Kemudian dukungan 90 jemaat pengguna rumah ibadah tidak harus datang dari umat yang rumahnya berdekatan dengan lokasi rumah ibadah. Selama mereka memegang KTP Samarinda, walau bermukim di kelurahan berbeda, itu tak menjadi persoalan.
"Kalau semua sudah terpenuhi, lurah tinggal tandatangan. Lurah wajib tandatangani itu," tegasnya.
Pria 72 tahun itu menegaskan, dalam Peraturan Bersama Menteri tak disebutkan pendirian rumah ibadah mesti mendapat rekomendasi, tandatangan, atau izin ketua RT. Singkatnya, RT setuju atau tidak, bila syarat dipenuhi maka pembangunan bisa dilanjutkan.
Menanggapi pembangunan gereja yang mandek, bahkan sampai mendapat penolakan, menurut Naim tak bisa dibenarkan. Selama syarat terpenuhi, tidak ada alasan menolak atau menghambat pembangunan.
Akan tetapi, Zaim Naim juga tidak menutup mata bahwa realitasnya sering terjadi penolakan. Seperti yang menimpa GPdI Pniel Bengkuring, Kelurahan Sempaja Utara, pembangunan gereja itu mendapat penolakan.
Kala mendengar kejadian itu, Zaim Naim mengaku segera menghubungi Kapolres Samarinda dan meminta anak buahnya turun tangan. Sehari usai laporan diterima, aparat keamanan diterjunkan. Mereka mengamankan lokasi, serta menurunkan spanduk bertuliskan: "Menolak dengan keras pembangunan gereja di lingkungan kami."
Bila kejadian serupa berulang, Zaim Naim mengaku tak segan membawa perkara tersebut ke pihak berwajib. Kepolisian diminta mengusut dalangnya. Sebab menurutnya, penolakan atau aksi massa seperti ini umumnya terjadi lantaran ada yang memprovokasi. Mereka datang dari tokoh berpengaruh di lingkungan tersebut.
"Hal ini tentu sangat disayangkan. Sebab tokoh berpengaruh mestinya membangun semangat hidup damai dalam keberagaman, alih-alih membangun narasi intoleransi hingga menyulut emosi warga," kata dia.
Berbagai gangguan atau intimidasi semacam ini tak bisa dibiarkan, kata Zaim Naim. Sebab merupakan bentuk pelanggaran terhadap aturan. Selain itu, bertentangan dengan konstitusi yang jelas menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memilih agama dan menjalankan hidup berdasarkan agama yang diyakini, termasuk mendirikan rumah ibadah.
‘’Memangnya negara ini punyamu, rumah orang itu punyamu. Itu rumah mereka sendiri mau dibuat rumah ibadah. Betapa sulitnya orang non-muslin ini mau mendirikan rumah ibadah,’’ ujarnya dengan nada tinggi.
Dia menambahkan ‘’beda dengan kami (mayoritas) banyak yang bangun-bangun (rumah ibadah) tapi tidak pakai rekomendasi orang kita (muslim) kan sering begitu.’’
Kemudian, terkait alasan penolakan warga lantaran takut "efek negatif" gereja, seperti disampaikan Ketua RT 35 Suhaji Sukmo. Komentar Zaim Naim tegas: Alasan tersebut tidak bisa diterima nalar. Gereja tak memberi efek negatif karena perkara keimanan adalah urusan pribadi, tak ada yang berhak mencampuri.
"Efek negatif apa, tidak mungkin lah, tidak masuk akal. Coba diskusikan dulu, jangan asal bicara (bilang efek negatif)," kerasnya.
Pendapat Warga Setempat
SEORANG warga setempat, Linda Kartika (30) menuturkan, dirinya tak menyoal rencana pendirian gereja tersebut. Dia mengaku tak punya alasan juga melarang umat beragama lain mendirikan rumah ibadah, sebab itu bagian dari hak seorang warga negara yang diatur dalam konstitusi.
Dalam rencana pendirian rumah ibadah seperti ini, kata Linda, dibutuhkan kesadaran bersama. Warga setempat menyadari setiap orang memiliki hak yang sama, termasuk dalam hal beragama dan mendirikan rumah ibadah. Di sisi lain, panitia pendirian rumah ibadah mesti memastikan sebelum dan pasca pendirian tersebut warga tidak terganggu.
"Tidak masalah. Itu kan hak masing-masing. Cuma kalau bisa, anjing jangan sampai keliaran di luar [halaman gereja]," ungkapnya ketika ditemui di kediamannya, Jumat (11/8/2023) sore.
Adapun kediaman Linda letaknya tak jauh dari lokasi pembangunan gereja. Jaraknya hanya sekitar 50 meter. Sejak bermukim di kawasan itu pada 2022 lalu, Linda menyaksikan sejumlah jemaat GPdI Bengkuring menggelar ibadah mingguan rutin di rumah Pendeta Roy. Selama peribadatan berlangsung, ibu satu anak ini mengaku tak pernah merasa terganggu dengan aktivitas tersebut.
