Kaltim
Hairani Lubis: Stres Kuliah Daring Buat Motivasi Belajar Mahasiswa Turun
Kaltimtoday.co, Samarinda - Pandemi tidak hanya meningkatkan risiko gangguan kesehatan akibat penularan virus Covid-19. Tapi juga berdampak pada kesehatan mental.
Salah satu yang banyak menuai sorotan adalah kesehatan mental yang dialami mahasiswa. Mereka dianggap sebagai kelompok paling rentan mengalami masalah kesehatan mental selama pandemi Covid-19 yang mengharuskan mereka melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring.
Merujuk jurnal penelitian berjudul "Stres Akademik Mahasiswa dalam Melaksanakan Kuliah Daring Selama Masa Pandemi Covid-19" yang ditulis oleh 3 dosen dari Prodi Psikologi Universitas Mulawarman (Unmul) yakni Hairani Lubis, Ayunda Ramadhani, dan Miranti Rasyid, terdapat 204 mahasiswa di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unmul yang mengalami stres akademik.
Rinciannya, sebanyak 80 mahasiswa mengalami stres akademik kategori sedang (39,2 persen). Disusul dengan stres akademik kategori tinggi sebanyak 55 orang (27 persen), kategori rendah sebanyak 44 orang (21,6 persen), kategori sangat tinggi sebanyak 14 orang (6,9 persen), dan kategori sangat rendah ada 11 orang (5,4 persen).
Kaltimtoday.co berkesempatan untuk berbincang dengan perwakilan peneliti, yakni Hairani Lubis pada Sabtu (17/4/2021). Pada wawancara tersebut, Hairani menjelaskan lebih lanjut mengenai penelitian yang dia tulis bersama 2 rekannya tersebut. Berikut tanya-jawabnya.
- Apa latar belakang dilakukannya penelitian ini?
Jadi kalau berbicara soal latar belakang, sebenarnya karena kami sebagai dosen ada tugas untuk melakukan Tri Dharma perguruan tinggi dan melakukan penelitian. Pada saat itu, awal-awal pandemi dimulai dengan kuliah daring, itu kami merasakan ada penurunan di motivasi belajar mahasiswa.
Lihat postingan ini di InstagramBaca Juga: Pemuda yang Tidak Berani BersumpahBaca Juga: Beri Kuliah Umum di Unmul, Hilmar Farid Ajak Generasi Muda Bangun Ekosistem Kebudayaan Nusantara
Jadi mungkin karena awal pandemi, mahasiswa masih proses adaptasi. Jadi banyak mahasiswa yang belum terbiasa dengan pola kuliah daring. Jadi banyak yang prestasi dan nilainya menurun.
Kemudian saya berinisiatif melakukan penelitian. Apa yang terjadi dengan para mahasiswa dari fenomena ini. Kemudian saya melakukan survei mengenai stres akademik. Karena dari ciri-cirinya itu mereka merujuk ke arah stres akademik. Kemudian saya membuat skala, angket terkait stres akademik. Responden itu ada banyak.
Kalau total sampelnya itu ada 360. Jadi 360 ini mahasiswa FISIP. Datanya diambil pada 2020. Kemudian, 156 orang itu hanya untuk uji coba skala. Sedangkan skala penelitiannya diberikan kepada 204 orang.
Kami menyimpulkan, dari 204 orang itu ada 81 laki-laki dan 123 perempuan. Memang penelitian ini didominasi oleh perempuan. Secara usia, didominasi oleh usia 20 tahun yakni sebanyak 87 orang. Usia 21 tahun ada 58 orang, usia 19 tahun ada 33 orang, dan usia 22 tahun ada 26 orang.
- Apa lagi gambaran yang bisa dilihat dari hasil penelitian ini?
Dari hasil ini, kemudian kami mencoba untuk melihat lagi seperti apa gambarannya kok bisa 80 orang ini mengalami stres yang tergolong sedang. Kemudian kami melihat bahwa ternyata yang mendominasi penelitian atau yang terlibat adalah perempuan. Apakah ada hubungannya stres dengan jenis kelamin?
Ternyata dari hasil penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa memang ada pengaruh jenis kelamin dengan tingkat stres. Dinyatakan bahwa perempuan itu lebih mudah cemas, lebih mudah mengalami gangguan makan, gangguan tidur, dan mengalami perasaan bersalah jika dalam kondisi tertekan.
Jadi kondisi ini berkaitan dengan hormon estrogen yang lebih banyak pada perempuan. Sehingga perempuan itu lebih rentan mengalami stres daripada laki-laki. Nah jadi dari hasil penelitian kita didominasi perempuan, sehingga terlihatnya banyak di kategori sedang.