"Tidak ada gangguan. Kalau saya, hal seperti itu urusan masing-masing saja, asalkan saling mengerti dan tidak mengganggu," tandasnya.
Pendapat serupa juga diungkapkan Siswanto (67). Baginya, perkara keyakinan adalah urusan pribadi seseorang. Keinginan warga yang ingin mendirikan rumah ibadah mestinya tak dipersulit apalagi ditentang.
Siswanto justru merasa aneh ketika rencana itu mendapat penolakan. Pasalnya, selama bertahun-tahun jemaat GPdI Pniel Bengkuring menjalani ibadah rutin mingguan di kediaman pribadi Roy dan warga tak mempermasalahkan hal itu.
Pria 67 tahun itu mengaku jadi salah satu warga yang secara terbuka memberikan dukungannya terhadap pembangunan gereja. Fotokopi KTP dan tandatangan menjadi bukti dukungannya.
"Kalau pribadiku, kenapa tidak dibolehkan kan semua agama baik. Tapi saya tidak mau komentar banyak, karena orang kan berbeda-beda [pendapat]," ungkap pria yang berprofesi sebagai buruh bangunan ini.
Warga lain yang bermukim di kawasan Bengkuring, Kelurahan Sempaja Utara, Arman, bukan nama asli, mengatakan sah-sah saja bila kelompok minoritas ingin mendirikan rumah ibadah. Sebab ini bagian dari kebebasan beragama dan menjalankan ritus keagamaan. Hal itu dengan jelas diatur dalam konstitusi.
"Tidak ada yang salah dengan rencana itu, seharusnya tidak ada pelarangan," katanya.
Secara pribadi, pria 25 tahun itu mengaku tak keberatan bila kelompok minoritas ingin mendirikan rumah ibadah di dekat kediamannya. Dia menekankan bahwa di hadapan hukum, baik minoritas dan mayoritas memiliki persamaan hak. Itu artinya, selama persyaratan pendirian rumah ibadah dipenuhi, maka tak ada hak untuk menentang.
"Kalau ditentang hak kita apa? Apalagi kalau seluruh persayaratan yang ditentukan pemerintah sudah dipenuhi," tegas pekerja swasta ini.
Terkait penolakan pendirian gereja tak jauh dari kediamannya. Pria 25 tahun itu mendorong peran aktif pemerintah.
Menurut dia, jangan hanya panitia pendirian gereja yang diminta melakukan pendekatan dan edukasi ke warga setempat. Peran pemerintah penting menjelaskan kepada warga arti penting rumah ibadah, meyakinkan warga bahwa tak ada dampak negatif dari keberadaan rumah ibadah tersebut. Sebab tak bisa dipungkiri, salah satu hambatan utama pendirian rumah ibadah bagi kelompok minoritas lantaran hadirnya asumsi tak berdasar di masyarakat. Misalnya, menuduh keberadaan gereja sebagai pusat misionaris guna mempengaruhi warga sekitar berpindah ke Kristen.
Kata Arman, kalangan mayoritas seyogyanya merangkul dan melindungi kelompok minoritas, alih-alih mengintimidasi dan melarang mereka mendirikan rumah ibadah. Perbedaan yang ada mestinya dirawat dalam bingkai kebersaamaan. Itu tertuang dalam semboyan bangsa Indonesia, bhinneka tunggal ika, atau berbeda-beda tapi tetap satu.
"Bagaimana mengimplementasikan itu (semboyan negara) kalau kita sendiri tidak sepakat dengan perbedaan yang ada."
Dia menambahkan "Secara tidak langsung kita tidak adil dengan penganut agama lain. Ketika mayoritas bisa bebas-sebebasnya beragama dan dirikan rumah ibadah. Tidak ada halangan. Kok minoritas malah dilarang."
Arman juga menuntut pemerintah mesti memfasilitasi hak-hak seluruh warga negara. Jangan sampai ada kesan pemerintah menunjukkan keberpihakan ke salah satu pihak. Negara ini, sebutnya, bukan bukan hanya milik mayoritas, tapi seluruh warga negara. "Negara wajib memfasilitasi itu," kerasnya.
Jawaban Diplomatis Pemerintah Daerah
WALI KOTA Samarinda, Andi Harun tak mau banyak berkomentar mengenai isu ini. Namun dia tak menampik masih terjadi hambatan dan penolakan pendirian rumah ibadah bagi kelompok minoritas di wilayahnya. Kendati begitu, Andi Harun berjanji akan mencari tahu akar persoalan mengapa hambatan itu terjadi.