- Bagaimana penjelasan lebih lanjut perihal perempuan yang lebih rentan alami stres dibanding laki-laki?
Dari situ terlihat bahwa karakteristik perempuan ini yang mudah cemas. Dan yang banyak terlibat dalam penelitian ini kan 20 tahun. Itu masuknya dalam kategori remaja akhir.
Dari hasil penelitian-penelitian sebelumnya atau teori yang menyatakan bahwa usia 20 tahun itu mempengaruhi mahasiswa dalam menginterpretasi stres. Jadi penilaian kognitif terhadap suatu peristiwa, itu akan menentukan apakah kondisi ini dianggap sebagai suatu stres atau bukan. Karena masih di dalam kondisi remaja akhir, secara pemikiran mereka sudah mampu menganalisa situasi.
Tetapi ketika dihadapkan pada masalah yang nyata dan dituntut untuk adaptasi, mereka belum mampu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang dibutuhkan. Kondisi usia 20 kan biasanya juga manajemen stresnya belum maksimal. Dari situ, kita bisa menyimpulkan ternyata mahasiswa kita itu memang mudah terjadi stres akademik karena mereka dituntut untuk beradaptasi.
Kadang perubahan itu tidak sesuai dengan nilai mereka. Jadi, sering kali antara diri mereka dengan tuntutan yang diberikan terjadi konflik. Jadi ketidakmampuan mereka untuk beradaptasi terhadap tuntutan itulah yang akhirnya menyebabkan mereka stres.
- Metode apa yang digunakan untuk penelitian ini?
Metode penelitian yang digunakan yaitu kuantitatif dengan rancangan deskriptif. Karena penelitian ini tujuannya hanya untuk menggambarkan tingkat stres pada mahasiswa.
Jadi sifatnya masih deskriptif. Belum ada membahas penyebab atau faktornya. Jadi itu masih dalam tindak lanjut dari penelitian ini selanjutnya. Setelah ini, kami akan melihat faktor-faktor apa yang mempengaruhi mahasiswa stres akademik selama masa kuliah daring.
- Boleh jelaskan lebih lanjut terkait bentuk dari stres akademik?
Macam-macam ya. Kalau merujuk ke teori, stres akademik itu adalah respons seorang peserta didik atau siswa terhadap tuntutan sekolah yang menekan dan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman, ketegangan, dan perubahan tingkah laku.
Salah satu ciri-ciri yang mengalami stres itu ada respons secara biologis. Misalnya sulit tidur karena memikirkan PR, tidak bisa makan karena mikirin tugasnya. Lebih mudah merasa sedih.
Kalau respons psikologisnya merasa cemas karena PR-nya nggak selesai-selesai, malas kuliah, malas belajar, malas mengerjakan skripsi, dan malas bimbingan. Jadi, respons psikologis itu bisa ditimbulkan karena mereka sedang dalam kondisi yang stres.
- Apakah tiap orang bisa mengalami stres dalam jangka waktu yang berbeda-beda?
Betul. Jadi masing-masing orang itu punya kemampuan untuk mengatasi stresnya sendiri-sendiri. Disebut dengan coping stres yakni kemampuan seseorang untuk mengatasi atau melewati masa stresnya.
Ada orang yang coping-nya bagus, tapi ada juga orang yang coping-nya emosional. Misalnya setiap kali dalam kondisi yang stres, respons yang keluar adalah respons yang emosi. Misalnya menangis, makan banyak, tidak bisa tidur atau tidak bisa makan.
Tapi ada juga orang yang dalam kondisi stres masih bisa berpikir secara logis. Kalau dia tahu bahwa sumber stresnya adalah pekerjaan rumah atau tugas-tugas, maka akan dia menyelesaikan dengan cepat. Agar kondisi stresnya terlewati.
- Dari berbagai tingkat stres akademik yang ada di jurnal penelitian, mana yang paling diprioritaskan untuk mendapat pertolongan profesional?
Manusia itu sudah dibekali bagaimana cara mengatasi stresnya sendiri. Sudah ada coping-nya sendiri. Tergantung memilih coping yang mana, apakah coping positif atau negatif. Memilih cara yang rasional atau emosional.