"Saya belum cek persis. Tapi nanti saya minta sekretaris daerah dan asisten untuk mengkaji lebih dalam terkait hambatan di gereja GPdI bengkuring itu," katanya ketika ditemui di sela aktivitasnya.
Menurut politikus Gerindra itu, umumnya hambatan pendirian rumah ibadah bagi kelompok minoritas berasal penolakan dari warga setempat, bukan dari pemerintah. Bila hambatannya ada di pemerintah, mestinya persoalan bisa lebih mudah tertangani. Sementara bila di masyarakat, dibutuhkan kesabaran dan kehati-hatian. Menurut dia, perlu dibangun komunikasi antar pemuka agama, FKUB, Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta warga setempat.
Kehati-hatian ini, kata Andi Harun, dibutuhkan sebab pihaknya perlu mendengar berbagai sudut pandang, baik dari pihak yang mendukung, maupun kontra. Menurutnya dalam kasus seperti ini tak terlalu penting mencari siapa dalang penolakan rumah ibadah. Namun mencari jalan tengah dan terbaik bagi semua.
Dalam menyikapi isu seperti ini, menurutnya pemerintah mesti berada di tengah, netral, dan imparsial. Oleh sebab itu, pihaknya tak mau gegabah dan buru-buru meninjau rumah ibadah yang pembangunannya terhambat. Dia tak ingin, hasil tinjauan tersebut justru berujung bumerang bagi pihaknya.
"Ini masalah sensitif. Pemkot harus berhati-hati. Jika pemkot turun langsung ke sana, takutnya memihak pada satu golongan. Jadi harus netral," kata dia.
Dia hanya berharap, kejadian serupa tak terjadi lagi. Dialog antar kedua belah pihak mesti dibangun. Dia berharap di Samarinda ini terbangun harmoni antar umat beragama, saling toleransi satu sama lain.
"Dialog harus diusahakan. Walau butuh waktu, Tuhan pasti akan bantu,’’ tandasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kota Samarinda, Helmi Abdullah mengatakan, izin pembangunan rumah ibadah mestinya diproses selama persyaratan terpenuhi. Namun bila hambatannya ada di akar rumput, Helmi mengaku pihaknya siap memnfasilitasi ruang perundingan. Mempertemukan pihak-pihak yang pro dan kontra terkait rencana ini.
Senada dengan pernyataan wali kota Samarinda, Helmi sepakat dalam isu kebebasan beragama dan berkeyakinan seperti ini, tidak bisa dengan paksaan apalagi kekerasan. Namun, mengedepankan dialog antar-umat beragama.
Dia berharap, rapat dengar pendapat itu dapat mengurai persoalan yang ada, serta dapat menghadirkan solusi terbaik baik seluruh pihak. Khususnya bagi mereka yang pendirian rumah ibadahnya terhambat. Sebagai wakil rakyat, pihaknya berusaha hadir dan memfasilitasi suara seluruh warga negara, termasuk kelompok minoritas.
"Dengan catatan, selama membangun gereja itu tidak melanggar hukum, tidak membuat keresahan, dan seluruh persyaratan terpenuhi, saya kira itu bisa saja. Pemkot harus bisa menindaklanjuti usulan tersebut," pungkasnya.
Menuai Berbagai Kritik
SUKARNYA mendirikan gereja di Samarinda adalah kabar buruk dari Kaltim yangmenunjukkan intoleransi dan radikalisme makin naik di Kaltim. Bila ini sampai ketahuan di luar Indonesia, tentu akan membuat buruk citra Kaltim sebagai daerah yang sedang membangun ibu kota negara.
Dampaknya, investasi asing bisa terpengaruh. Demikian pernyataan Peneliti Human Right Watch (HRW) Indonesia, Andreas Harsono, menanggapi soal mandeknya pendirian gereja di Samarinda.
"Jika ini dibiarkan, dalam jangka panjang, bibit radikalisme di Kalimantan Timur ini bakal bikin repot pemerintah Indonesia di masa yang akan datang, sama ruwetnya dengan mengurus Jakarta,’’ kata Andreas kepada Kaltim Today, (21/8/2023) siang.
Menurut Andreas, Pemkot Samarinda wajib menjamin kebebasan beragama dan beribadah buat warga Kristen di Samarinda. Mereka perlu menerbitkan izin bangunan buat gereja serta memastikan siapa yang lakukan kekerasan, atau mengancam dengan kekerasan, dengan mengambil tindakan hukum. Pemkot Samarinda, sebut Andreas, bisa belajar dari kasus yang terjadi di Lampung.
Pemerintah Lampung kala itu, dibantu polisi, menangkap dan mengadili seorang ketua RT karena terbukti membubarkan ibadah umat Kristen.
Dalam kasus itu, PN Tanjungkarang, Lampung, menjatuhkan vonis hukuman tiga bulan penjara terhadap Wawan Kurniawan (40), ketua RT 012, Kelurahan Rajabasa Jaya, Kecamatan Rajabasa, Kota Bandar Lampung, atas perkara pembubaran ibadah gereja. Kasus ini menarik perhatian publik dan diharapkan menjadi pelajaran bagi banyak pihak untuk lebih saling menghargai kebebasan beragama.
Andreas mengatakan, tidak ada alasan bagi pemerintah setempat tak menerbitkan izin pendirian gereja. Terlebih bila seluruh persyaratan terpenuhi. Bila masih juga dihalang-halangi, maka panitia pendirian gereja sejatinya menyeret kasus ini ke meja hijau.
"Pemerintah daerah bisa digugat ke pengadilan tata usaha negara," sebut pria berkacamata ini.
Menanggapi pernyataan Wali Kota Samarinda, Andi Harun yang menyebut isu ini sensitif, sebabnya pemerintah mesti berhati-hati dalam penanganannya. Menurut Andreas, ucapan Wali Kota Samarinda itu bukan yang pertama di Indonesia. Sudah ratusan kepala daerah, terutama di Sumatera dan Jawa, pakai istilah "sensitif" ketika menolak pembangunan rumah ibadah minoritas.
"Nama-nama mereka akan dicatat, minimal dalam sejarah lokal, dan mudah-mudahan berbagai ketegangan di bidang agama di Indonesia bisa segera diselesaikan dengan mencabut aturan-aturan yang diskriminatif," katanya.
Adapun, pelarangan dan penghalangan mendirikan gereja sejatinya jamak terjadi di Indonesia. Menurut Andreas, persoalan dasar mengapa kasus ini berulang akarnya bermula dari peraturan pembangunan rumah ibadah tahun 2006 buatan pemerintahan SBY. Ia menaruh persoalan izin ini kepada apa yang disebut FKUB. FKUB beranggotakan kelompok mayoritas punya hak veto terhadap minoritas.
"Aturan itu menggeser prinsip 'kebebasan beragama' menjadi 'kerukunan beragama'. Saya sudah beberapa kali menuliskannya dalam laporan HRW," ungkapnya.
Sementara itu, Direktur LBH Samarinda, Fathul Huda Wiyashadi menyebut, terjadinya hambatan hingga penolakan pendirian gereja di Samarinda menunjukkan negara, dalam hal ini pemerintah kota, gagal dalam memenuhi hak dasar warganya. Sebab, sebagaimana termaktub dalam Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 disebutkan, negara wajib menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
"Pemkot Samarinda gagal dalam pelaksanaan hak asasi manusia, yaitu dalam beragama dan berkeyakinan," kata Fathul ketika ditemui di kantornya Jalan Wijaya Kesuma belum lama ini.
"Entah apapun agama dan keyakinannya, negara wajib melindungi," tambahnya.
Fathul menegaskan, pemerintah harus hadir dan melindungi warganya. Sebab tugas negara, sebutnya, adalah pemegang tertinggi dalam pemenuhan dan penghormatan atas hak asasi manusia. Jangan sampai pemerintah terlihat condong hanya pada kelompok tertentu. Pemerintah wajib berlaku adil bagi seluruh masyarakat Samarinda yang heterogen ini.
"Kalau pemerintah tidak turun tangan, kalah dengan sekelompok orang, ini artinya pemerintah kalah. Pemerintah tidak jalankan tanggungjawabnya dalam penegakan HAM," tegas Fathul.
Dia menambahkan, terjadinya pelarangan pendirian gereja di Samarinda sejatinya mencoreng wajah kota. Pasalnya, Wali Kota dan Wakil Wali Kota Samarinda menggaungkan kota ini sebagai "Kota Pusat Peradaban". Sementara di sisi lain, tindakan intoleransi masih kerap terjadi.
"Bagaimana bisa bilang 'Kota Pusat Peradaban' tapi ada orang tidak beradab," tandasnya. (Tim Redaksi)
Liputan ini merupakan project kolaborasi antara Kaltimtoday.co dan Serikat Jurnalis untuk Keberagamaan (SEJUK).
Related Posts
- Pensiunan Pupuk Kaltim Desak Menteri BUMN Pulihkan Hak Pensiun Seumur Hidup
- Dosen Ekonomi Unmul: Kenaikan PPN Jadi 12 Persen Perlu Strategi Jelas dan Transparansi
- Januari 2025 Masuk Jadwal Audit Kearsipan, DPK Kaltim: Penilaian Objektif-Profesional di Setiap OPD
- DPK Kaltim Imbau OPD Segera Manfaatkan Filling Cabinet untuk Pengelolaan Arsip
- Anggaran Pengadaan Filling Cabinet Capai Rp 500 Juta, DPK Kaltim Sebut Ini Langkah Awal Pengelolaan Arsip di OPD