Tapi kan tidak semua orang mampu melewati masa-masa itu. Ada beberapa orang yang melewati dengan emosi dan terjadinya berkepanjangan. Tentu itu membutuhkan pertolongan profesional. Kalau ditanya, mana yang paling membutuhkan penanganan? Jelas yang ada di kategori tinggi sampai sangat tinggi. Asumsi kita kalau kategori sedang sampai ke bawah itu masih berproses. Mereka masih mampu mengatasi stresnya sendiri.
- Berapa lama proses penelitian ini berlangsung?
Penelitian ini dilakukan selama 2020. Saya mulai menyusun proposal itu pada Februari dan proses pengambilan data itu sekitar Juli-November 2020. Lalu diterbitkan di jurnal pada 2021.
- Bentuk angket yang dibagikan seperti apa?
Dalam bentuk pertanyaan sebanyak 40 melalui Google Form karena saat itu masih online dan tidak ada kuliah di kampus. Kami menyebarkannya per prodi melalui kating.
Harapannya kan bisa mewakili masing-masing prodi. Cuman ada kelemahannya pada saat kita mengumpulkan dari prodi mana saja, itu memang lebih banyak dari Prodi Psikologi yang mengisi. Tapi saya lupa ada berapa. Jadi mungkin untuk prodi-prodi lain belum bisa tergambarkan.
- Apa rencana tindak lanjutnya?
Penelitian ini membuat kami mengadakan sebuah program untuk bisa meminimalisasi tingkat stres pada mahasiswa. Salah satunya Peer Group Counselor (PGC). Jadi konselor teman sebaya. Ditujukan bagi mahasiswa yang memiliki permasalahan psikologis terkait akademik. Itu istilahnya bisa curhat ke teman atau kakak tingkatnya yang sudah dilatih untuk menjadi konselor.
Kalau masalahnya semakin kompleks, akan dirujuk ke psikolog atau dosen. PGC sudah ada sejak 2 tahun lalu. Tapi lebih gencar lagi pada 2020 lalu. Tiap tahun kami selalu ada rekrutmen untuk konselor sebaya.
- Bagaimana tanggapan ibu terkait 2 mahasiswa yang kami wawancara sebelumnya karena stres selama kuliah daring?
Karena mereka masuk dalam kategori masih remaja, konformitas teman sebaya atau kelekatan dengan teman sebaya itu erat. Mereka biasanya lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman daripada dengan keluarga.
Sekarang dipaksa untuk terus di rumah, dipaksa untuk tidak banyak beraktivitas, justru membuat mereka jadi jenuh dan mudah sensitif, emosional. Ditambah lagi dengan adanya proses perkuliahan, itu membuat mereka jadi lebih mudah terkena stres. Tapi kembali lagi ke cara mereka mengatasi stres.
- Apakah ada tips untuk mahasiswa mengatur waktu belajarnya dan meminimalisasi stres?
Tergantung kepada regulasi belajar mahasiswa. Harus membuat manajemen waktu yang baik dalam menyelesaikan tugas. Buat skala prioritas. Sehingga tahu mana yang harus dikerjakan atau diabaikan.
Inilah saatnya mahasiswa untuk lebih mandiri dalam belajar. Tidak bergantung lagi dengan materi dosen. Mungkin dosen hanya sekitar 80 persen saja materinya. Sisanya harus mahasiswa yang mencari sendiri dengan membaca jurnal, buku, dan mengamati sekitar.
Kedua, cara menanggulangi stres dengan hal positif. Kalau mereka merasa butuh kontak dengan teman-teman, kalau nggak bisa secara langsung kan masih bisa telepon, video call. Itu tidak apa-apa. Jadi tetap keep in touch dengan teman-teman untuk bisa curhat.
Curhat sebagai salah satu cara untuk mengurangi stres ketika kita bisa berbagi emosi dan perasaan dengan orang lain, beban kita makin berkurang. Support keluarga juga dibutuhkan. Pada saat kuliah minta tolong kondisi rumah bisa lebih tenang. Sehingga sedang kuliah, tidak terdistraksi.
[YMD | TOS]
Related Posts
- Konservasi Bahasa Daerah: Antara Indoktrinasi dan Kreasi Publik
- Hak Konstitusional dan Ruang Aman bagi Perempuan
- BEM KM Unmul Tantang Rudy Mas'ud dan Isran Noor Adu Gagasan, Kupas Tuntas Program dan Visi-Misi Bacalon Pilgub Kaltim 2024
- Mahasiswa Unmul Buat Inovasi Produk Oseng Mandai dengan Menerapkan Metode Pengawetan Pengalengan Suhu Tinggi
- 29 Mahasiswa Asia-Afrika Ikuti Program 'Suntropis' International Summer School UNMUL 2024